Ironi Guru Honorer di Banda Aceh
Kekurangan guru pegawai negeri di sekolah dasar di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, ditutupi guru honorer. Pengabdian mereka dihargai ala kadarnya oleh negara. Gaji guru honorer jauh di bawah upah minimum provinsi.
Kekurangan guru pegawai negeri di sekolah dasar di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, ditutupi guru honorer. Sebagai pendidik, masa depan siswa ada di pundak mereka. Namun, pengabdian mereka dihargai ala kadarnya oleh negara. Gaji guru honorer jauh di bawah upah minimum provinsi.
Jam istirahat telah berakhir. Agustina (33), guru SD Negeri 70 Banda Aceh, memanggil siswa yang sedang bermain bola di halaman sekolah, di Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, Jumat (1/11/2019).
”Anak-anak, semua masuk kelas,” katanya sambil menunggui siswa di pintu.
Satu per satu siswa menempati kursi masing-masing. Mereka duduk dengan tangan dilipat di atas meja, bersiap menerima pelajaran Matematika.
Agustina memberikan beberapa soal perkalian kepada siswa. ”Lima kali lima berapa, anak-anak?” ujar Agustina nyaring. Beberapa detik senyap, tidak ada yang menjawab.
Agustina memberikan petunjuk dengan mengangkat dua tangan. ”Jari kita ada lima, jika dihitung lima kali, makanya jumlah?” kata Agustina. ”Dua puluh lima,” teriak siswa serentak. Agustina merasa bahagia, muridnya bisa menjawab soal.
Suasana belajar seperti itu telah dijalani Agustina sejak 2010. Dia seorang guru honorer di SDN 70 Banda Aceh, dengan tugas dan tanggung jawab sama seperti guru pegawai negeri. Yang membedakan hanyalah gaji.
”Terus terang saja, gaji saya di sini sebulan hanya Rp 400.000,” kata Agustina yang lulusan S-1 Universitas Muhammadiyah Aceh ini.
Di sekolah, Agustina dipercaya menjadi guru kelas/wali kelas II. Sebagai guru kelas, dia bertanggung jawab penuh terhadap proses belajar-mengajar bagi anak didiknya.
Terus terang saja, gaji saya di sini sebulan hanya Rp 400.000
Setiap hari, dia harus tiba di sekolah sebelum pukul 08.00 dan pulang pukul 12.30. Agustina tinggal di Desa Blang Bintang, Aceh Besar, sekitar 20 kilometer dari sekolah. Butuh waktu sekitar 40 menit dari rumah untuk tiba ke sekolah.
”Kalau dihitung, gaji hanya cukup untuk biaya (bahan bakar) minyak motor,” ujar Agustina. Walaupun gaji kecil, ibu tiga anak ini tetap ikhlas mengajar. Baginya profesi guru adalah ladang amal. Ia menyadari kualitas pendidikan siswa ada di pundaknya.
Mengandalkan gaji sebagai guru honorer tentu tidak cukup. Pulang sekolah, Agustina bersama suami menggarap sawah. ”Paling tidak beras tidak perlu beli lagi,” ujarnya. SDN 70 Banda Aceh mengalami kekurangan guru PNS. Dari 15 guru, hanya 6 orang yang berstatus PNS. Sisanya, 3 guru kontrak dan 6 guru honorer.
Muharri (36), guru honorer lain di SDN 70 Banda Aceh, juga bekerja sampingan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Ia menjadi guru honorer sejak 2005 atau setahun setelah bencana tsunami.
Ketika gempa dan tsunami, SD itu hancur dihantam gelombang. Warga Gampong Jawa mengungsi ke Desa Doy. Selama di pengungsian itu, warga sepakat membuka sekolah darurat. Muharri sebagai warga Gampong Jawa merasa bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak di desanya sehingga bersedia menjadi guru honorer.
”Sebagai manusia, saya ingin lebih baik, dikontrak atau diangkat jadi PNS. Namun, saya terlalu sering diberikan harapan,” katanya. Setelah mengajar, untuk menambah penghasilan, Muharri menjadi tukang ojek daring dan kerja serabutan. ”Menteri (Nadiem Makarim) yang punya ojek online (Gojek), kalau guru jadi tukang ojek wajar saja,” kata Muharri tertawa.
Jika ada penerimaan, saya berharap guru honorer ini yang diangkat sebab selama ini mereka mengabdi tanpa kena lelah.
Kepala SDN 70 Banda Aceh Mariani mengatakan, sejak 2014, belum ada penerimaan guru PNS yang ditempatkan di sekolahnya. Dia berterima kasih kepada para guru kontrak dan guru honorer yang mau mengajar meski dengan upah berkisar Rp 400.000 sampai Rp 600.000 per bulan, jauh di bawah upah minimum provinsi Rp 2,9 juta per bulan.
”Jika ada penerimaan, saya berharap guru honorer ini yang diangkat sebab selama ini mereka mengabdi tanpa kena lelah,” kata Mariani.
Buruh cuci pakaian
Nasib Maria Ulfa (31), guru honorer lain di SDN 72 Banda Aceh, tak jauh berbeda. Sejak mengajar pada Juni 2018, ia hanya diupah Rp 230.000 per bulan. Dia mau bertahan sebab menjadi guru adalah cita-cita sejak remaja. ”Pernah mau berhenti, tetapi membayangkan wajah siswa, tidak tega saya meninggalkan mereka,” kata Maria.
Di sekolah, Maria diberi tugas menjadi wali kelas I. Tugasnya tidak ringan. Dia harus mengajarkan siswa membaca, berhitung, bahkan hal yang dasar, seperti cara memegang pensil. Namun, ada kebahagiaan tak ternilai saat melihat siswa mampu menguasai apa yang diajarkan.
Maria memiliki tiga anak. Dia tinggal di Desa Meunasah Papeun, Aceh Besar, sekitar 8 kilometer dari sekolah. Rumahnya dibangun di tepi Sungai Aceh, di sepadan sungai, tanah milik negara. Sewaktu- waktu rumah itu bisa digusur dan ia harus menerimanya.
Suami Maria berjualan bakso keliling. Maria membantu keuangan rumah tangga dengan usaha membuat kue basah dan menjadi buruh cuci pakaian. ”Saya ikhlas saja, mungkin ini jalan hidup saya,” kata Maria.
Namun, sebagai manusia, Agustina, Muharri, dan Maria berharap negara memperhatikan nasib mereka. Pengabdian mereka sudah sepantasnya lebih dihargai.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Banda Aceh Saminan mengatakan, kekurangan guru SD pegawai negeri telah terjadi sejak 2015. Hal ini dampak dari jeda penerimaan PNS yang dilakukan Pemko Banda Aceh pada 2010. Untuk menutupi kekurangan guru, diangkat guru kontrak dan honorer.
”Banyak guru yang pensiun, tetapi tidak ada penerimaan baru. Kalau kondisi ini terus terjadi, kami khawatir berdampak pada kualitas mengajar,” kata Saminan.
Ia menambahkan, untuk menutupi kekurangan guru PNS, diangkat guru kontrak dan honorer. Meski upah di bawah UMP, para guru mengajar penuh waktu dan penuh dedikasi. Sebagian besar menjadi guru kelas/wali kelas.
Upah yang diterima guru honorer sekolah disadari sangat tidak layak. Namun, aturan penggunaan dana BOS untuk pembayaran honor guru hanya dibolehkan 15 persen dari jumlah dana bos di setiap sekolah. ”Kami berharap mereka bisa dikontrak Pemko Banda Aceh, tetapi anggaran pemerintah juga terbatas,” ujar Saminan.
Banyak guru yang pensiun, tetapi tidak ada penerimaan baru.
Dari total 72 sekolah dasar, Banda Aceh membutuhkan 912 guru. Namun, guru berstatus pegawai negeri yang tersedia 714 orang. Untuk menutupi kekurangan tenaga pengajar, Pemko Banda Aceh mengangkat guru kontrak sebanyak 135 orang dan sekolah mengangkat guru honorer sebanyak 137 orang.
Guru kontrak dibayar menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Kota (APBK) Banda Aceh sebesar Rp 1,5 juta per bulan. Adapun guru honorer dibayar menggunakan biaya operasional sekolah (BOS).
Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Banda Aceh Fadli mengatakan, para guru kontrak dan honorer gaji kecil tanpa asuransi, tunjangan kerja, dan tunjangan hari raya.
”Padahal, kontribusi mereka tak jauh beda dengan guru PNS, hal ini dapat kita buktikan dari sisi jam mengajar dan lama pengabdian. Ada yang sudah mengabdi selama 15 tahun,” kata Fadli.
IGI Banda Aceh kerap menyampaikan persoalan tersebut kepada pemerintah kota. Fadli berharap jerih dan pengabdian guru kontrak dan honorer dibayar sesuai UMP.