Selama empat dasawarsa, dari tahun 1979 hingga 2019, kartunis Dwi Koen konsisten mengkritik kondisi sosial politik Indonesia melalui cerita Panji Koming-nya yang menggelitik.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Selama empat dasawarsa, dari tahun 1979 hingga 2019, kartunis Dwi Koen konsisten mengkritik kondisi sosial politik Indonesia melalui cerita Panji Koming-nya yang menggelitik.
Sejak pertama kali terbit di Kompas Minggu, 14 Oktober 1979 hingga muncul terakhir 18 Agustus 2019, kartun strip Panji Koming karya kartunis Dwi Koendoro Brotoatmojo, almarhum, telah mencapai kurang lebih 1.920 edisi. Dalam kurun waktu empat dasawarsa, Dwi Koen konsisten “menggelitik” Indonesia lewat Panji Komingnya.
Kartun pertama Dwi Koen di harian Kompas tergolong pedas. Ia menggambar dua orang abdi dalem yang tengah memikul tandu berisikan seorang raja bertubuh tambun dengan pengawal di belakangnya yang setia memayungi sang raja.
Di mana-mana, sang abdi dalem setia mengangkut sang raja bersama pengawalnya, termasuk ketika mereka harus menyeberangi lautan. Meski harus masuk ke dalam air, mereka tetap berjalan memandu sang raja. Ketika sampai di seberang lautan, tampak seorang rakyat jelata menyambut mereka dengan menyembah sembari berkata “Menjaga kewibawaan memang penuh konsekuensi!” ucapnya.
Pada masa Orde Baru, Dwi Koen sudah berani “menertawakan” situasi politik, di mana orang yang mengikuti “raja” harus rela berkorban untuk kepentingan “raja”, sekalipun mereka harus menderita. Meski Panji Koming mengambil setting tokoh masa klasik era Kerajaan Majapahit, namun Dwi Koen selalu mengulas persoalan-persoalan kontekstual bangsa dengan tajam.
Meski Panji Koming mengambil setting tokoh masa klasik era Kerajaan Majapahit, namun Dwi Koen selalu mengulas persoalan-persoalan kontekstual bangsa dengan tajam.
Panji Koming edisi 23 September 2007 merupakan salah satu contoh bagaimana Dwi Koen menggugat vonis hukuman ringan Mahkamah Agung (MA) terhadap koruptor dalam kasus korupsi Bulog.
“Andhika berdosa musti masuk bui dua tahun!” kata sesepuh Keadilan Agung.
Melihat hal tersebut, Pailul (teman Panji Koming) berseloroh “Tikus rakus begitu kok cuma kena dua tahun, pasti tebang pilih,” ucapnya.
Panji Koming pun menyahut, “Ssst hormatilah sesepuh keadilan agung….Ingat, beliau telah membantah keras…kawasannya sebagai sarang tikus,” kata Panji Koming.
Di gambar terakhir, Dwi Koen menampilkan Pailul dan Panji Koming melihat sesepuh Keadilan Agung berjalan dan di balik bajunya tersembul ekor tikus.
“Panji Koming adalah representasi kondisi sosial politik Indonesia dari waktu ke waktu yang ditangkap secara jenius oleh Dwi Koen,” kata kurator Bentara Budaya, Putu Fajar Arcana, di sela-sela pembukaan Pameran “Komedi Priyayi Panji Koming karya Dwi Koendoro”, Selasa (19/11/2019), di Bentara Budaya Jakarta. Pameran ini digelar 20 – 24 November 2019.
Panji Koming adalah representasi kondisi sosial politik Indonesia dari waktu ke waktu yang ditangkap secara jenius oleh Dwi Koen.
Pameran Kartun Strip “Komedi Priyayi Panji Koming” ini diselenggarakan tidak saja untuk mengenang Dwi Koendoro sebagai “abdi” Panji Koming, tetapi juga menelusur jejak sejarah yang telah ditatahnya dari waktu-waktu.
Pameran kartun strip ini adalah upaya untuk terus menerus menghidupkan Panji Koming meskipun kartun ini tidak terbit lagi di Kompas Minggu. Selain diselenggarakan pameran, akan ada pula diskusi “Bincang-bincang menyoal Panji “Dwi Koen” Koming pada tanggal 22 November 2019 pukul 15.00 WIB yang menghadirkan narasumber Beng Rahadian (kartunis, dosen Desain Komunikasi Visual Institut Kesenian Jakarta) dan Efix Mulyadi (Kurator Bentara Budaya) dengan moderator Putu Fajar Arcana.
“Semoga sesudah keluar dari ruangan galeri Bentara Budaya Jakarta, kita tersenyum simpul sebagai pertanda kritik-kritik Dwi Koen yang menggelitik dan memancing rasa tersindir. Bukan untuk marah, tetapi menertawakan diri sendiri yang bukan tidak mungkin seringkali berbuat konyol,” tambah Arcana.
Inspirasi dari teman
Tokoh Panji Koming merepresentasikan rakyat kebanyakan yang berpendidikan rendah, miskin, dan terus-menerus dikibuli. Sedangkan Pailul yang juga miskin adalah tokoh yang berani ambil risiko sekaligus cerdik.
Wiediantoro, rekan kerja Dwi Koen saat bekerja di Gramedia Film mengungkapkan, nama Panji Koming ternyata merupakan akronim dari Kompas Minggu. Sejak Kompas Minggu diterbitkan akhir 1970-an, edisi dan awak pengelolanya lazim disebut sebagai Koming. Dan yang menarik, Dwi Koen rupanya menciptakan karakter dalam kartunnya berdasarkan karakter teman-teman kerjanya di Gramedia Film.
“Saya sebagai Panji Koming, Didit Aditya sebagai Pailul, Ace Amir sebagai Woro Ciblon, Zuliaasri Usman sebagai Dyah Gembili, dan Bambang Pamungkas sebagai Bujel. Teman-teman inilah yang menginspirasi Dwi Koen membuat tokoh-tokoh di Panji Koming,” ujar Wiediantoro.
Menurut Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy, Panji Koming muncul pada saat kritik sulit disampaikan secara terbuka kepada pemerintah. Meski demikian, dengan santun Dwi Koen tetap bisa menyampaikan kritik-kritiknya secara menggelitik.
Panji Koming muncul pada saat kritik sulit disampaikan secara terbuka kepada pemerintah.
“Ia menyampaikannya dengan tidak frontal tetapi pesannya tetap sampai,” ucapnya.
Selain aktif membuat kartun, Dwi Koen juga pernah ditugaskan Kompas Gramedia sebagai Kepala Produksi PT Gramedia Film pada 1979 hingga 1984. Pada saat salah satu pendiri Kompas PK Ojong meninggal dunia, 31 Mei 1980, Dwi Koen bersama krunya mengabadikannya dalam bentuk film dokumenter berjudul “Sepercik Kenangan, Segelombang Teladan”.
“Film dokumenter ini mengupas bagaimana nilai-nilai dan keutamaan yang diajarkan almarhum Bapak PK Ojong. Di dalamnya juga termuat pidato dari Pak Jakob Oetama. Film ini selalu diputar pada saat Kompas Gramedia menerima karyawan-karyawan baru agar mereka selalu mewarisi nilai-nilai yang ditanamkan para pendiri Kompas Gramedia,” tambah Wiediantoro.