Pemda Menjadi Tumpuan Pemenuhan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat
Hak korban kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat puluhan tahun lalu belum terpenuhi. Kemauan dan konstelasi politik di tingkat nasional diduga menjadi penyebab.
JEMBER, KOMPAS — Hak korban kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat puluhan tahun lalu belum terpenuhi. Kemauan dan konstelasi politik di tingkat nasional diduga menjadi penyebab.
Peran pemerintah daerah kini lebih diharapkan untuk bisa memicu pemenuhan hak para korban HAM berat itu secara menyeluruh oleh pemerintah pusat.
Tanggung jawab pemenuhan hak korban pelanggaran HAM oleh negara selama ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, melalui surat keterangan korban yang diterbitkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Kedua, melalui bantuan medis dan psikososial yang diberikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kepada para korban selama enam bulan.
Para korban berasal dari 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu itu, yaitu dalam Peristiwa 1965-1966; Penembak Misterius (Petrus) 1982; Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II 1998-1999; serta Peristiwa Mei 1998.
Baca juga: Komitmen Pemerintah Selesaikan Kasus Semanggi I Kembali Dipertanyakan
Selain itu, ada pula penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, Peristiwa Wamena dan Wasior 2001-2003, Peristiwa Aceh-Jambo Keupok 2003, Peristiwa Aceh-Simpang KKA 1998, Peristiwa Aceh Rumoh Geudong 1989, serta Peristiwa Santet atau pembunuhan beberapa terduga dukun santet di Banyuwangi, Malang, dan Jember 1998-1999.
Baca juga: Belasan Kasus Pelanggaran HAM Berat Menunggu Penyelesaian
Komisioner Komnas HAM, Amirudin El Rahab, dalam diskusi ”Peran Kabupaten/Kota dalam Pemenuhan Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu”, Rabu (20/11/2019), di Jember, Jawa Timur, mengatakan, kedua langkah yang telah dilakukan itu sebenarnya belum cukup.
Menurut Amirudin, korban pelanggaran HAM berat membutuhkan perhatian yang lebih besar dari pemerintah.
”Saat ini kami sampai pada titik bahwa tahapnya bukan mendorong lagi, tetapi membujuk pemerintah daerah supaya mau mengambil langkah (pemenuhan hak korban pelanggaran HAM masa lalu) karena pemerintah pusat tidak mau mengambil langkah sama sekali,” kata Amirudin.
Baca juga: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Mandek
Peneliti Imparsial, Ardimanto, mengatakan, peluang bagi pemerintah daerah untuk memenuhi hak korban pelanggaran HAM lebih besar karena konstelasi politik di level daerah tidak serumit pada tingkat nasional.
Kepala daerah dinilai lebih bebas dari ragam kepentingan yang menghambat pemenuhan hak korban. ”Di tingkat pusat sangat sulit, mengingat saat ini terduga pelanggar HAM saja bisa masuk ke dalam ekosistem pemerintahan,” ujar Ardimanto.
Inisiatif
Indria Fernida, Koordinator Program Regional Asia Justice and Rights, mengatakan, hak korban pelanggaran HAM berat mencakup hak atas kebenaran, penuntutan, pemulihan, dan reformasi lembaga.
Selama beberapa tahun terakhir, inisiatif untuk memenuhi itu semua memang muncul dari pemerintah daerah.
Baca juga: Penyelesaian Butuh Komitmen Kuat
Contohnya, pembentukan Badan Reintegrasi Aceh, penerbitan surat nikah dan penghapusan status eks tahanan politik bagi korban Peristiwa 1965-1966 di Maluku, serta program kesehatan untuk warga lansia dan korban pelanggaran HAM di DI Yogyakarta.
Rusdy Mastura, Wali Kota Palu, Sulawesi Tengah, periode 2005-2014, mengatakan, pemulihan di wilayahnya dilakukan dengan permohonan maaf kepada korban dan keluarga korban Peristiwa 1965-1966.
”Permohonan maaf itu disampaikan pada 2012 dan diikuti dengan penerbitan Peraturan Wali Kota Palu Nomor 25 Tahun 2013 tentang Rencana Aksi Daerah HAM,” kata Rusdy.
Adapun rencana aksi tersebut meliputi sejumlah program untuk memulihkan korban dari diskriminasi secara sosial dan administrasi selama puluhan tahun. Di antaranya dengan memberikan beasiswa pendidikan, layanan dan jaminan kesehatan, perbaikan rumah dan bantuan permodalan, serta membuka lapangan kerja untuk para korban.
Baca juga: Komitmen Pemerintah Dianggap Lemah
Selain itu, pemerintah kota juga mengupayakan rekonsiliasi di kalangan masyarakat, sosialisasi ke berbagai kalangan, dan menginternalisasikan isu HAM ke jajaran pemerintah kota.
Bupati Wonosobo, Jawa Tengah, periode 2005-2015 Kholiq Arif mengatakan, upaya memenuhi hak korban diwujudkan dengan membangun kabupaten layak HAM. Selama memerintah, ia membangun kota dengan pendekatan harmonisasi keberagaman agama dan memberikan ruang bagi minoritas serta menciptakan kehidupan yang aman dan nyaman.
Baca juga: Ada Intoleransi di Balik Polarisasi Masyarakat
Dalam pembangunan infrastruktur, prinsip itu mewujud dengan pembangunan fasilitas publik yang ramah anak, warga lansia, dan kaum difabel. Pelayanan publik juga diperbaiki sehingga berjalan secara transparan dan akuntabel.
”Kami juga membentuk Satuan Tugas HAM Wonosobo atau Wonosobo Human Rights City Task Force,” kata Kholiq.
Keberlanjutan
Program Manajer Indonesia untuk Kemanusiaan Lilik Hastuti berpendapat, meski bisa diandalkan, peran pemerintah daerah lemah dari segi keberlanjutan. Tidak ada kebijakan yang mengikat terobosan dari para kepala daerah. ”Aksi kepala daerah sangat bergantung pada peran personal,” katanya.
Contohnya, penerapan Perwali No 25/2013 di Palu saat ini sudah terhenti ketika Rusdy tak lagi menjabat. ”Kesalahan saya waktu itu adalah tidak membuat peraturan daerah (perda),” kata Rusdy.
Baca juga: Isu HAM Jadi Tantangan
Berbeda dengan di Palu, kata Kholiq, program kabupaten layak HAM di Wonosobo masih berlanjut karena sudah memiliki dasar hukum dalam bentuk perda. Akan tetapi, pelaksanaannya memang benar-benar hanya mengandalkan inisiatif daerah.
Padahal, perhatian dari pemerintah pusat penting pula untuk menjaga napas keberlanjutan program tersebut. ”Selama ini pemerintah pusat tidak pernah say hello terhadap apa yang sudah kami lakukan,” ujar Kholiq.