Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia menolak Perda DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2018 yang antara lain mengatur pusat belanja atau mal wajib mengalokasikan 20 persen area untuk pengusaha UMKM.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menolak Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perpasaran. Sebab, di dalam aturan itu disebutkan bahwa pusat belanja atau mal wajib memberikan area yang luas untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Dalam Pasal 42 perda itu disebutkan, pengelola pusat perbelanjaan wajib menyediakan ruang usaha seluas 20 persen yang dihitung berdasarkan luas efektif lantai usaha untuk kegiatan UMKM.
Ketua APPBI DKI Jakarta Ellen Hidayat, Senin (16/11/2019), mengatakan, perda mengatur semua pusat belanja tanpa terkecuali. Padahal, ada beragam jenis mal di Jakarta. Di trade mall seperti Thamrin City, hampir 97 persen kiosnya dipakai pengusaha UMKM. ”Jika aturan tersebut diterapkan, bagaimana dengan para pengusaha UMKM lain yang sudah ada?” katanya.
Sementara itu, di mal lain yang rata-rata merupakan perusahaan go public, menyerahkan 20 persen tempat usaha kepada pihak lain akan menyulitkan dalam urusan pertanggungjawaban.
Untuk mal berjenis strata titel yang kepemilikannya sudah beralih dari developer ke pemilik unit, aturan ini akan menyulitkan karena unit sudah dijual dan menjadi aset pribadi.
”Aturan ini tidak adil untuk kalangan pengusaha. Apalagi jika ada investor mau masuk ke Jakarta, merasa dipersulit,” kata Ellen, yang juga menjabat CEO Emporium Mall itu.
Ketua APPBI Stefanus Ridwan menambahkan, berdasarkan data APPBI, sudah 60 persen anggota APPBI yang memfasilitasi UMKM masuk ke mal. Total ada sekitar 42.800 UMKM di Jakarta yang masuk ke mal. Di luar itu juga ada kantin di dalam dan luar mal. Jumlah kantin tak kurang dari 712 unit. ”Ini belum termasuk bazar UMKM yang diselenggarakan secara berkala di mal-mal. Baik dari Dekranasda maupun dinas UMKM, jumlahnya mencapai 207.000 UMKM yang berpameran selama satu tahun,” kata Ridwan.
Ridwan membeberkan, jika aturan di Perda Perpasaran diterapkan, pengusaha mal akan kehilangan potensi pendapatan yang sangat besar. Padahal, investasi yang ditanamkan untuk membuat mal sangat besar. Untuk mal dengan jumlah pengunjung yang ramai dan stabil, pengembalian modal bisa mencapai 11 tahun. Sementara mal dengan tingkat pengunjung biasa dan menengah bisa mencapai 15 tahun.
”Ini baru investasi untuk gedungnya, ya, belum termasuk harga tanahnya,” ujar Ridwan.
Pemprov DKI juga diharapkan melakukan survei yang matang dan komprehensif terkait jenis UMKM yang bisa masuk ke dalam mal. Sebab, berdasarkan pengalaman APPBI selama ini, banyak UMKM yang tidak betah berjualan di mal. Penyebabnya, ada yang tidak bisa memenuhi permintaan pelanggan, tidak bisa menggaji karyawan, ataupun jumlah pengunjung di mal yang sepi.
Terkadang pengusaha UMKM di sekitar mal sudah dibawa masuk ke dalam pun tergiur untuk keluar lagi karena segmen pasar yang tidak sesuai saat berjualan di dalam mal. ”Tidak semua UMKM cocok masuk ke dalam mal. Harus ada seleksi ketat siapa aja yang bisa masuk dan bertahan di dalam mal,” kata Ridwan.
Terkait dengan permasalahan ini, APPBI pusat mengajukan judicial review, sedangkan APPBI DKI mengawal proses penyusunan peraturan gubernur yang akan menjadi petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan aturan ini.
”Kami akan bicara ke Pemprov DKI. Bagaimana solusi atas permasalahan ini? Semoga ada win-win solution,” kata Ellen.
APPBI juga tidak akan menolak upaya pemerintah untuk memajukan UMKM. Salah satunya adalah dengan memberikan pembekalan kepada UMKM bagaimana mengemas produk supaya bisa diterima di segmen pasar yang lebih luas. Selain itu, beberapa opsi lain, seperti bazar berkala di lobi ataupun ruang lain di mal, juga bisa dilakukan untuk memfasilitasi UMKM.
”Jangan sampai pemerintah hanya mengambil kebijakan populis. Semua suara harus didengar, baik dari pengusaha maupun UMKM,” ujar Ridwan.
Kepala Dinas Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Perdagangan DKI Jakarta Adi Ariantara saat dikonfirmasi terkait aturan ini belum bisa berkomentar. Sebab, perda baru bisa dilaksanakan setelah ada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari produk hukum turunannya, yaitu pergub. ”Saya belum bisa berkomentar banyak soal aturan itu karena pergubnya sedang disusun,” ujar Adi.