Radikalisme dan Ekstremisme Bertentangan dengan Nilai-nilai Agama
Radikalisme dan ekstrimisme, apalagi dalam bentuk kekerasan, berbahaya dan bersifat antikemanusiaan. Radikalisme dan ekstremisme tidak hanya bersifat keagamaan, tetapi juga nonkeagamaan, seperti radikalisme sekuler.
Oleh
Hamzirwan Hamid
Ā·2 menit baca
DOKUMENTASI UNTUK KOMPAS
Para peserta Pertemuan Puncak Tokoh Agama Dunia Baku Ke-2 di Baku, Azerbaijan, berfoto bersama, Sabtu (16/11/2019).
BAKU, SABTU ā Para tokoh agama-agama dunia memandang radikalisme dan ekstremisme yang berkembang dalam semua agama bertentangan dengan agama itu sendiri. Kebencian dan ujaran kebencian yang disasarkan kepada pemeluk agama tertentu oleh pemeluk agama lain itu memunculkan gejala Islamofobia, Kristenofobia, atau antisemitisme.
Hal itu berpotensi mendorong benturan antaragama dan peradaban sehingga mengancam perdamaian dunia. Untuk itu, hal tersebut perlu dihadapi bersama-sama dan harus dicegah.
Hal itu mengemuka dalam Pertemuan Puncak Tokoh Agama Dunia Baku Ke-2 di Baku, Azerbaijan, Sabtu (16/11/2019). Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin dan Ketua Umum Fatayat NU Anggia Ermarini bersama tokoh agama dunia lain menghadiri pertemuan yang dibuka Presiden Azerbaijan Ilham Aliyef tersebut.
Ilham Aliyef mengatakan, multikulturalisme penuh toleransi hidup berkembang di Azerbaijan sejak lama baik antar-agama maupun intra-agama. Dalam kelompok Islam di Azerbaijan, terdapat kelompok mayoritas Sunni dan Syiah.
āKedua kelompok umat Islam ini hidup berdampingan secara damai dalam semangat ukhuwah Islamiyah,ā katanya.
Azerbaijan pernah bergabung dalam Uni Soviet yang kemudian merdeka. Negara yang terletak di pinggir Laut Kaspia dengan penduduk sekitar 10 juta jiwa ini merupakan negara kaya energi, khususnya minyak dan gas.
TIM JAGONYA AYAM
Kota Baku, Azerbaijan, yang juga menjadi tempat penyelenggaraan balap mobil Formula Satu.
Dalam forum itu, Din Syamsuddin menegaskan, radikalisme dan ekstremisme, apalagi dalam bentuk kekerasan (violent extremism), adalah berbahaya dan bersifat anti-kemanusiaan. Radikalisme dan ekstremisme itu tidak hanya bersifat keagamaan (religious radicalism), tetapi juga nonkeagamaan, seperti radikalisme sekuler (secular radicalism).
Jika bercampur dengan kebebasan, radikalisme sekuler bisa menjadi radikalisme sekuler-liberal. Ini lebih berbahaya karena sering merasuk ke dalam sistem kehidupan nasional, terutama sektor politik dan ekonomi.
āRadikalisme sekuler-liberal yang merasuki sistem politik dan ekonomi sesuatu negara akan membuat negara rusak, bahkan runtuh, dan akan meninggalkan ideologi negara yang ada,ā ujarnya.
Menurut Din Syamsudin, hal itulah yang terjadi di beberapa negara. Radikalisme sekuler-liberal masuk perlahan-lahan ke dalam sistem nasional sesuatu negara dan bahkan diadopsi sebagai sistem aktual dan operasional.
Untuk itu, Din berpesan kepada para tokoh agama-agama dunia agar mengawal negara atau bangsa di mana pun mereka berada. Agama harus menjadi pemecah masalah kebangsaan (problem solver), bukan menjadi bagian dari masalah (part of the problem), apalagi menjadi pencipta masalah (problem maker).
āAgama-agama harus mampu menampilkan paradigma etik bagi pembangunan nasional agar pembangunan tidak salah arah dan hilang mutiara moral,ā katanya.
Din juga meminta para elite politik agar tidak alergi dan sinis terhadap agama. Sebab, sebuah negara atau bangsa dengan ideologi masing-masing akan semakin kuat dengan etika dan moralitas keagamaan.