Dinamika lama dan baru di berbagai kawasan memicu pelambatan pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini. Indonesia berupaya mencari peluang di tengah gejolak ini agar ekonomi dalam negeri tetap bertahan.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinamika lama dan baru di berbagai kawasan memicu pelambatan pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini. Indonesia berupaya mencari peluang di tengah gejolak ini agar ekonomi dalam negeri tetap bertahan.
Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,2 persen pada 2019. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan baru akan membaik menjadi 3,5 persen pada 2020.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, situasi geoekonomi dan geopolitik sama-sama muram pada tahun ini. Dunia diwarnai konflik berkepanjangan, baik itu akibat krisis politik, perang dagang, rivalitas, ataupun masalah kesejahteraan.
”Konflik lama susah diselesaikan dan muncul konflik baru, inilah dunia yang sedang kita tinggali. Kita bersama harus membuat ekonomi yang berketahanan. Salah satunya dengan memanfaatkan pasar Indonesia sebagai daya tawar dalam bernegosiasi sehingga Indonesia tetap diuntungkan,” kata Retno dalam Rapat Kerja Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Hubungan Internasional, di Jakarta, Selasa (19/11/2019).
Retno melanjutkan, pengusaha berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui kegiatan ekspor dan investasi. Investasi tidak hanya mengenai investasi dalam negeri, tetapi juga investasi di luar negeri (outbound investment).
Wakil Ketua Umum Kadin Shinta W Kamdani mengatakan, pengusaha mengantisipasi gejolak global dengan menargetkan target pasar dan menawarkan komoditas yang lebih terarah untuk ekspor serta investasi. Bersama pemerintah, Kadin telah memetakan peluang yang bisa diambil dari negara tradisional dan nontradisional.
”Pasar Amerika Serikat, misalnya, tetap berpeluang besar meskipun ada perang dagang. Kami lihat barang-barang Indonesia bisa masuk ke sana untuk mengambil alih posisi barang China, yaitu tekstil, alas kaki dan sepatu, elektronik, makanan dan minuman, serta furnitur,” tutur Shinta.
Kadin akan mengidentifikasi kesiapan produksi barang dalam lima sektor itu di Indonesia. Pelaku usaha kemudian diberi bimbingan dan fasilitas untuk berinteraksi dengan calon pembeli di AS. Untuk itu, Kadin ingin membuka kantor perwakilan langsung bersama KBRI di AS sebab perdagangan masih dilakukan melalui pihak ketiga, seperti Jepang dan Singapura.
Ketua Kadin Rosan Roeslani menambahkan, duta besar dan perwakilan Indonesia di luar negeri dapat berperan sebagai intelijen pasar. ”Mereka dapat memberi masukan mengenai bagaimana meningkatkan perdagangan dan investasi, seperti bagaimana pendekatan yang perlu dilakukan dan kebijakan setempat yang perlu diantisipasi,” tuturnya.
Adapun konsep perdagangan antarnegara kini menekankan pada prinsip adil dan timbal balik. Sebagai contoh, suatu negara tidak lagi hanya bisa mengekspor sesuatu tanpa mengimpor barang atau berinvestasi di negara mitra.
Perjanjian perdagangan
Retno melanjutkan, Indonesia bersama sejumlah negara membahas Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA). Pembahasan CEPA dengan Uni Eropa sedang berlangsung, tetapi masih terkendala isu minyak sawit. Adapun negosiasi Indonesia-Korea Selatan CEPA (IK-CEPA) telah selesai.
Secara terpisah, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Siswo Pramono mengatakan, CEPA bertujuan menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi pebisnis kedua negara. Laporan dari tim gabungan Indonesia-Korea Selatan pada 2011 menyebutkan, perdagangan kedua negara sangat saling melengkapi.
”Trade complementarity index (TCI) produk Indonesia di pasar Korea Selatan di atas 64, sedangkan produk Korea Selatan di pasar Indonesia sekitar 62. Artinya, barang-barang kita lebih complimentary terhadap impor Korea Selatan dibandingkan dengan pasokan produk negara lain ke Korea Selatan. Pada 2018, perdagangan Indonesia surplus sekitar 450 juta dollar AS,” tutur Siswo.
Shinta menambahkan, IK-CEPA menguntungkan Indonesia karena dapat menarik investasi asing. Beberapa perusahaan teknologi telah menunjukkan ketertarikan ke Indonesia, seperti Hyundai yang ingin mengembangkan mobil listrik.
”Pengusaha perlu segera memanfaatkan keuntungan Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA), dan Perjanjian Perdagangan Preferensial (PTA) yang telah disepakati. PTA itu penting, terutama untuk negara Afrika yang memiliki tarif tinggi,” kata Shinta.