Jalan Berliku Kemandirian Anggaran
Kemandirian keuangan negara perlu dilakukan melalui penurunan keseimbangan primer dan defisit anggaran meski upaya itu bukan perkara mudah.
Defisit anggaran sudah menjadi persoalan klasik dalam pengelolaan kebijakan fiskal di Indonesia. Kemandirian keuangan negara perlu dilakukan melalui penurunan keseimbangan primer dan defisit anggaran meski upaya itu bukan perkara mudah.
Pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla tahun 2014, pemerintah dihadapkan pada situasi ruang fiskal yang sempit. Penyempitan ruang fiskal disebabkan antara lain oleh besarnya subsidi energi dalam APBN, khususnya subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Ruang fiskal yang minim dalam APBN membuat pemerintah sulit mengalokasikan belanja modal secara ekspansif. Imbasnya, kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur sangat minim dan membuat Indonesia tertinggal dari negara-negara lain.
Pemerintah kemudian mengambil kebijakan mencabut subsidi BBM dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar. Dana segar lebih dari Rp 200 triliun yang didapat dari pencabutan subsidi digunakan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, bandara, dan pelabuhan.
Namun, jika ditelaah lebih jauh, penyempitan ruang fiskal tidak semata-mata disebabkan besarnya subsidi BBM saat itu. Penyempitan ruang fiskal juga disebabkan pembengkakan defisit keseimbangan primer yang didorong penurunan pendapatan, peningkatan belanja pemerintah, dan lonjakan pembayaran utang.
Keseimbangan primer adalah selisih antara penerimaan negara dan belanja yang tidak termasuk pembayaran bunga utang. Keseimbangan primer dikatakan positif jika pendapatan negara lebih besar dibandingkan belanja, di luar pembayaran bunga utang. Sebaliknya, jika pendapatan lebih kecil dibandingkan belanja, keseimbangan primer akan negatif.
Data Kementerian Keuangan menyebutkan, keseimbangan primer positif terakhir kali terjadi pada 2011. Setelah itu, keseimbangan primer terus defisit hingga sempat menembus angka Rp 142,4 triliun pada 2015. Namun, tahun lalu, defisit keseimbangan primer berhasil turun hingga hanya Rp 1,8 triliun.
Pada tahun ini, pemerintah membidik defisit keseimbangan primer Rp 20,1 triliun. Namun, berdasarkan proyeksi terbaru, defisit keseimbangan primer diperkirakan lebih besar, yakni Rp 34,7 triliun. Sampai dengan Juli 2019, keseimbangan primer APBN mencatat defisit sebesar Rp 25,1 triliun, melampaui target defisit Rp 20,1 triliun dalam APBN 2019. Pada tahun depan, defisit keseimbangan primer ditargetkan Rp 12 triliun.
Adanya defisit keseimbangan primer mengindikasikan pemerintah masih terjebak dalam gali lubang tutup lubang. Pendapatan negara belum mampu membiayai bunga utang dan cicilannya.
Defisit keseimbangan primer tak lepas dari strategi kebijakan fiskal ekspansif pemerintah untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, kas pendapatan negara belum mampu mendanai seluruh kebutuhan belanja sehingga mengalami defisit.
Penerimaan pajak
Untuk mendorong keseimbangan primer ke zona hijau, pemerintah setidaknya memiliki dua opsi, yakni meningkatkan penerimaan pajak atau memangkas belanja. Di sisi penerimaan, upaya menggenjot penerimaan pajak masih menjadi tantangan. Dalam 10 tahun terakhir, target penerimaan perpajakan dalam APBN tidak pernah tercapai kendati terus tumbuh.
Selisih antara realisasi dan target penerimaan pajak atau shortfall pajak menjadi masalah yang sering muncul dalam anggaran penerimaan negara. Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) memperkirakan, nilai shortfall pajak tahun ini akan berada di rentang Rp 160-Rp 170 triliun lantaran terpengaruh perlambatan ekonomi global.
Penyebabnya, target penerimaan pajak yang sangat berkaitan dengan asumsi makro ditetapkan terlalu optimistis. Akibatnya, realisasi penerimaan pajak selalu lebih rendah dari target karena pertumbuhan ekonomi pada kenyataannya acapkali lebih rendah dari yang diasumsikan.
Pada tahun ini, realisasi penerimaan pajak diprediksi jauh lebih rendah dari tahun 2018. Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan pajak hingga Agustus 2019 baru mencapai Rp 801,16 triliun atau setara 50,78 persen dari target penerimaan pajak 2019.
Dalam RAPBN 2020, pemerintah menargetkan penerimaan pajak tinggi, naik 13,3 persen dari proyeksi 2019 menjadi Rp 1.861,7 triliun. Kenaikan itu untuk memacu proyeksi pendapatan negara sebesar Rp 2.221,5 triliun. Namun, target itu oleh sebagian kalangan dinilai sulit dicapai di tengah ketidakpastian global sekarang.
Rasio pajak Indonesia juga masih tergolong rendah, berkutat di kisaran 10-11 persen. Selain terendah di Asia Pasifik, rasio pajak Indonesia juga di bawah rata-rata Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebesar 34,2 persen.
OECD dalam laporan ”Revenue Statistic in Asia and Pacific Economies 2019” menyebutkan, penyebab rendahnya rasio pajak Indonesia adalah tingginya kontribusi pertanian, sektor informal yang relatif besar, penghindaran pajak, serta basis pemajakan yang rendah.
Seretnya kinerja penerimaan negara tersebut berpotensi pemerintah menyesuaikan kebijakan terkait pembiayaan negara. Hingga 10 Juli 2019, pemerintah sudah merealisasikan penerbitan surat berharga negara (SBN) gross Rp 535,9 triliun dan neto Rp 215,1 triliun.
Penerimaan pajak bisa ditingkatkan melalui berbagai cara. Salah satunya adalah memperkuat administrasi pajak, khususnya basis data dan teknologi informasi perpajakan, agar tak menyulitkan wajib pajak. Dari sisi sistem perpajakan, pendaftaran dan pembayaran secara daring juga dapat menjadi upaya meningkatkan penerimaan. Pemerintah pun akan menegosiasi ulang penghindaran pajak berganda dari sisi instrumen multilateral.
Untuk dunia usaha, pemerintah bisa memberi insentif perpajakan. Insentif dapat berupa tax holiday dan tax allowance yang sudah ada sejak 2018. Kemudian, ada superdeduction untuk kegiatan usaha padat karya, yang tak lain merupakan insentif bagi perusahaan untuk melakukan pengembangan inovasi.
Ada juga restitusi pajak bagi eksportir. Hal ini merupakan insentif yang bertujuan meningkatkan kapasitas perusahaan dalam berekspansi atau menjalankan kegiatan usahanya lebih jauh lagi. Pemerintah juga dapat memberi insentif, seperti rencana pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) dari 25 persen menjadi 20 persen. Apabila penerimaan pajak dapat optimal dan pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil, diharapkan dalam beberapa tahun ke depan keseimbangan primer dapat positif.
Efisiensi belanja
Di sisi belanja, pemerintah bisa melakukan langkah efisiensi, khususnya belanja pegawai dan belanja barang. Porsi dua pos belanja tersebut mencapai 44,4 persen dari total belanja APBN 2019. Dalam struktur belanja APBN 2019, alokasi untuk belanja pegawai ditaksir sekitar Rp381,56 triliun, jauh melampaui belanja barang dan belanja modal yang masing-masing Rp 345,23 triliun dan Rp 189,34 triliun.
Cara lain, belanja yang tergolong tidak produktif, seperti belanja perjalanan dinas dan honor kegiatan, bisa dipangkas. Pemerintah juga perlu mengefektifkan belanja pemeliharaan dengan memperhatikan penambahan aset pada tahun-tahun sebelumnya.
Alokasi belanja subsidi perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin. Penyaluran dana diperuntukkan untuk kegiatan produktif yang mendukung program pembangunan nasional, seperti di bidang pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan infrastruktur.
Sasaran penerima dan model alokasi subsidi semestinya diarahkan pada kelompok yang rentan dan tak berdaya secara ekonomi. Selain itu, terdorongnya tingkat kesejahteraan masyarakat golongan bawah juga diharapkan turut membantu pertumbuhan PDB.
Jika efisiensi belanja tercapai, pengeluaran pemerintah semakin hemat sehingga bisa mengurangi ketergantungan pada utang baru untuk menambal defisit anggaran. Harapannya, pada masa depan, Indonesia tidak terbelenggu dalam bayangan utang yang tak kunjung usai. (LITBANG KOMPAS)