Tak Kunjung Berubah
Teater Koma mementaskan kembali lakon ”J.J: Sampah-sampah Kota”, setelah 40 tahun. Ternyata gugatan dan sindiran lakon ini masih relevan dengan zaman sekarang. Barangkali karena kita memang tak pernah berubah.
Juhro duduk lesu di depan gubuknya yang berada di kolong jembatan. Pakaiannya lusuh seperti berhari-hari tidak ganti. Tangan kirinya menahan bagian bawah perutnya, sedangkan tangan kanannya mengelus perut yang kian membuncit itu. Sambil memandangi perutnya, Juhro bertanya kepada Jian, suaminya, tentang uang untuk persiapan persalinan.
Jian dengan nada yakin mengatakan, dia sudah menyiapkan uang yang cukup. Jadi, Juhro tidak perlu khawatir. Juhro tersenyum. Jian juga. Keduanya bahagia.
Itu cuplikan adegan ”J.J: Sampah-sampah Kota” yang mengisahkan balada istri-suami Juhro dan Jian. Pertunjukan ini berlangsung di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, sampai 17 November 2019.
Jian bekerja sebagai buruh pemungut sampah yang dibayar harian. Dia hidup bersama kaum pinggiran lainnya di kolong jembatan. Sebagian besar bekerja sebagai pemungut sampah yang berada di bawah pengawasan mandor.
Meskipun hidup selalu berat, Juhro dan Jian berupaya menemukan bahagia dan harapan bahwa esok akan lebih baik. Akan tetapi, harapan sering kali bertolak belakang dengan kenyataan. Mereka merasa tertekan dengan beban kerja, sementara upah tak kunjung naik. Adalah Bordes yang muncul dan mengajak mereka menuntut kenaikan gaji. Terjadi perlawanan.
Jian ikut terbawa arus itu, hingga ia diingatkan istrinya untuk tidak turut campur. Jian seorang pencinta yang setia sekaligus pekerja keras yang jujur. Oleh para mandor atau penguasa, Jian dianggap liyan karena tetap bersikap mulia di tengah beragam impitan. Akhirnya para penguasa membuat rekayasa dan Jian jatuh dalam fitnah sehingga harus masuk penjara.
Juhro setengah mati berjuang mengumpulkan uang untuk membebaskan suaminya, sampai harus menjual diri. Tetapi lagi-lagi, orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan akses kekuasaan memanipulasi demi keuntungan pribadi. Jian yang tak pernah bebas memilih bunuh diri.
Balada
Lewat balada Juhro-Jian, Teater Koma memanggungkan realitas keseharian ke pentas urban. Bisanya lewat balada seperti cerita Juhro-Jian. Pesan moral, gugatan, ataupun sindiran dalam lakon ini menjadi hiburan penonton, yang kaum urban. Lakon sepanjang kurang lebih 3,5 jam ini juga diselingi dengan adegan lucu dan 27 lagu.
Ada semacam paradoks ketika para kaum urban itu tertawa ketika menonton komedi kehidupan Juhro-Jian. Sebab, pada saat yang sama, segala yang menimpa Juhro-Jian dialami banyak orang sejak dulu.
”Itu juga alasan kami mementaskan lakon ini karena ternyata apa yang terjadi pada 40 tahun lalu masih relevan sampai sekarang,” kata Rangga Riantiarno, Sutradara ”J.J: Sampah-sampah Kota”.
Sayangnya, tidak semua penonton cukup sabar untuk menuntaskan pertunjukan. Beberapa memilih pulang saat jeda, yakni ketika pertunjukan baru berjalan dua jam. ”Sudah mulai ngantuk, jadi pulang saja,” kata seorang penonton.
Konsep opera sebagaimana halnya kebanyakan lakon Teater Koma menjadi semacam pakem. Pertunjukan teater Koma selalu diselingi lagu-lagu yang jumlahnya bisa sampai puluhan. Kali ini ada 27 lagu, yang kalau ditotal menyita waktu sampai satu jam. Bagi Rangga, ini pola yang dipertahankan Teater Koma.
Akan tetapi, Teater Koma tampaknya perlu mengkaji ulang pakem tersebut. Paling tidak untuk melihat lebih jauh kebutuhan penonton atau untuk meregenerasi penonton.
Suci (32), penonton, mengatakan, jika ingin merangkul penonton muda, memang ada baiknya durasi pertunjukan dipendekkan. Meskipun dia selalu bertahan dalam dua kali menonton pertunjukan Teater Koma (”Goro-goro” dan ”J.J: Sampah-sampah Kota”), tetapi ia selalu menyaksikan jumlah penonton menyurut setelah jeda.
Anggota Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta, Afrizal Malna, menemukan fakta bahwa banyak rekannya yang mengeluhkan durasi lakon-lakon Teater Koma tersebut. Untuk itu, dia menyarankan agar Teater Koma membuat riset dan forum diskusi dengan melibatkan penonton guna melihat lebih jauh kebutuhan penonton.
”Penonton sekarang cenderung infografis, bukan storytelling,” kata Afrizal mengingatkan perubahan perilaku penonton.
Dengan kata lain, perlu dikaji serius upaya memendekkan durasi pemanggungan. Cara itu bisa ditempuh entah dengan memendekkan beberapa dialog dan adegan atau mengurangi jumlah lagu. Apalagi, saat menyanyikan lagu-lagu, tidak ada suara yang benar-benar prima sehingga mudah dilupakan penonton.
Penonton sekarang cenderung infografis, bukan storytelling.
Teater Koma mempunyai napas panjang dalam sejarah perteateran Indonesia. Bisa dibilang belum ada kelompok teater yang usia dan komitmennya sepanjang Teater Koma. Teater Koma sudah berusia 42 tahun dan ini merupakan produksi yang ke-159. Artinya sudah ada ribuan lagu yang pernah ikut dipentaskan. Akan tetapi, berapa lagu yang tinggal dalam ruangan ingatan penonton?
Soal lagu-lagu ini, Rangga mengatakan memang pihaknya mengandalkan potensi internal Teater Koma. Kebetulan tidak ada yang memiliki kualitas vokal menonjol.
Teater Koma selalu berupaya menampilkan pertunjukan dengan formula dialog serius dan diselipi humor. Begitu pun dalam lakon ”J.J: Sampah-sampah Kota”. Ini sebenarnya efektif untuk membuat penonton setia sampai pertunjukan usai. Sebab, dengan cara itu, ada suspensi.
Sayangnya, humor-humor dalam pertunjukan tersebut kerap kali tidak digarap secara serius. Entah dari sisi dialog ataupun koreografi. Sebenarnya Teater Koma bisa menyewa jasa konsultan komedi untuk meramunya menjadi sajian yang kenyal dan meledakkan tawa.
Dewasa ini muncul banyak konsultan komedi yang memberikan sentuhan pada adegan-adegan receh menjadi humor segar dan kadang kala bahkan sarat makna.
Humor menjadi penting, terutama bagi kaum urban, yang penat oleh beragam masalah perkotaan. Beberapa sineas menggunakan jasa konsultan komedi untuk memberikan nilai lebih dan itu berhasil mendongkrak kualitas film. Tampaknya cara ini bisa juga ditiru pegiat teater.
Teater Koma sebenarnya sudah mencoba meninggalkan cara lama, terutama dalam merespons perkembangan teknologi. Dalam beberapa pertunjukan, teater ini mengombinasikan multimedia dan properti konvensional ke atas panggung sehingga menghadirkan kesegaran.
Tampaknya kesegaran ini harus dilakukan lebih progresif menyangkut durasi dan racikan humor itu. Jadi, ketika masyarakat tidak kunjung berubah seperti dalam cerita Juhro- Jian, biarlah teater Koma yang memilih berubah. Berubah lebih baik.
Sebagai kelompok teater yang telah menjadi milik masyarakat dan konsisten hadir, Teater Koma semoga terus Jaya.