Liga Kompas Kacang Garuda U-14 dapat menjadi wadah pembinaan dan pembentukan karakter pemain muda. Syarat utama adalah menjunjung sportivitas.
Oleh
Herpin Dewanto Putro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Liga Kompas Kacang Garuda U-14 bukan sekadar kompetisi untuk menemukan tim terbaik. Yang lebih penting, kompetisi ini menjadi wadah pembinaan dan pembentukan karakter pemain muda. Tujuan ini bisa berhasil jika sportivitas sebagai elemen paling dasar dipahami sebagai tanggung jawab bersama.
Jika para pemain dituntut bersikap sportif di lapangan, pelatih, ofisial, dan penonton juga diharapkan memberi teladan bagaimana menghormati pertandingan. Dengan demikian, peristiwa yang terjadi saat Bintang Ragunan dan Bina Taruna bertemu pada pekan kedelapan di GOR Ciracas, Jakarta Timur, Minggu (10/11/2019), tidak terulang lagi.
Saat itu, wasit memberi hadiah penalti kepada Bina Taruna pada menit akhir ketika Bintang Ragunan unggul 2-1. Kubu Bintang Ragunan pun protes dan suporter mereka, yang kebanyakan orang tua pemain, turut berteriak dari tribune penonton. Mereka menyalahkan keputusan wasit yang dinilai tidak adil.
Laga pun berakhir imbang 2-2 dan Bintang Ragunan gagal mengalahkan Bina Taruna. Protes keras dari penonton masih terjadi ketika pemain dan wasit keluar dari lapangan. Para pemain sempat ikut meredam ketegangan dengan bertepuk tangan dan berteriak, ”Sudah, sudah, respek.” Pelatih Bintang Ragunan Teuku Chairul Wisal juga berkata kepada penonton, biar tim pelatih saja yang menangani ini.
Pengurus Liga Kompas pun melayangkan surat teguran kepada Bintang Ragunan. ”Kami mohon maaf, yang terjadi adalah spontanitas sesaat. Mungkin sikap saya juga ikut memanaskan keadaan. Ini menjadi pembelajaran bagi kita semua,” kata Teuku, Sabtu (16/11).
Menurut Teuku, hal ini sudah dibahas dengan para pemain dan orang tua. Ia tidak ingin kejadian ini terulang dan mengakibatkan tim terkena sanksi berupa pengurangan poin, karena sanksi tersebut mampu menjatuhkan semangat dan motivasi para pemain. Apabila tim maupun penonton dari sebuah tim yang mendapat teguran kemudian mengulang kesalahan itu, maka pengurus akan menjatuhkan sanksi larangan bagi pelatih untuk mendampingi tim selama tiga laga yang berarti tim bakal mendapat pengurangan poin.
”Manusia terkadang melakukan kesalahan termasuk dalam sepak bola. Terlepas dari benar atau tidaknya kepemimpinan wasit, semua pihak harus menghormati wasit,” kata Wakil Direktur Utama Liga Kompas Kacang Garuda, Caesar Alexey. Kalaupun ada ketidakpuasan terkait laga yang berlangsung, tim bisa menyampaikannya secara tertulis kepada pengurus.
Penekanan terhadap sportivitas ini juga diterapkan di Piala Gothia di Gothenburg, Swedia, yang rutin diikuti para pemain terbaik dari Liga Kompas setiap musimnya. Dalam turnamen yang diikuti tim dari berbagai negara itu, panitia memasang poster bertuliskan, ”Ini adalah sepakbola anak usia dini. Wasit juga manusia. Pelatihadalah sukarelawan dan ini hanyalah sebuah pertandingan.”
Belajar dari Piala Gothia, Liga Kompas ingin menerapkan hal yang sama dalam lingkup yang lebih kecil. Dari hal-hal sederhana seperti ini, kelak Indonesia bisa memiliki tim nasional yang berkarakter dan berprestasi.