Pemerintahan Genjot Tiga Jenis Belanja di Pengujung Tahun
Sisa waktu penggunaan anggaran tahun ini semakin mepet. Pemerintah berupaya keras untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menggenjot tiga jenis belanja.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memaksimalkan penyerapan anggaran belanja untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Dalam dua bulan mendatang, pemerintah mendorong realisasi belanja bantuan modal, barang, dan bantuan sosial di atas 90 persen.
Data Kementerian Keuangan, Selasa (19/11/2019), realisasi belanja negara pada Oktober 2019 sebesar Rp 1.798 triliun atau 73,1 persen dari pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Realisasi belanja itu hanya tumbuh 4,5 persen, padahal pada Oktober 2018 tumbuh 11,9 persen.
Belanja negara terdiri dari realisasi belanja pemerintah pusat Rp 1.121,1 triliun atau 68,6 persen dari pagu serta realisasi transfer ke daerah dan dana desa Rp 676,9 triliun atau 81,9 triliun dari pagu.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, penyerapan anggaran belanja terus ditingkatkan untuk menjaga pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan pemerintah sebagai penopang perekonomian. Realisasi belanja pemerintah pusat tahun ini diupayakan mencapai 98 persen dari target APBN. ”Pada intinya, kebijakan belanja untuk memacu perekonomian, tetapi efisiensi tetap dilakukan sejalan dengan pendapatan pajak yang lesu,” kata Askolani.
Dalam dua bulan mendatang, pemerintah akan menggejot penyerapan belanja modal, barang, dan bantuan sosial. Hingga Oktober 2019, realisasi belanja modal Rp 100,8 triliun atau 53,2 persen dari pagu, belanja barang Rp 236,5 triliun (68,6 persen), dan bantuan sosial Rp 91,7 triliun (94,5 persen).
Askolani mengatakan, realisasi belanja modal diupayakan mencapai 90 persen pada 2019. Penyerapan belanja modal akan meningkat karena sebagian besar kegiatan fisiknya sudah dilakukan. Pencairan anggaran tinggal menunggu dokumentasi dan pelaporan selesai. Realisasi belanja modal bisa lebih tinggi 1-2 persen dari tahun 2018.
”Peningkatan serapan dibarengi penghematan belanja modal dari pelaksanaan lelang dan proyek yang sifatnya multiyears,” ujar Askolani.
Pemerintah tetap mengutamakan kualitas belanja di samping meningkatkan realisasi. Belanja barang tidak hanya untuk kebutuhan internal pemerintah. Belanja barang harus bernilai ekonomi sehingga bisa diserahkan dan dimanfaatkan masyarakat, seperti pembangunan rumah subsidi, pemeliharaan jembatan, dan pelaksanaan diklat.
Untuk menjaga daya beli kelompok miskin, realisasi belanja bantuan sosial didorong mencapai 100 persen, yakni Rp 97,1 triliun. Bantuan sosial ini mencakup program keluarga harapan, penerima bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional, bantuan pangan nontunai, dan penanggulangan bencana.
Askolani menuturkan, pemerintah juga merealokasi sejumlah belanja non-kementerian/lembaga ke Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) dan kementerian/lembaga (BA K/L), antara lain untuk cadangan kurang bayar subsidi, kurang bayar transfer ke daerah dan dana desa, penanggulangan bencana, dan keperluan mendesak lainnya.
’Strategi belanja dioptimalkan untuk menjaga pertumbuhan konsumsi rumah tangga tetap di atas 5 persen dalam kondisi pelambatan pertumbuhan ekonomi,” ujar Askolani.
Transfer ke daerah
Belanja pemerintah diarahkan untuk menstrimulasi pertumbuhan ekonomi daerah. Hal itu tecemin pada realisasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) yang mencapai Rp 676,9 triliun atau 81,9 persen dari pagu. Realisasi TKDD itu tumbuh 4,7 persen, lebih tinggi daripada Oktober 2018 yang hanya 1,2 persen.
Secara nominal mayoritas belanja TKDD lebih tinggi dibandingkan dengan Oktober 2018. Rinciannya, dana transfer umum Rp 452,8 triliun, dana transfer khusus Rp 149,6 triliun, dana insentif daerah Rp 9,7 triliun, dan dana desa Rp 52 triliun. Realisasi belanja TKDD itu juga tumbuh lebih tinggi daripada periode sama 2018.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, belanja pemerintah yang masih bisa digenjot untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah transfer ke daerah dan dana desa. Namun, efektivitas belanja tergantung kapabilitas pemerintah daerah dalam mengelolanya. ”Dampak transfer ke daerah bagi pertumbuhan ekonomi sulit diprediksi karena tergantung pemimpin daerahnya,” kata Faisal.
Dari hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), setiap 1 persen kenaikan belanja kementerian/lembaga memiliki andil terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06 persen. Sementara setiap 1 persen kenaikan transfer dana ke daerah secara agregat dapat meningkatkan 0,016 persen pertumbuhan ekonomi daerah.
Menurut Faisal, pemimpin daerah yang kreatif sangat dibutuhkan dalam situasi perekonomian yang lesu. Mereka akan mencari sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru dengan memaksimalkan potensi lokal. Terobosan kebijakan diperlukan untuk mengelola TKDD sehingga mampu menstimulasi perekonomian daerah.