Dalam Sunyi, Johan Wahyudi Mendidik Calon Pebulu Tangkis Penerusnya
Pebulu tangkis legenda Johan Wahyudi (66) dimakamkan di Taman Makam Asri Abadi, Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Rabu (20/11/2019) pukul 11.30 WIB. Hingga akhir hayatnya, Johan Wahyudi tetap mencintai bulu tangkis.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Pebulu tangkis legenda Tanah Air, Johan Wahyudi (66), dimakamkan di Taman Makam Asri Abadi, Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Rabu (20/11/2019) pukul 11.30 WIB.
Hingga akhir hayatnya, Johan Wahyudi masih mencintai bulu tangkis dan mendidik secara pribadi beberapa calon atlet yang dinilainya berbakat. Ia ingin agar kembali lahir para pebulu tangkis berprestasi sehingga mampu mengharumkan nama Indonesia di tingkat internasional.
Para pebulu tangkis belia anak didik Johan Wahyudi tersebut berusia sekitar 12 tahun. Mereka adalah para pebulu tangkis pemenang kompetisi-kompetisi lokal yang sempat dipantaunya, tetapi tidak memiliki kesempatan berlatih di klub secara profesional.
”Memang ada beberapa pebulu tangkis dididik oleh Papa sendiri. Sifatnya pribadi. Mereka adalah atlet yang dinilai berpotensi, tetapi tidak memiliki jalur untuk maju. Papa sifatnya membantu untuk itu,” kata Daniel Wahyudi, anak kedua Johan Wahyudi, seusai pemakaman.
Hal itu dilakukan Johan, menurut Daniel, 3-4 tahun lalu. Saat itu, bersamaan dengan Johan membuka usaha kok dengan merek JW, bekerja sama dengan rekannya. Usaha pembuatan kok tersebut berada di Malang dan produknya sudah diekspor ke India, Sri Lanka, dan Malaysia.
Daniel mengatakan, ayahnya sangat senang dengan atlet yang bersemangat bermain bulu tangkis. Itu sebabnya, hingga akhir hayatnya, ia masih aktif datang melihat beberapa kompetisi bulu tangkis di berbagai daerah di Indonesia.
”Papa selalu ingin nama Indonesia kembali harum melalui bulu tangkis. Makanya, Papa selalu senang diundang dan pergi ke acara bulu tangkis,” kata Daniel.
Daniel mengingat kisah tentang ayahnya bahwa keberhasilannya menjadi juara dunia bulu tangkis era tahun 1970-an hingga 1980-an tidaklah didapat dengan mudah. Papanya sangat keras dalam berlatih.
Papa selalu ingin nama Indonesia kembali harum melalui bulu tangkis. Makanya, Papa selalu senang diundang dan pergi ke acara bulu tangkis.
Di mata Daniel, papanya tak kenal lelah. Aktivitas Johan dimulai sejak pukul 04.00 WIB. Pada jam itu, ia berlatih fisik, seperti lari dan latihan bulu tangkis. Disambung dengan berangkat sekolah. Sepulang sekolah, Papanya kembali latihan bulu tangkis hingga malam. ”Itu dilakukan sampai dia mencapai tahap ini. Kalau saya bilang, Papa itu tak ada waktu untuk dirinya sendiri,” katanya.
Johan selalu mengatakan kepada Daniel bahwa Indonesia sebenarnya berpotensi menghasilkan pebulu tangkis hebat. Hanya memang butuh proses dan tidak bisa instan. ”Makanya, Papa sangat senang dengan munculnya pasangan ganda muda ’Minions’ Markus-Gideon yang dinilai luar biasa. Mereka muda dan sangat berbakat,” kata Daniel.
Evie Sianawati, istri Johan Wahyudi, mengatakan bahwa suaminya tetap mencintai dunia bulu tangkis hingga akhir hayatnya. Satu hal dikenang Evie tentang suaminya adalah, untuk menjadi pebulu tangkis hebat, suaminya selalu total dalam bermain dan berlatih. ”Selama ini benar-benar total. Dahulu tekadnya hanya untuk melihat Merah Putih berkibar. Tidak ada niat atau gambaran lain, seperti bonus. Dahulu hanya untuk Merah Putih,” katanya.
Dahulu tekadnya hanya untuk melihat Merah Putih berkibar. Tidak ada niat atau gambaran lain, seperti bonus. Dahulu hanya untuk Merah Putih.
Kenangan keluarga dan rekan-rekan Johan Wahyudi tersebut menyatu dalam doa pada Rabu siang itu. Dengan dipimpin Pendeta Widjaja Hendra, doa dan lantunan semangat mengalir tak putus-putusnya hingga jenazah Johan dimakamkan. Semua mengakui Johan telah mengakhiri pertandingan fisiknya kali ini. Semangat dan kebaikannya diharapkan terus mengalir ke mana-mana.
”Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir, dan aku telah memelihara iman.” (2 Timotius 4:7)