Tiga negara ”poros bulan sabit Syiah” dilanda unjuk rasa. Demo di Iran lebih dipengaruhi faktor eksternal dan terkalkulasi oleh pemerintahan Hassan Rouhani.
Oleh
·2 menit baca
Tekanan ekonomi menjadi pemicu meletusnya unjuk rasa di Irak, Lebanon, dan Iran—tiga negara dalam poros bulan sabit Syiah—sekitar 1,5 bulan terakhir. Gejolak unjuk rasa awalnya mengguncang Irak, awal Oktober lalu. Berselang setengah bulan, demo merembet ke Lebanon. Sebulan kemudian, gejolak itu menyentuh jantung poros bulan sabit Syiah, Iran.
Gejolak protes di tiga negara disatukan oleh benang merah, kesulitan ekonomi yang diderita rakyat di negara itu. Di Irak, negara peringkat keempat pemilik cadangan minyak terbesar di dunia, tekanan ekonomi dianggap sebagai buah praktik korup elite politik negeri itu. Di Lebanon, selain korupsi dan nepotisme, keterpurukan ekonomi akibat salah urus negara.
Tak mengherankan, tuntutan massa pengunjuk rasa di dua negara itu menghendaki perombakan total terhadap sistem dan struktur politik di negaranya. Demonstrasi di Irak hingga kini menelan korban sedikitnya 315 orang tewas, unjuk rasa terbesar di negeri itu sejak tumbangnya rezim Saddam Hussein tahun 2003. Di Lebanon, tak ada catatan korban jiwa, tetapi gerakan massa di negara itu telah menumbangkan pemerintahan Perdana Menteri (PM) Saad al-Hariri.
Gejolak protes di tiga negara disatukan oleh benang merah, kesulitan ekonomi yang diderita rakyat di negara itu.
Di Iran, unjuk rasa mulai bergejolak Sabtu lalu. Seperti diwartakan harian ini, Selasa (19/11/2019), unjuk rasa di ”Negeri Mullah” itu dipicu keputusan pemerintah Presiden Hassan Rouhani menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 50 persen untuk pembelian 60 liter pertama dan 300 persen untuk pembelian lebih banyak dari jumlah itu. Kenaikan ini terlihat besar, tetapi setelah dinaikkan, harga BBM itu masih termasuk paling murah di dunia: 13 sen dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 1.820 per liter.
Persoalannya, warga Iran telah menderita bertahun-tahun akibat sanksi ekonomi AS. Lebih dari setahun terakhir, setelah AS menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015 dan menjatuhkan lagi sanksinya kepada Teheran, derita akibat tekanan ekonomi kian menjadi-jadi. Inflasi mata uang Iran, riyal, hampir empat kali lipat dibandingkan dengan saat kesepakatan nuklir Iran mulai berlaku efektif. Angka pengangguran juga tinggi. Dalam situasi sulit itu, Rouhani mengambil langkah berisiko dengan menaikkan harga BBM.
Keputusan itu tak bisa dihindari setelah—akibat sanksi AS—Iran tidak bisa mengekspor minyak, yang selama ini menyumbang 64 persen sumber pendapatan negara. Langkah itu bagian dari upaya Rouhani mencegah gejolak lebih besar di kelompok menengah ke bawah sebanyak 60 juta jiwa—dari total 82 juta jiwa—penduduk Iran. Pendapatan tambahan dari kenaikan harga BBM akan didistribusikan kepada 60 juta penduduk paling menderita akibat tekanan ekonomi. Dengan kalkulasi itu, Teheran berharap bisa menghindari guncangan politik yang serius, seperti terjadi di Irak dan Lebanon.