Kaum Milenial Bersikap Skeptis terhadap Transparansi Pengelolaan Pajak
Sekitar 42 persen wajib pajak kelompok milenial menilai, manfaat pajak yang dirasakan selama ini belum sesuai dengan pajak yang dibayarkan. Persepsi itu muncul atas dasar ketidakadilan pengenaan tarif pajak.
Oleh
Karina isna irawan
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Calon penumpang memanfaatkan co-working space di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (21/5/2019). Penyediaan tempat ini bertujuan untuk memberikan ruang kerja bagi penumpang yang ingin merampungkan pekerjaan sembari menunggu datangnya kereta. Co-working space di ruang publik atau sentra bisnis telah menjadi kebutuhan bagi pekerja di era milenial yang biasa bekerja di mana saja.
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran generasi milenial berusia 20-34 tahun untuk membayar pajak terus tumbuh. Namun, mereka masih bersikap skeptis terhadap transparansi pengelolaan dan penggunaan uang pajak.
Berdasarkan Survei Pajak 2019 Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) yang dikutip Kompas, Minggu (17/11/2019), kesadaran membayar pajak kelompok milenial cukup tinggi, yakni sekitar 90 persen. Mereka setuju bahwa pajak itu membantu pemerintah, kewajiban moral, dan menunda pajak berarti merugikan negara.
Kendati kesadaran membayar pajak tinggi, hanya 40 persen kelompok milenial yang menilai pengelolaan pajak dilakukan transparan. Mereka cenderung skeptis uang pajak sudah digunakan untuk pembangunan yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Karena itu, perbaikan ekosistem perpajakan menjadi keniscayaan.
Responden survei pajak tahun ini berjumlah 1.142 orang. Mereka terdiri dari 929 wajib pajak orang pribadi dan 213 wajib pajak badan.
”Ada gap antara pertumbuhan kesadaran membayar pajak dan transparansi pengelolaan uang pajak. Untuk itu, pembelanjaan pajak menjadi tantangan besar,” ujar Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo.
Ada gap antara pertumbuhan kesadaran membayar pajak dan transparansi pengelolaan uang pajak. Untuk itu, pembelanjaan pajak menjadi tantangan besar.
Kompas
Persepsi kaum milenial terhadap pengeloaan dan penggunaan pajak. (Sumber: Survei Pajak 2019 Center for Indonesia Taxation Analysis)
Sikap skeptis terhadap pengelolaan pajak ini terefleksi dalam pengalaman pribadi. Sekitar 42 persen wajib pajak kelompok milenial menilai, manfaat pajak yang dirasakan selama ini belum sesuai dengan pajak yang dibayarkan. Persepsi itu muncul atas dasar ketidakadilan pengenaan tarif pajak.
Prastowo mengatakan, sekitar 89 persen wajib pajak milenial menginginkan tarif pajak yang lebih besar bagi mereka yang berpenghasilan lebih tinggi. Ketidakadilan pajak juga tecermin dari masih adanya praktik-praktik penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak (tax evasion).
”Pemeriksaan pajak efektif untuk mendorong kepatuhan pajak. Untuk itu, perlu dirumuskan kebijakan pemeriksaan yang tepat sasaran dan berdampak besar bagi kepatuhan,” katanya.
Sekitar 42 persen wajib pajak kelompok milenial menilai, manfaat pajak yang dirasakan selama ini belum sesuai dengan pajak yang dibayarkan. Persepsi itu muncul atas dasar ketidakadilan pengenaan tarif pajak.
Di sisi lain, kata Prastowo, pilihan politik tidak memengaruhi pemenuhan kewajiban pajak kelompok milenial. Kesadaran membayar pajak akan tumbuh sepanjang sistem politik tetap demokratis.
Transparansi alokasi penggunaan pajak menjadi faktor sosial yang paling signifikan memengaruhi kesadaran wajib pajak milenial. Perangkat digital dan internet juga berperan penting meningkatkan kepatuhan dan efisiensi pelayanan.
”Simplifikasi administrasi dan kemudahan pelayanan sejalan berkorelasi positif dengan keinginan wajib pajak melaksanakan kewajiban perpajakan. Untuk itu, modernisasi administrasi perpajakan harus dituntaskan,” ujarnya.
Persepsi kaum milenial terhadap penghindaran dan penggelapan pajak. (Sumber: survei pajak 2019 Center for Indonesia Taxation Analysis)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama mengemukakan, kepatuhan wajib pajak milenial berupaya ditingkatkan dengan berbagai program inklusi kesadaran pajak. Misalnya, aspek-aspek kewajiban membayar pajak masuk dalam mata kuliah wajib umum di seluruh perguruan tinggi.
Selain itu, wajib pajak milenial juga dilibatkan sebagai relawan pajak. Mereka bertugas menyosialisasikan berbagai program layanan pajak ke sesama milenial.
”Jumlah relawan pajak milenial ini akan ditingkatkan dari 5.000 orang pada 2019 menjadi sekitar 10.000 orang pada 2020 se-Indoensia. Relawan pajak mayoritas mahasiswa sehingga setelah mereka lulus tidak asing lagi dengan pajak,” katanya.
Stagnasi rasio pajak
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Suryadi Sasmita berpendapat, kesadaran membayar pajak kelompok milenial yang mencapai 90 persen seharusnya bisa mendongkrak rasio pajak Indonesia. Namun, nyatanya, rasio pajak sulit bergerak dari kisaran 11 persen, lebih rendah dari negara-negara ASEAN.
”Untuk meningkatkan kepatuhan pajak, satu-satunya jalan yakni dengan penguatan sistem teknologi informasi. Jadi, semua yang mangkir pajak terpantau baik orang pribadi maupun badan,” ujarnya.
Menurut Suryadi, rasio pajak yang rendah juga dipengaruhi kepatuhan wajib pajak badan. Banyak pengusaha tidak bayar pajak karena tidak ada tindakan tegas dari pemerintah.
”Ironisnya sesama pengusaha acap kali tidak melaporkan penghindaran atau penggelapan pajak. Karena itu, ekstensifikasi perpajakan harus ditingkatkan,” katanya.
Ironisnya, sesama pengusaha acap kali tidak melaporkan penghindaran atau penggelapan pajak.
Rasio pajak terus menurun sejak ledakan harga komoditas berakhir pada 2011. Data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menunjukkan, rasio pajak Indonesia sempat 14 persen dari produk domestik bruto (PDB) 2012. Namun, rasio ini turun menjadi 13,6 persen dan 13,1 persen pada 2013 dan 2014.
Pada tahun-tahun berikutnya, rasio itu menjadi 11,6 persen (2015), 10,8 persen (2016), dan 10,8 persen (2017). Kemudian pada 2018 rasio itu menjadi sebesar 11,5 persen, sementara target APBN 2019 adalah 12,2 persen.
Adapun jumlah wajib pajak meningkat tipis dari 38,65 juta pada 2018 menjadi 41,99 juta pada 2019. Namun, rasio kepatuhan masih stagnan sebesar 71 persen pada 2018 dan 2019.
Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Riatu Mariatul Qibthiyyah menambahkan, selain transparansi, stabilitas dan kepastian regulasi juga sangat menentukan kesadaran membayar pajak. Hal itu yang mendorong wajib pajak badan ataupun orang pribadi bisa lebih kooperatif.
”Perbaikan layanan perpajakan penting dilakukan apalagi kondisi ekonomi global dan domestik sedang melemah. Fasilitas dan layanan pajak harus dibuat lebih mudah dan simpel,” ujar Mariatul.