Saat Masyarakat Makin Sulit Mengakses Air Bersih
Ketersediaan air bersih kian mahal di Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan air minum yang bersih dan layak, sebagian masyarakat kini lebih memilih air isi ulang atau air minum dalam kemasan, walau harus membeli.
Ketersediaan air bersih kian mahal di Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan air minum yang bersih dan layak, sebagian masyarakat kini lebih memilih air isi ulang atau air minum dalam kemasan, walau harus membeli. Pemenuhan kebutuhan air bersih bagi masyarakat masih jauh dari target akses universal.
Pemerintah menargetkan akses air bersih 100 persen kepada seluruh penduduk pada akhir tahun ini, sesuai yang diamanatkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak.
Namun, dalam penerapan program akses universal tersebut, pencapaian target tersebut masih memerlukan kerja keras oleh pemerintah. Hingga 2018, persentase rumah tangga yang terakomodasi air minum layak mencapai 73,68 persen.
Sebanyak 19 provinsi masih memiliki persentase rumah tangga dengan akses air minum layak di bawah capaian nasional. Artinya, akses air bersih terutama air minum layak belum merata dirasakan oleh rumah tangga di Indonesia. Ini terutama terjadi di Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan, Papua, Lampung, dan Bengkulu.
Dukungan regulasi, tekanan perubahan iklim, dan kondisi kualitas air menjadi bayang-bayang tercapainya target pemenuhan air bersih bagi masyarakat. Pengesahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air yang menggantikan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 sedikit banyak memengaruhi lanskap pengelolaan penyediaan air minum.
Dalam regulasi yang baru ini, swasta dilarang melakukan pengelolaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Sementara penyediaan SPAM hanya boleh dikelola oleh BUMN, BUMD, dan BUMDes.
Padahal, melihat kesenjangan pemenuhan air bersih dengan target akses universal 100 persen tahun ini, tampaknya pemerintah akan lebih sulit memenuhi target apabila tanpa bantuan swasta (Kompas, 20 Agustus 2019).
Di sisi lain, tekanan perubahan iklim dan degradasi lingkungan menyebabkan ketersediaan air menurun. Pada musim kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan, krisis air bersih mulai meluas. Waduk dan bendungan yang digunakan untuk menampung airpun ikut surut. Sementara cadangan air tanah menipis karena berkurangnya daerah tangkapan air.
Kualitas air yang ada pun sebagian besar tidak dapat diandalkan karena tercemar. Berdasarkan Statistik Lingkungan Hidup 2018, kondisi air sungai di Indonesia pada umunya masih berstatus tercemar berat. Dari 82 sungai yang dipantau sepanjang tahun 2016-2017, sebanyak 50 sungai kondisinya stagnan, bahkan 14 sungai kualitasnya memburuk. Hanya 18 sungai yang kualitasnya membaik.
Membeli air
Belum meratanya akses air bersih membuat sebagian masyarakat memilih membeli air bersih. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2017 yang dilakukan Badan Pusat Statistik mencatat, sebanyak 47,7 persen masyarakat kini membeli air bersih. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan hasil Susenas 2010 yang sebanyak 34,6 persen.
Salah satu cara masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersih adalah membeli air dari perusahaan daerah air minum, PDAM, dan PAM. Namun, PDAM atau PAM juga tidak menjanjikan air teralirkan setiap saat. Adakalanya ketika musim kemarau air tidak tentu mengalir, bergantung pada sumber air.
Di saat-saat seperti itulah, sering kali masyarakat membeli air dari pihak swasta yang berkeliling dengan tangki-tangki air. Cara yang lebih sederhana lagi adalah penyediaan air yang dijual keliling menggunakan gerobak atau bahkan hanya dipikul.
Kini, jika hanya untuk kebutuhan air minum, masyarakat dimudahkan dengan ketersediaan air minum dalam kemasan (AMDK) dan air isi ulang. Jika dulu air minum kemasan diproduksi untuk menyasar target masyarakat kalangan atas, saat ini AMDK justru menjadi kebutuhan hampir seluruh masyarakat.
Air kemasan
Berdasarkan hasil Susenas 2005, 2010, dan 2017, persentase rumah tangga yang menggunakan air dalam kemasan dan air isi ulang untuk kebutuhan harian semakin meningkat.
Setidaknya, dalam kurun waktu 12 tahun, persentase rumah tangga yang mengonsumsi air minum dalam kemasan dan air isi ulang meningkat 31,09 persen, dari awalnya 4,06 persen pada 2005 menjadi 35,15 persen pada 2017.
Hal ini berkebalikan dengan tren penggunaan sumber air lain seperti leding, sumur, mata air, sungai, dan air hujan yang cenderung menurun dalam kurun waktu 12 tahun. Sementara penggunaan sumur bor atau pompa meningkat meskipun tidak setinggi peningkatan konsumsi AMDK dan air isi ulang.
Salah satu faktor penyababnya adalah air minum dalam kemasan dan air isi ulang memang mudah didapatkan. Saat ini saja terdapat sekitar 700 industi AMDK yang sebagian besar merupakan industri kecil dan menengah.
Tak heran, di warung-warung kecil pun, barang tersebut tersedia. Apalagi, air isi ulang dalam galon-galon dijual lebih murah sehingga masyarakat berbagai kalangan dapat membelinya.
Melihat krisis air bersih karena tekanan kondisi lingkungan dan kualitas air serta harga yang terjangkau, tak heran jika masyarakat lebih memilih membeli AMDK dan air isi ulang demi mendapatkan air yang layak. Contohnya masyarakat di Pontianak yang kini membeli AMDK sebagai kebutuhan utama air minumnya. Sebelumnya, masyarakat harus mengolah air hujan dulu untuk diminum.
Bagi masyarakat yang mampu, membeli air bersih bukan hal yang susah. Namun, masyarakat dengan pendapatan rendah hanya mendapatkan air sekadarnya. Itu pun jika akses jalan memadai. Jika tidak, mau tidak mau masyarakat mencari cara lain untuk mendapatkan air.
Meskipun lebih dari 50 persen masyarakat sudah menggunakan sumber air minum dari AMDK, air isi ulang, leding, dan sumur bor, masyarakat masih memanfaatkan sumur sederhana, mata air, air sungai, dan air hujan. Sebanyak 29,34 persen masyarakat yang menggunakan sumber air tersebut harus keluar area rumahnya untuk mendapatkan air.
Dahulu, penggunaan sumber air tersebut masih wajar dan layak sebab lingkungan masih asri, daerah tangkapan air masih luas, dan air masih bersih tidak tercemar limbah. Namun, saat ini sumber air yang tidak diolah dengan benar akan membahayakan bagi kesehatan.
Upaya masyarakat
Untuk mengurangi bahaya bakteri atau zat-zat berbahaya dalam air minum khususnya air minum yang bersumber dari leding, sungai, hujan, dan air tanah, masyarakat masih menggunakan cara-cara tradisional dalam mengolah air minum.
Cara yang paling umum dilakukan adalah merebus air. Namun, hal tersebut tidak dapat diterapkan pada sumber air minum dari air sungai, air hujan, dan air tanah secara langsung.
Biasanya, masyarakat mengendapkan lebih dahulu air sebelum direbus. Selain itu, cara lain yang dilakukan adalah menyaring menggunakan filter tradisional (pasir, ijuk) maupun filter modern (keramik, biosand).
Susenas 2017 mencatat, sebanyak 47,7 persen masyarakat kini membeli air bersih. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan 2010 yang sebanyak 34,6 persen.
Ada pula yang menjemur di bawah sinar matahari atau sering disebut sodis (solar disinfection). Sodis dilakukan dengan memasukkan air ke dalam botol kemudian menjemurnya di atap rumah atau rak yang terkena sinar matahari. Sodis merupakan metode pengolahan air yang dikembangkan pada 1980-an untuk mencegah diare di negara-negara berkembang.
Di balik berbagai sumber air minum yang dikonsumsi masyarakat tersebut, ada berbagai cara unik dan khas yang dilakukan untuk memperoleh air. Setiap cara tersebut disesuaikan dengan potensi dan kondisi lingkungan tempat tinggalnya.
Di Dusun Kartomargomulyo, Tlogopucang, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, warga tengah mencoba memanfaatkan air embun yang muncul setiap pagi dan sore hari. Dengan menggunakan instalasi jaring embun yang juga telah diterapkan di Etiopia dan Nepal, warga berharap krisis air bersih di desa selama 20 tahun terakhir dapat teratasi.
Di daerah lain, tepatnya di Dusun Bina Karya, Desa Sabedo, Kecamatan Utan, Kabupaten Sumbawa, NTB, warga telah melakukan pengelolaan jaringan air bersih yang sistematis melalui wadah adat sebagai organisasi pengelola air (subak).
Dikutip dari buku Prakarsa di Tengah Krisis Air Kemiskinan, sejak tahun 1989 warga mengumpulkan uang untuk membeli infrastruktur yang berfungsi untuk mengalirkan air.
Lubang resapan
Jika cara-cara tersebut dilakukan masyarakat yang sulit mendapatkan air bersih, setidaknya kita yang mendapatkan akses air bersih dengan mudah dapat melakukan cara-cara sederhana untuk menghemat dan menjaga keberlangsungan air bersih. Area rumah kita dapat kita tanam sumur resapan, lubang resapan/biopori, atau tanaman maupun rerumputan.
Sayangnya, hanya sekitar 5 persen rumah tangga di Indonesia yang memiliki sumur resapan dan biopori. Sementara tanaman yang ditanam di halaman rumah hanya dimiliki oleh 23,97 persen rumah tangga.
Manfaat sumur resapan ini telah dirasakan warga di Desa Patemon, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Sumur resapan yang dibangun atas bantuan USAID pada 2014 lalu menyediakan air bersih melimpah. Kebijakan sumur resapan itu pun kemudian ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa. Sampai saat ini terdapat 320 sumur resapan di desa itu.
Masyarakat Indonesia pun masih belum terbiasa memanfaatkan air bekas untuk keperluan lain. Berdasarkan data BPS tahun 2017, hanya sekitar 10 persen rumah tangga saja yang sering menggunakan air bekas untuk keperluan lain.
Berbagai cara telah dilakukan masyarakat untuk mendapatkan air bersih yang layak. Demikian juga upaya pemerintah untuk terus menyediakan air bersih. Setiap tahun terjadi peningkatan persentase rumah tangga yang mampu mengakses air bersih. Setidaknya dari yang tercatat pada 2011 hingga 2018, peningkatan akses air minum layak mencapai 9,73 persen.
Melihat kondisi ini, pemerataan akses air bersih bukanlah hal yang mustahil. Kerja sama pemerintah dengan swasta menjadi modal potensial dalam memberikan akses air bersih ke masyarakat. Di lapisan masyarakat, organisasi, komunitas, atau kesatuan adat dapat dirangkul guna membangun infrastruktur pengelolaan air secara bottom-up.
Air bersih bagi semua warga dunia penting untuk memberantas kemiskinan, membangun masyarakat yang damai dan makmur serta mengurangi ketimpangan. Ini sesuai dengan semangat ”No One Left Behind” yang diusung menjadi tema laporan PBB dalam World Water Development Report 2019. (Litbang Kompas)