Pengelolaan keuangan daerah DKI dinilai bermasalah, yang terindikasi dari besarnya target pendapatan tak tercapai, tetapi dibarengi juga dengan besarnya silpa dari anggaran yang tak terserap pada tahun-tahun sebelumnya.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
Pengelolaan keuangan daerah DKI Jakarta dinilai bermasalah, yang terindikasi dari besarnya target pendapatan tak tercapai, tetapi dibarengi juga dengan besarnya silpa dari anggaran yang tak terserap pada tahun-tahun sebelumnya. Selain memperbaiki tata kelola keuangan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga dinilai perlu lebih kreatif dalam memanfaatkan sumber-sumber keuangan di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Roy Salam mengatakan, penyusunan anggaran daerah seharusnya sudah bisa memperhitungkan strategi secara tepat baik pembelanjaan maupun pendapatan.
Perhitungan ini juga seharusnya sudah memperhitungkan tren ekonomi yang berpengaruh pada pendapatan pajak dan kemungkinan dana bagi hasil dikucurkan tak sesuai waktu oleh pemerintah pusat. ”Semua faktor ini sudah bisa diperhitungkan sejak awal perencanaan,” katanya di Jakarta, Sabtu (16/11/2019).
Saat pendapatan tak bisa dihitung dengan tepat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya tak menganggarkan belanja yang besar. Idealnya, keterlambatan pengucuran dana bagi hasil dari pemerintah pusat juga tak menghambat pelaksanaan program-program yang telah berjalan.
Hal ini bisa dirancang, kata Roy, bila dana bagi hasil dari pusat dialokasikan untuk program-program yang pembayarannya bisa ditunda, seperti program jangka panjang (multiyears). Sementara program-program yang pembayarannya harus dilakukan di tahun anggaran bisa dialokasikan dari pendapatan asli daerah.
Seperti diberitakan, anggaran DKI Jakarta tak diprediksi mencapai target pendapatan sekitar Rp 6,39 trililun-Rp 10 triliun. Hal ini karena dana bagi hasil dari pemerintah pusat belum juga dikucurkan ditambah realisasi pendapatan pajak yang belum mencapai target. Dengan alasan ini, terdapat program yang ditunda, seperti pembebasan lahan bantaran kali dan waduk yang di antaranya untuk pembebasan penataan bantaran Kali Ciliwung senilai Rp 500 miliar. Anggaran pembebasan lahan tersebut kembali diusulkan untuk anggaran 2020.
Di sisi lain, selama beberapa tahun terakhir, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan (Silpa) DKI Jakarta pun selalu tinggi. Silpa dari tahun anggaran 2018 mencapai Rp 9,7 triliun.
Direktur Eksekutif Institute for Development and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, prediksi pendapatan yang tak mencapai target sebesar Rp 6 triliun dari total belanja sekitar Rp 77 triliun tersebut sangat besar untuk keuangan daerah. ”Saat ini juga pendapatan pajak masih kecil, ada kekhawatiran jika pendapatan pajak menumpuk di akhir tahun, juga akan menghasilkan silpa yang besar. Ini juga tak baik untuk perekonomian daerah,” katanya.
Besaran silpa mengindikasikan besarnya anggaran daerah yang tak terserap yang berarti juga realisasi program yang tak berjalan. ”Silpa besar karena efisiensi itu bagus, tetapi karakteristik DKI silpa besar karena serapan yang kurang baik,” katanya.
Besaran silpa mengindikasikan besarnya anggaran daerah yang tak terserap yang berarti juga realisasi program yang tak berjalan. Silpa besar karena efisiensi itu bagus, tetapi karakteristik DKI silpa besar karena serapan yang kurang baik.
Belum optimal
Pemerintah DKI Jakarta juga dinilai belum optimal dalam memanfaatkan sumber-sumber keuangan di luar APBD yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengurangi beban belanja daerah. Sumber-sumber ini antara lain pemanfaatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), skema kerja sama pemerintah dan badan usaha, serta menerbitkan obligasi daerah.
Sumber-sumber itu bisa diarahkan untuk membangun fasilitas publik yang pada akhirnya dapat mengurangi beban belanja. Pada 2016, misalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pernah menawarkan program CSR untuk membangun taman-taman kota.
Untuk pendapatan daerah, sumber-sumber pajak juga dinilai belum optimal tergarap. Hal itu antara lain retribusi parkir yang saat ini masih banyak kawasan dengan parkir tanpa tiket yang berarti tak masuk ke pendapatan daerah.
Roy mengatakan, pengesahan dan pelaksanaan APBD sesuai waktu dan target perencanaan sangat penting, tidak saja untuk pembangunan kota, tetapi juga dalam menggerakkan perekonomian daerah.
”Kalau sampai APBD terlambat baik pengesahan maupun pelaksanaannya, artinya juga akan berdampak menghambat pertumbuhan ekonomi daerah,” katanya.
Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah pekan lalu kembali menegaskan, belum tercapainya pendapatan DKI Jakarta dari target karena dana bagi hasil untuk triwulan keempat yang tidak dibayarkan di 2019 dan kemungkinan ditunda untuk nanti tahun 2020.
Sementara untuk pendapatan pajak, kata Saefullah, akan terus dikejar. ”Kalau mau total dibanding tahun lalu pada hari yang sama, jam yang sama, tahun ini kita masih lebih tinggi Rp 1,5 triliun-Rp 2 triliun. Tapi ini masih ada waktu 1,5 bulan lagi sampai Desember, masih kami kejar,” katanya.
Kalau sampai APBD terlambat baik pengesahan maupun pelaksanaannya, artinya juga akan berdampak menghambat pertumbuhan ekonomi daerah.
Menurut Saefullah, tahun ini tidak ada anggaran yang dipangkas karena APBD merupakan peraturan daerah yang harus dipatuhi. Namun, ia mengatakan, pembayaran dicicil sesuai dengan kemampuan keuangan.
Hingga 14 November 2019, realisasi pendapatan pajak di DKI Jakarta tahun 2019 mencapai Rp 34,11 triliun dari target Rp 44,54 triliun. Masih ada sekitar Rp 10 trilun kekurangan dari target.
Dengan batas waktu tersisa tinggal dua pekan untuk waktu pengesahan APBD, pembahasan KUA-PPAS baru selesai di tingkat komisi. Proses pembahasan diperkirakan masih panjang panjang di Badan Anggaran DPRD DKI Jakarta terutama karena masih banyak mata anggaran yang dipermasalahkan sejumlah anggota dewan.