Terperosok Investasi Bodong
Sesampainya di Sukabumi, kantor QSAR dalam keadaan kacau. Para investor yang datang memperebutkan aset yang ada. Mereka mengangkut komputer, meja, kursi, hingga lemari. Kisah investasi bodong yang terus berulang.
Belakangan ini, saya sering menulis tentang investasi sekaligus mendorong teman-teman untuk berinvestasi. Investasi ketika kita masih produktif sangatlah berguna. Saya sudah merasakan manfaat investasi sehingga ingin juga membagikan pengalaman kepada orang lain.
Apakah pengalaman investasi saya mulus? Tentu tidak. Ada investasi yang salah, bahkan ada investasi yang merugikan. Salah satu pengalaman investasi saya adalah terjebak investasi bodong. Kok, bisa?
Salah satu ”mantra” investasi bodong yang melenakan adalah janji imbal hasil tinggi dengan risiko yang rendah.
Bisa saja, ketika rasa serakah muncul ditambah pengalaman minim soal investasi, seseorang akan dengan mudah terjerumus dalam investasi bodong.
Salah satu ”mantra” investasi bodong yang melenakan adalah janji imbal hasil tinggi dengan risiko yang rendah. Setelah banyak belajar, baru saya benar-benar menyadari kebodohan saya yang pernah percaya pada ”mantra” itu.
Sekitar pertengahan tahun 2001, seorang teman bercerita, dia sedang berinvestasi pada sebuah lahan pertanian. Skemanya bagi hasil. Pengelolanya, PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), menanam berbagai komoditas pertanian, seperti cabai, bawang, terong, dan jamur, hingga penggemukan sapi potong.
Setiap komoditas memberikan imbal hasil yang berbeda. Ketika itu, tergolong sangat tinggi dibandingkan dengan tingkat suku bunga deposito.
Menurut teman saya itu, semua investor akan memiliki sebidang lahan yang dikelola PT QSAR sesuai pilihan komoditas. Setiap petak tanah diberi nama pemiliknya. Lahan di Sukabumi menjadi lokasi bercocok tanam dengan iming-iming imbal hasil yang menggiurkan. Kisarannya 15-20 persen per bulan.
QSAR juga menjanjikan, kalaupun terjadi gagal panen, investor tidak akan merugi karena pokok investasi tetap aman. Modal investasi baru akan hilang jika lahan terkena bencana alam yang terjadi di luar kekuasaan manajemen.
Setiap bulan, sejumlah uang yang merupakan hasil pengembangan dari usaha pertanian tersebut akan ditransfer ke rekening. Tergiur dengan hasil yang besar, saya pun ikut berinvestasi di situ.
Pada tahap pertama, saya berinvestasi Rp 5 juta. Tiga empat bulan berlalu. Pembagian hasil lancar. Bulan berikutnya, saya menambah investasi, bahkan mengajak ayah saya ikut berinvestasi karena hasilnya sudah terbukti.
Sebagian uang pensiun ayah saya kemudian diinvestasikan. Pembagian hasilnya lancar. Jadilah kami bertambah yakin investasi ini akan terus berjalan mulus.
Bahkan, saya mendengar, petinggi sebuah partai juga berinvestasi pada perkebunan tersebut. Sebagai wartawan, tidak sukar bagi saya mengonfirmasi bahwa memang benar petinggi partai berinvestasi pada perkebunan yang dikelola QSAR.
Rasa serakah telah membuat saya mengabaikan ketidaktahuan tersebut. Dana yang saya kucurkan semakin bertambah.
Bertambah yakinlah saya bahwa investasi cabai itu akan berjalan lancar meskipun sebenarnya pengetahuan saya soal pertanian nol besar. Saya tidak tahu komoditas itu dijual ke mana. Saya juga tidak tahu sejauh apa alam berperan pada hasil pertanian.
Rasa serakah telah membuat saya mengabaikan ketidaktahuan tersebut. Dana yang saya kucurkan semakin bertambah. Total sekitar Rp 30 juta saya investasikan di perkebunan tersebut.
Sebulan berikutnya, bagi hasil tetap lancar. Popularitas investasi itu semakin moncer. Hingga tiba-tiba pada April 2002, tidak ada transfer dana dari QSAR. Saya masih santai saja mengira ini hanya keterlambatan biasa. Bulan Mei, ternyata tidak juga ada transfer.
Masuk bulan Agustus, semakin banyak pengaduan mengenai macetnya investasi ini. Kami di redaksi Kompas pun menaruh perhatian pada masalah ini karena banyak investor yang dirugikan, termasuk saya.
Akhirnya, saya, rekan saya sesama wartawan Kompas, Andreas Maryoto, dan fotografer Kompas Yuniadhi Agung berangkat ke Sukabumi. Bagi saya, liputan ini menjadi liputan partisipatif. Tidak hanya memburu berita, tetapi juga ingin mencari kejelasan investasi di QSAR.
Mengambil aset
Sesampainya di Sukabumi, kantor QSAR ternyata dalam keadaan kacau. Para investor yang datang memperebutkan aset yang ada. Mereka mengangkut komputer, meja, kursi, hingga lemari.
Sayangnya, para pegawai yang bertahan tidak tahu banyak hal. Mereka bahkan sudah tiga bulan tidak digaji. Sementara para direksi bagaikan lenyap ditelan bumi.
Beberapa investor mencoba mencari tahu mengenai investasi mereka. Ada yang menyetorkan uang Rp 40 juta, bahkan ada yang telah menyerahkan uangnya Rp 500 juta. Salah satu investor yang kami temui mengatakan, ibunya sampai menjual rumah demi diinvestasikan di QSAR.
Investor lain sampai tidak berani pulang ke rumah karena takut dimarahi suaminya akibat investasi yang jeblok. Kisah-kisah investor seperti ini selalu terdengar dalam kasus-kasus investasi bodong. Menurut data kepolisian, total ada 6.000 investor yang menanamkan uang di QSAR dengan jumlah dana mencapai Rp 500 miliar.
Ketika mengamati lahan, salah seorang calo mendekati kami. ”Bapak, ibu, kalau mau, masih ada satu mobil milik kantor. Boleh diambil,” katanya.
Kami lalu mengecek kondisi mobil itu yang ternyata hanya dilengkapi surat tanda kendaraan bermotor, tanpa surat kepemilikan kendaraan. Tentu saja kami tidak mengambil mobil tersebut.
Calo lain mendekati investor lain sembari menawarkan bantuan untuk membongkar rumah kaca yang digunakan untuk menyemai bibit. Para investor sendiri terbagi menjadi beberapa kelompok.
Ada yang ingin segera melikuidasi aset QSAR dan ada yang masih ingin memberikan kesempatan QSAR untuk mengelola lagi agar dana investasi dapat kembali. Investor QSAR berasal dari berbagai kalangan, mulai dari politisi, karyawan, artis, hingga lembaga dana pensiun perusahaan. Masalah ini kemudian menjadi masalah nasional mengingat dana investasi yang dihimpun.
Ketika saya melihat keadaan kebun QSAR, akhirnya saya tersadar betapa banyak hal yang tidak saya perhitungkan ketika berinvestasi di QSAR, mulai dari luasan lahan dan jumlah dana yang terkumpul, pengelolaan lahan, hingga penjualan hasil bumi.
Semuanya tidak saya pahami. Ini merupakan kesalahan terbesar saya, tidak memahami benar-benar produk investasi apa yang saya danai. Kesal? Iya, yang jelas, menyesal.
Kisah saya terjebak investasi di QSAR tidak hanya didengar rekan-rekan di kantor, bahkan sudah menyebar hingga ke telinga narasumber di pasar modal. Beberapa menelepon, menanyakan kabar tersebut.
Baca juga: Waspadai Tawaran Untung Besar
Ada yang menyayangkan sembari meledek, mengapa wartawan yang meliput di pasar modal sampai terjebak investasi bodong seperti itu. Salah seorang direktur perusahaan manajer investasi sembari tertawa mengatakan kepada saya, ”Sudahlah, kembalilah ke jalan yang benar, investasi yang tepat dengan risiko dan imbal hasil terukur. Kembalilah ke pasar modal.”
Proses hukum investasi di QSAR berlangsung sangat lama. Presiden Direktur PT QSAR Ramli Araby sempat menghilang sebelum akhirnya menyerahkan diri. Baru kelak kemudian kami tahu bahwa Ramli ternyata tetangga salah satu wartawan Kompas di kawasan Depok. Karena sulit menemui Ramli, kami berusaha menemui Wakil Presiden Direktur QSAR Yandi Sofiandi di kawasan Bekasi.
Mengantisipasi Yandi yang sedang kalut dan memiliki banyak pengawal, kami minta ditemani rekan kami di kantor, wartawan yang berbadan besar dan terlihat sangar, Nico.
Jauh dari dugaan, Yandi yang waktu itu terlihat lelah fisik dan mental ternyata menerima kami dengan baik dan terbuka. Ia banyak bercerita tentang perusahaan itu.
Tidak banyak aset yang berhasil disita. Sisa uang tunai di rekening QSAR sangat kecil jumlahnya, kurang dari Rp 1 miliar dibandingkan dengan dana yang telah disetorkan investor. Uang milik investor pun lenyap, termasuk uang saya.
Baca juga: Kisah-kisah Seru di Balik Tokyo Motor Show 2019
Uang Rp 30 juta yang menguap karena investasi bodong di QSAR menjadi ongkos belajar yang sangat mahal bagi saya. Di balik mahalnya biaya itu, ternyata ada hikmahnya.
Selanjutnya, ketika hendak berinvestasi, saya benar-benar mempelajari produk tersebut. Mengukur untung dan ruginya hingga mencari referensi mengenai produk dan pengelolanya.
Selain itu, membuang sifat serakah ketika mendapatkan rezeki karena uang yang ”bekerja”. Prinsip kehati-hatian menjadi salah satu kunci sebelum saya memutuskan berinvestasi.
Penawaran-penawaran investasi yang menggiurkan masih terus ada hingga saat ini, bahkan ketika otoritas keuangan semakin berdaya. Sebagai investor, kita tetap harus waspada karena tanggung jawab atas keamanan investasi kita berada di tangan kita masing-masing.
Baca juga: Nyaris Pingsan Saat Liputan Bencana
Tidak perlu serakah karena tergiur iming-iming imbal hasil tinggi sehingga melupakan risiko. Berinvestasi pada diri sendiri melalui berbagai macam pengetahuan tentang investasi juga produk investasi menjadi salah satu aset penting sebelum mempercayakan aset kita kepada pihak lain.
Kasus QSAR selalu disebut-sebut ketika muncul berita tentang investasi bodong. Herannya, kasus serupa berulang kali terjadi. Kembali muncul kasus-kasus semacam QSAR. Keserakahan dan ketidaktahuan rupanya menjadi faktor.