Indeks risiko penyuapan berbisnis di Indonesia yang relatif stagnan menunjukkan perlunya perbaikan sistem antisuap dan antikorupsi. Kehendak politik pemerintah amat dibutuhkan.
Oleh
Rini Kustiasih /Cyprianus Anto Saptowalyono
·5 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (7/11/2019). Emir merupakan tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce PLC pada PT Garuda Indonesia. Emir diduga menerima uang sebesar 1,2 juta euro dan 180.000 dollar AS atau setara Rp 20 miliar dalam kasus ini.
JAKARTA, KOMPAS— Tingkat kerentanan suap dalam berbisnis di Indonesia masih tinggi. Pengoptimalan dan perbaikan sistem antisuap dan antikorupsi, baik di wilayah privat maupun publik, mendesak dilakukan pemerintah untuk memperkecil risiko suap dan risiko dampak buruknya bagi dunia usaha.
Indeks Risiko Penyuapan dalam berbisnis yang dirilis TRACE International, November 2019, menempatkan Indonesia pada peringkat ke-90 dari 200 negara. TRACE International adalah entitas asosiasi bisnis anti-penyuapan dengan anggota dan klien lebih dari 500 perusahaan multinasional di seluruh dunia.
Dalam kajian yang dilakukan sejak 2014, tetapi minus 2015, Indonesia cenderung pada posisi yang sama atau stagnan. Skor Indeks Risiko Penyuapan dihitung dari 1 hingga 100, dengan angka 1 menunjukkan risiko paling rendah dan 100 paling tinggi.
Stagnasi Indeks Risiko Penyuapan Indonesia itu sejalan dengan indeks lainnya, seperti Indeks Negara Hukum yang dirilis World Justice Project (WJP). Skor Indeks Negara Hukum Indonesia tahun 2019, yang meliputi pengukuran atas variabel ketiadaan korupsi, berada di posisi ke-62 dari 126 negara yang dikaji. Skor indeks 0-1, dengan angka 1 sebagai skor terbaik, dan semakin mendekati 0, kualitas negara hukum memburuk.
Stagnasi indeks penyuapan dan ketiadaan korupsi ini menunjukkan Indonesia masih rentan suap.
Variabel ketiadaan korupsi di Indonesia pada 2019, menurut WJP, ada di skor 0,38 (peringkat ke-97 dari 126 negara). Angka ini tak jauh dari 2018, dengan skor 0,37, dan menempati posisi ke-90 dari 113 negara.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril, Minggu (17/11/2019), saat dihubungi dari Jakarta menyatakan, stagnasi indeks penyuapan dan ketiadaan korupsi ini menunjukkan Indonesia masih rentan suap, baik di entitas bisnis swasta, badan usaha milik negara, maupun pejabat negara. ”Skor indeks itu mengingatkan pentingnya perbaikan sistem antisuap atau antikorupsi di lembaga publik dan privat, termasuk pemerintahan daerah,” kata Oce.
Variabel
Indeks kerentanan suap yang dirilis TRACE International dihasilkan dari kombinasi skor empat variabel. Variabel itu adalah interaksi antara unsur bisnis dan pemerintah, pencegahan dan penindakan dalam anti-penyuapan, transparansi pemerintah dan pelayanan publik, serta kapasitas pemantauan masyarakat sipil yang juga mencakup peran media.
Tahun 2019, Indonesia ada di posisi ke-90 dengan skor indeks 50. Posisi itu naik dua peringkat dari posisi 2018 (92) dengan skor indeks penyuapan relatif stagnan, yakni 51, dan berturut-turut skor pada tahun sebelumnya adalah 45 (2017), 55 (2016), dan 51 (2014).
Dari empat variabel yang diukur, dua variabel memburuk dari tahun ke tahun, yaitu pencegahan dan penindakan dalam anti-penyuapan, serta transparansi pemerintah dan pelayanan publik. Variabel pencegahan dan penindakan suap terus turun setelah mencapai skor indeks 25 (2014), menjadi 33 (2016), 40 (2017), serta 52 pada tahun 2018 dan 2019. Begitu pula variabel transparansi pemerintah dan pelayanan publik turun dari skor 24 (2014), jadi 29 (2016), 52 (2017), 50 (2018), dan 49 (2019).
Terkait skor tersebut, Oce melihat sistem antisuap atau antikorupsi di lembaga publik serta privat perlu diperbaiki. Sistem antisuap yang dimaksud antara lain bisa dirumuskan lewat sistem pengadaan barang dan jasa, mekanisme penganggaran, atau pencatatan promosi dan mutasi pegawai yang transparan. ”Pengadaan barang dan jasa atau penganggaran harus transparan, misalnya secara online, sehingga tiap orang bisa memantau,” ujar Oce.
Suap rentan terjadi pada ruang gelap pelayanan publik dan pemerintahan. Ketika publik tidak cukup mendapat informasi, misalnya terkait mekanisme perizinan, dan layanan kesehatan, maka pungutan liar atau suap berisiko terjadi.
Ruang-ruang gelap itu harus dikikis dengan menginformasikan secara terbuka kepada publik tentang mekanisme pelayanan publik. Ketentuan terkait transparansi informasi publik sebenarnya juga telah diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. ”Sistem terbuka atau transparan, seperti online, bisa memangkas praktik korupsi dan pungli,” ujarnya.
Indeks risiko suap yang masih relatif tinggi semestinya jadi bahan refleksi pemangku kebijakan memastikan sistem pencegahan dan penindakan suap tak kendur. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lanjut Oce, selama ini relatif efektif menimbulkan efek jera pada pelaku korupsi. Peran KPK yang memiliki kemampuan investigasi lewat penyadapan perlu didukung dalam pencegahan dan penindakan. Demikian pula unit lain, seperti Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli), bentukan polisi.
Peringatan
Direktur Eksekutif Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengatakan, indeks penyuapan yang dirilis TRACE International mengonfirmasi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang pernah dirilis TII. Profil negara terkorup dan tebersih yang digambarkan IPK sejalan dengan profil negara paling berisiko suap dan risiko suap rendah. Ranking Indonesia di kedua indeks itu juga hampir sama.
Tingginya risiko suap ini membuat Indonesia menjadi negara yang berisiko tinggi untuk berbisnis. Menurut Dadang, IPK dan indeks risiko suap ini harus dilihat sebagai peringatan bahaya bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika tak direspons serius, para pelaku bisnis, baik bidang investasi maupun perdagangan, yang baik atau anti-penyuapan akan enggan berbisnis di Indonesia. Pebisnis yang merasa efisiensi bisnis mereka tak terjamin akan pergi dari Indonesia.
Pelemahan KPK memberikan sinyal pelemahan penegakan hukum terhadap praktik suap.
”Faktor penting yang harus dipertimbangkan ialah efektif tidaknya penegakan hukum terhadap mereka yang terlibat dalam praktik suap. Ini juga peringatan bagi presiden agar melindungi dan memperkuat penegakan hukum terhadap korupsi. Pelemahan KPK memberikan sinyal pelemahan penegakan hukum terhadap praktik suap,” katanya.
Di sisi lain, lanjut Dadang, tim Saber Pungli yang pernah dibentuk kini juga kurang terlihat kinerjanya. Skor di indeks risiko suap mencerminkan kegagalan atau keberhasilan pemerintah dalam memberantas suap. Ini karena sebagian besar tanggung jawab pencegahan korupsi ada di pemerintah.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi Sanny Iskandar menyatakan, untuk membangun sistem antisuap dan antikorupsi diperlukan kehendak politik yang kuat dari kepala pemerintahan tertinggi beserta semua aparaturnya. Budaya pembiaran praktik suap selama ini juga menyebabkan iklim investasi tidak menarik pelaku usaha.