Melestarikan Nilai Patriotisme Perang Puputan Bali
Nilai kepahlawanan dan semangat puputan atau perjuangan sampai akhir patut diteladani dan dilestarikan di era kekinian. Di Bali, semangat puputan bermakna pengorbanan secara tulus dan ikhlas untuk membela kebenaran.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
TABANAN, KOMPAS — Nilai kepahlawanan dan semangat puputan atau perjuangan sampai akhir patut diteladani dan dilestarikan pada era kekinian. Dalam konteks budaya Bali, semangat puputan bermakna pengorbanan secara tulus dan ikhlas untuk membela kebenaran, keadilan, harkat, martabat, serta kedaulatan.
”Perjuangan dan pengorbanan tanpa pamrih dari para pahlawan dalam peristiwa heroik Puputan Margarana, 20 November 1946, tersebut patut dijadikan contoh dan teladan oleh semua komponen masyarakat pada era kekinian,” kata Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati saat membacakan amanat Gubernur Bali dalam upacara peringatan ke-73 Hari Puputan Margarana di Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana, Kabupaten Tabanan, Rabu (20/11/2019).
Puputan Margarana adalah peristiwa pertempuran habis-habisan pasukan Resimen Sunda Kecil yang dipimpin Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai di Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, pada 20 November 1946.
Peperangan antara pasukan Ciung Wanara yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai dan tentara Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (Netherland Indies Civil Administration/NICA) itu tidak seimbang karena tentara NICA berjumlah lebih banyak dan dibantu pesawat pengebom. Dalam peperangan itu, I Gusti Ngurah Rai dan seluruh pasukannya gugur. Untuk mengenang peristiwa heroik itu, setiap 20 November diperingati sebagai Hari Puputan Margarana.
Lebih lanjut, Tjokorda Oka menyatakan, upacara peringatan Hari Puputan Margarana juga menjadi refleksi terhadap jati diri sebagai bangsa yang bermartabat selain ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kemerdekaan. Peristiwa itu memberikan teladan, di antaranya, meneguhkan kebersamaan dalam berbagai perbedaan dan semangat menyama braya atau persaudaraan dan kekeluargaan dalam kehidupan sehari-hari.
Ni Putu Yunda Kirana (15), siswi Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Marga, mengatakan, generasi muda seperti dirinya patut mengenal dan meneladani patriotisme yang dibuktikan para pahlawan. Semangat pantang menyerah dan membela kedaulatan bangsa, menurut dia, masih relevan dan penting di kalangan generasi milenial.
”Kita bisa menjadi pahlawan di masa kini,” ujar Yunda seusai mengikuti upacara peringatan Hari Puputan Margarana di Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana.
Upacara peringatan 73 tahun Puputan Margarana itu disemarakkan dengan prosesi mepeed atau parade oleh warga Desa Adat Kelaci, Marga, Tabanan, yang membawa gebogan atau susunan buah sebagai sesaji ke monumen Candi Pahlawan Margarana. Para tamu dan undangan, termasuk Wakil Gubernur Bali bersama Wakil Bupati Tabanan I Komang Sanjaya, juga mengikuti prosesi tabur bunga di nisan para pahlawan.
Di antara tamu dan wisatawan itu terdapat Inagawa Yoshiro, mantan tentara Jepang yang datang untuk berziarah dan berdoa di depan nisan pahlawan di kompleks Candi Pahlawan Margarana.
Dalam pasukan Ciung Wanara, yang dipimpin Letkol I Gusti Ngurah Rai, bergabung sejumlah prajurit Jepang yang turut gugur dalam perang Puputan Margarana. Secara keseluruhan, terdapat 1.372 nisan pahlawan pejuang kemerdekaan dari periode 1946 hingga 1950 yang diabadikan di Candi Pahlawan Margarana.