Sejak Usia Berapa Anak Boleh Memegang Gawai Sendiri?
Anak yang menghabiskan lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan teknologi layar (televisi, komputer, dan gawai) kebanyakan berada dalam keluarga yang menggunakan lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan layar.
Anak yang menghabiskan lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan teknologi layar (televisi, komputer, gawai) kebanyakan berada dalam keluarga yang menggunakan lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan layar.
Demikian salah satu kesimpulan dari penelitian terbaru yang diterbitkan di jurnal JAMA Pediatric, 4 November 2019. Lantas, apa persoalannya dengan penggunaan gawai pada anak? Bukankah pengenalan teknologi sejak dini akan mempermudah anak memperoleh manfaatnya? Sejauh mana efek negatif penggunaan gawai pada anak?
Pengaruh negatif paparan layar pada anak mulai terlihat ketika anak menjadi kecanduan terhadap gawai. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hilda Kabali pada 2015 di AS memperlihatkan bahwa hampir semua anak (97 persen) yang diteliti mulai diperkenalkan dengan gawai sebelum usia satu tahun.
Kebanyakan orangtua, dari total 350 anak usia 6 bulan hingga 4 tahun, memberikan gawai kepada anak sebagai pengalih perhatian saat harus melakukan pekerjaan lain (70 persen), agar anak tenang (65 persen), dan sesaat sebelum tidur (29 persen).
Sejak dini
Selain itu, sejak umur dua tahun, anak-anak yang diteliti mulai terpapar layar setiap hari, bergantian antara menonton televisi dan menggunakan gawai. Menginjak umur tiga tahun, mereka menggunakan gawai tanpa pengawasan dari orangtua.
Penelitian yang dilakukan di Philadelphia, Amerika Serikat, tersebut lebih terarah pada adanya relasi antara kepemilikan gawai personal pada anak sejak dini dengan etnisitas dan latar belakang pendidikan orangtua. Mereka yang diteliti adalah anak-anak dari orangtua dengan pendapatan rendah dari komunitas minoritas di AS.
Akan tetapi, batasan latar belakang subyek penelitian tersebut tidak kemudian membatasi bahwa temuan itu hanya berlaku bagi anak-anak dari orangtua dengan pendidikan rendah ataupun dari komunitas minoritas. Temuan tersebut hanya mempertajam temuan dari penelitian lebih umum yang dilakukan sebelumnya.
Pada 2013, Common Sense Media melakukan penelitian nasional terhadap penggunaan media pada anak usia 0-8 tahun di Amerika Serikat. Hasilnya, jumlah anak yang menggunakan gawai meningkat dua kali lipat, dari 38 persen pada 2011 menjadi 72 persen pada 2013.
Hal tersebut didukung dengan kepemilikan gawai yang semakin tinggi sejak dini. Sebanyak 63 persen anak sudah memiliki gawai sendiri, naik dari 41 persen pada survei tahun 2011.
Dua penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengenalan dan pemberian gawai personal sejak dini pada anak semakin memperbesar peluang anak untuk kecanduan terhadap gawai.
Kekhawatiran terhadap kecanduan itulah yang mendorong pemerintah di kawasan Amerika Utara dan Eropa memberikan rambu-rambu batasan penggunaan teknologi layar pada anak-anak, terutama bagi anak di bawah usia lima tahun (balita). Mereka memberikan rekomendasi bagi keluarga untuk mengatur penggunaan gawai bagi anak-anak.
Batasan penggunaan
Salah satu rambu-rambu yang kemudian dijadikan acuan adalah panduan dari American Academy of Pediatrics (AAP) pada 2016. AAP mengeluarkan panduan penggunaan layar bagi anak dan orangtua dengan judul ”Media and Young Minds”.
AAP menunjukkan bahwa walaupun terdapat potensi positif penggunaan media interaktif (terutama gawai) di bidang pendidikan, terdapat pula ketakutan dari orangtua terhadap perkembangan otak anak yang menggunakan media interaktif secara berlebihan.
AAP menunjukkan ada tiga persoalan yang mengikuti penggunaan media interaktif pada anak secara berlebihan, yakni kegemukan, kesulitan tidur, hingga gangguan perkembangan. Oleh karena itu, diperlukan bimbingan orangtua dalam penggunaan media interaktif pada anak-anak.
Pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh AAP tersebut merekomendasikan bahwa penggunaan media digital tidak boleh lebih dari satu jam per hari bagi anak usia dua hingga lima tahun. Anak di bawah usia dua tahun tidak disarankan untuk menggunakan media digital.
Bagi keluarga, AAP menyarankan agar orangtua membatasi dan mengawasi anak dalam mengeksplorasi media digital. AAP memberikan pendapat berbeda terhadap pandangan yang menyatakan bahwa pengenalan teknologi perlu dilakukan sejak dini.
Menurut penelitian AAP, teknologi antarmuka merupakan sesuatu yang intuitif sehingga anak akan cepat menangkap ketika menggunakannnya. Mengingat kemudahan penggunaannya, orangtua tidak perlu merasa tertekan oleh lingkungan agar cepat-cepat memperkenalkan media digital (gawai) sejak dini.
Selain itu, AAP juga menyarankan agar tidak menggunakan media digital sebagai satu-satunya cara untuk menenangkan anak. Hal tersebut berpengaruh terhadap kemampuan anak dalam mengelola emosi.
Di tingkat dunia, WHO juga mengeluarkan panduan bagi keseimbangan aktivitas anak-anak di bawah lima tahun. WHO menggunakan berbagai penelitian sepanjang 2017 yang menggabungkan kebiasaan bergerak dan indikator kesehatan bagi anak usia 0-4 tahun dari 10 penelitian di lima negara yang melibatkan keseluruhan 7.436 partisipan.
WHO menemukan hubungan antara perkembangan motorik dan kognitif, psikososial, serta metabolisme kardiologi pada anak yang banyak terpapar teknologi layar.
Hasil studi terhadap berbagai penelitian yang dirangkum oleh WHO menyimpulkan bahwa mengurangi waktu sedenter (duduk diam lama) dan menambah aktivitas fisik berhubungan dengan perkembangan motorik dan kebugaran bagi anak-anak pada usia sebelum sekolah.
Oleh karena itu, WHO kemudian menyarankan agar anak berusia kurang dari lima tahun mengurangi aktivitas melihat layar dan lebih banyak bermain jika mereka ingin berkembang dengan sehat.
Dengan dasar tersebut, WHO memberikan panduan jumlah waktu dalam sehari bagi anak balita untuk melakukan aktivitas fisik, tidur, serta maksimum waktu bagi mereka untuk duduk dan mengakses layar.
Memengaruhi otak
Penelitian dan rekomendasi WHO di atas kemudian dipertajam oleh penelitian John Hutton yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Pediatrics pada 4 November 2019. Hutton ingin mengetahui pengaruh penggunaan layar bagi perkembangan otak anak balita.
Ia meneliti 47 anak usia 3-5 tahun dari Agustus 2017 hingga November 2018 dari berbagai rumah sakit anak dan klinik di AS. Penelitian tersebut melibatkan penggunaan alat scan MRI yang disebut diffusion tensor imaging (DTI) pada anak digabungkan dengan data oleh orangtua subyek penelitian.
Kesimpulannya, Hutton menemukan adanya hubungan antara peningkatan penggunaan media berbasis layar, dihubungkan dengan panduan AAP, dengan rendahnya struktur integral saluran bagian otak berwarna putih (brain white matter integrity tracts). Anak yang menggunakan teknologi layar lebih dari satu jam tanpa interaksi dengan orangtua memiliki otak berwarna putih yang lebih tidak terorganisasi dan kurang berkembang.
Padahal, saluran bagian otak berwarna putih tersebut berfungsi sebagai eksekutor yang mendorong munculnya kemampuan bahasa dan keterampilan literasi anak-anak pada usia sebelum sekolah.
Penelitian ini membatasi pada anak-anak di bawah usia sekolah dan penggunaan media. Artinya, kesimpulan tidak dapat ditarik terlalu jauh. Media hanya salah satu dari berbagai pengalaman awal dalam pertumbuhan pembentukan otak anak-anak. Terdapat pengalaman lain yang juga berperan.
Akan tetapi, penggunaan layar yang berlebih dapat menghalangi kemungkinan adanya pengalaman lain yang ikut memperkuat jaringan komunitasi otak pada anak.
Dengan demikian, hasil penelitian ini cukup untuk memberikan gambaran bahwa penggunaan gawai secara berlebih pada anak dapat berpengaruh, bukan hanya pada persoalan kesehatan dan kecanduan, melainkan juga pada perkembangan otak anak.
Mengingat penduduk yang sehat merupakan investasi terbesar bagi sebuah negara, wanti-wanti dari berbagai penelitian di atas terhadap penggunaan layar yang berlebih pada anak perlu diwaspadai, termasuk di Indonesia.
Sebuah langkah praktis yang bersifat preventif perlu segera dibuat untuk mempersiapkan sebuah generasi yang sehat bagi Indonesia. Panduan praktis seperti yang disarankan oleh AAP dan WHO di atas dapat diadaptasi bagi anak-anak Indonesia. Terlebih, Indonesia sedang bergerak menuju pembentukan generasi unggul.
Sindiran dari sebuah film animasi lawas Wall E (2008) dapat menjadi refleksi bersama. Ketika manusia terlalu dimanjakan dengan teknologi, manusia akan berubah menjadi sosok tambun yang hanya duduk sambil mengakses seluruh kebutuhannya tanpa beranjak dari kursinya. Apabila demikian, kegiatan fisik manusia tak lebih dari gerakan mata, aktivitas mengunyah makanan, dan sapuan jempol di layar gawai. (Litbang Kompas)