prevalensi penderita anemia terus meningkat, terutama untuk usia 15-24 tahun. Kondisi anemia atau kurang darah bisa menjadi indikasi kondisi kurang gizi yang harus segera diperbaiki.
Oleh
Deonisia Arlinta
·4 menit baca
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Siwa SMAN 78 Jakarta menunjukkan tablet tambah darah yang digunakan untuk mencegah terjadinya anemia pada remaja. Foto diambil pada Senin, 18 November 2019.
Bagi sebagian orang, kondisi anemia atau kurang darah bukan menjadi masalah serius. Padahal, penyakit ini bisa menjadi indikasi kondisi kurang gizi yang harus segera diperbaiki.
Data Riset Kesehatan Dasar menyebutkan prevalensi penderita anemia terus meningkat, terutama untuk usia 15-24 tahun. Pada 2013, prevalensi anemia pada usia tersebut sebesar 18,4 persen dan meningkat menjadi 32 persen pada 2018. Angka ini termasuk tinggi, di atas standar ukuran WHO yang sebesar 10 persen.
Kurangnya konsumsi zat besi menjadi faktor utama penyebab terjadinya anemia. Zat besi bisa didapatkan dari daging merah, hati, kacang-kacangan, serta sayuran hijau.
Kurangnya konsumsi zat besi menjadi faktor utama penyebab terjadinya anemia.
Faktor lainnya karena kurang asupan makanan yang dapat memicu penyerapan zat besi. Faktor pemicu penyerapan zat besi bisa didapatkan dari makanan atau minuman dengan kandungan tinggi vitamin C, asam folat, zink, mineral, serta vitamin B1, B6, dan B12.
“Zat besi dalam daging merah paling baik diserap oleh tubuh karena penyerapannya bisa mencapai 50 persen. Sedangkan kandungan pada tumbuhan seperti kacang-kacangan dan sayuran hijau hanya bisa diserap sekitar 20 persen. Itu pun bisa terserap optimal jika faktor pemicu lainnya seperti vitamin C terpenuhi,” ujar dokter spesialis gizi klinik yang juga Kepala Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Nurul Ratna Mutu Manikam beberapa waktu lalu di Jakarta.
Dokter Spesialis Gizi Klinik yang juga Kepala Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Nurul Ratna Mutu Manikam
Menurut Nurul, masalah anemia terjadi baik di pedesaan maupun perkotaan. Jika di pedesaan dipengaruhi oleh daya beli yang kurang dalam mengakses daging merah, kasus anemia di perkotaan lebih banyak disebabkan karena masalah obesitas.
Masyarakat perkotaan cenderung mengonsumsi makanan dengan kuantitas yang banyak tetapi kualitasnya kurang. Asupan karbohidrat dan lemak lebih sering dipilih dibanding makanan yang tinggi nutrisi. Belum lagi tingginya konsumsi teh, kopi, soda, dan minuman manis lainnya yang justru bisa menghambatan peyerapan nutrisi dalam tubuh.
Jika anemia pada remaja bisa menjadi indikasi kondisi kurang gizi yang harus segera diperbaiki, pada perempuan hamil lebih berbahaya lagi. Berbagai risiko bisa mengancam keselamatan ibu dan bayi jika ibu hamil mengalami anemia, antara lain kelahiran prematur, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), dan pendarahan dalam persalinan.
Untuk itu, pencegahan yang paling efektif dilakukan sejak perempuan usia remaja sehingga ketika dewasa sudah dalam kondisi sehat dan siap untuk hamil. Untuk itu, pemerintah pun melakukan intervensi melalui program pemberian tablet tambah darah (TTD) bagi anak usia sekolah. Tablet ini diberikan setiap satu minggu sekali untuk mencegah anemia pada remaja putri.
Pencegahan yang paling efektif dilakukan sejak perempuan usia remaja sehingga ketika dewasa sudah dalam kondisi sehat dan siap untuk hamil.
Namun, sasaran program ini belum mencakup seluruh remaja putri di Indonesia. Proporsi remaja putri usia 10-11 tahun yang mendapat TTD pada 2018 baru sebesar 2,7 persen. Sementara, untuk usia 12-15 tahun 25,1 persen, usia 16-18 tahun 34,6 persen, dan usia 19 tahun sebesar 25,5 persen.
Dari jumlah itu, tidak semua mengonsumi TTD secara rutin setiap minggu. Dalam Riskesdas 2018, jika terhitung satu tahun ada 52 minggu, hanya 5,4 persen anak usia 12-15 tahun yang memperoleh dan meminum TTD lebih dari 52 butir dalam setahun. Adapun pada usia 16-18 hanya 2,5 persen dan pada usia 19 tahun hanya 1,3 persen.
Maria (16), satu siswa SMAN 78 di Jakarta, mengaku tidak pernah mengonsumsi tablet tambah darah meskipun setiap minggu diberikan di sekolah. “Rasanya enggak enak, kaya besi. Saya juga tidak merasa sakit jadi kenapa harus minum obat. Jadi biasanya saya bilang saja sudah diminum padahal saya buang,” katanya.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Suasana kantin sekolah SMAN 78 Jakarta ketika waktu istirahat berlangsung. Mayoritas warung-warung yang tersedia di kantin ini menjual minuman kemasan dan makanan yang diolah dengan digoreng.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan Siswanto mengatakan, sebagian besar alasan utama remaja putri tidak meminum atau pun mengonsumsi TTD yang diberikan dari sekolah karena rasa dan bau tidak enak. Alasan lain lupa untuk mengonsumsi, merasa tidak perlu, merasakan efek samping seperti pusing dan mual, serta meminum ketika haid saja.
Karena itu, pemberian TTD belum menunjukkan hasil yang efektif dalam upaya pencegahan anemia pada remaja. Perubahan perilaku dengan mengosumsi makanan dengan gizi seimbang perlu lebih digalakkan. Secara praktis hal ini bisa dilakukan dengan memantau konsumsi makanan anak di kantin sekolah. Kantin sehat di sekolah tidak hanya merujuk pada kebersihan saja melainkan juga memastikan jajanan yang dijual bernutrisi tinggi.
Pemberian TTD belum menunjukkan hasil yang efektif dalam upaya pencegahan anemia pada remaja.
Kepala Dinas DKI Jakarta, Widyastuti, menuturkan, pemberian TTD sudah dilakukan secara rutin di semua sekolah yang diberikan melalui program UKS. Pemerintah DKI mengimbau agar pemberian TTD dilakukan bersamaan dengan program sarapan bersama dan pengenalkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Tujuannya agar remaja juga menerapkan konsumsi makanan dengan gizi seimbang.
KOMPAS/HELENA F NABABAN
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Widyastuti (tengah)ane
Namun, pemberian TTD harus tepat waktu karena pemberian TTD setelah kondisi perut terisi tidak akan efektif. “Pemberian TTD seharusnya diberikan ketika perut kosong. TTD yang diberikan pemerintah mengandung zat besi dan folat. Jika perut sudah terisi kandungan makanan lain, penyerapan zat besi dan folat tidak akan maksimal,” kata Nurul.
Melihat angka anemia pada remaja saat ini sudah cukup tinggi, butuh alternatif lain untuk mengatasinya. Pencegahan melalui pemberian TTD dirasa belum maksimal sehingga perlu ada upaya deteksi dini dengan pemeriksaan rutin bagi remaja putri.
Melalui deteksi, remaja akan tahu jika kondisinya sudah membutuhkan tindak lanjut sehingga diharapkan secara sadar bisa memperbaiki pola hidupnya.