Daya Kreatif Tiada Akhir
Candi Borobudur adalah mahakarya seni dan pengetahuan. Para seniman memperoleh inspirasi penciptaan sementara para intelektual dan peneliti terus menggali khazanah pengetahuan.
Candi Borobudur bukan hanya tempat suci keagamaan, bangunan purbakala, atau obyek wisata, melainkan juga mahakarya seni dan pengetahuan. Dari candi yang dibangun mulai abad ke-8 itu, para seniman memperoleh inspirasi penciptaan dan merengkuh daya kreatif yang tak habis-habis. Di sisi lain, para intelektual dan peneliti terus menggali khazanah pengetahuan dari Borobudur.
Di masa kecilnya, pelukis Easting Medi (42) kerap diajak orangtuanya berkunjung ke Candi Borobudur yang tak jauh dari rumahnya. Di candi itu, Easting kerap mengamati patung-patung Buddha. Kenangan itu ternyata membekas kuat dan memengaruhi proses kreatif Easting sebagai pelukis hingga sekarang.
”Waktu kecil, kalau ke Candi Borobudur, saya paling sering istirahat di bawah pohon bodhi di sisi selatan candi karena di sana hawanya paling sejuk. Waktu itu, di bawah pohon tersebut, ada patung Buddha dan saya sering mengamati wajah patung itu,” kata Easting, Minggu (3/11/2019).
Ketika mengamati wajah patung Buddha yang tersenyum itu, Easting merasakan sesuatu yang tidak biasa. ”Saya yang tadinya capek jadi enggak capek dan fresh (segar). Senyum patung Buddha itu terlihat enak banget. Itulah yang menjadi inspirasi saya melukis,” kata pria bernama asli Ismedi itu.
Kesan mendalam tentang patung Buddha itulah yang akhirnya terbawa dalam proses Easting sebagai seniman. Kini, Easting dikenal sebagai pelukis yang kerap menghadirkan gambar kepala Buddha dalam lukisan- lukisannya.
Senyum patung Buddha itu terlihat enak banget. Itulah yang menjadi inspirasi saya melukis.
”Dulu, saya sering melukis berbagai hal tentang Candi Borobudur, misalnya relief, patung, dan bentuk candi secara utuh. Tetapi, sejak tahun 2013, saya fokus melukis obyek kepala Buddha karena itu berkaitan dengan romantika masa kecil saya,” ujar Easting.
Easting Medi lahir dan besar di Dusun Tingal Wetan, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Jarak rumahnya dengan Candi Borobudur hanya sekitar 3 kilometer.
Hingga saat ini, Easting telah membuat sekitar 600 lukisan kepala Buddha, baik yang dibuat di atas kertas maupun kanvas. Sebagian lukisannya dibeli kolektor seni dari Indonesia ataupun negara lain, seperti Inggris, Belanda, Swiss, Amerika Serikat, dan Singapura.
Lukisan Easting, yang juga anggota Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI), dihargai cukup tinggi. Beberapa waktu lalu, salah satu lukisan kepala Buddha karyanya dibeli dengan harga 2.000 dollar AS atau sekitar Rp 28 juta.
Tak mudah
Sejumlah seniman lain yang tergabung dalam KSBI pun juga tergerak, baik secara langsung maupun tak langsung, oleh energi kreatif yang tecermin dari kemegahan Borobudur.
”Tidak bisa dimungkiri, Candi Borobudur itu kan karya seniman pada zamannya. Spirit Borobudur yang membuat KSBI berkembang,” kata Ketua KSBI Umar Chusaeni (47).
Ia menyatakan, pendirian KSBI tahun 2003 justru dilatarbelakangi keprihatinan terhadap kondisi seniman di Borobudur yang dulu tak terlalu diperhatikan pemerintah dan pihak-pihak terkait. Salah satu contohnya, saat penyelenggaraan sebuah acara seni internasional tahun 2003 di Borobudur, sejumlah seniman di wilayah itu justru tak dilibatkan sama sekali. Sebagai respons, KSBI waktu itu menggelar pameran seni sendiri sebagai tandingan.
Pameran tandingan bertajuk ”Borobudur International Open Air Gallery” itu digelar di lahan persawahan di kawasan Borobudur dengan mengundang sekitar 200 seniman dari Indonesia dan negara lain. ”Kami membuat panggung di tengah sawah untuk menggelar pertunjukan dan pameran,” ujarnya.
Pada tahun 2009, Umar juga mendirikan galeri seni rupa di kawasan Borobudur yang diberi nama Limanjawi Art House. Awalnya, galeri itu didirikan sebagai ruang bagi perupa di kawasan Borobudur untuk memamerkan karya. Sebab, saat itu, para perupa di Borobudur masih kekurangan ruang untuk menampilkan karya mereka.
Ratu Denmark, anggota Kerajaan Belgia, dan beberapa artis Hollywood pernah ke sini.
Seiring berjalannya waktu, Limanjawi Art House berhasil menjadi galeri seni yang diperhitungkan, bukan hanya di kawasan Borobudur, melainkan juga di dunia seni rupa Indonesia. Galeri itu kerap menjadi tempat penyelenggaraan pameran seni rupa yang diikuti para perupa ternama dari dalam dan luar negeri.
Pada September 2019, misalnya, Limanjawi Art House menjadi tempat penyelenggaraan pameran Borobudur International Art Festival yang diikuti seniman dari 19 negara. Selain itu, sejumlah tokoh penting yang berkunjung ke Candi Borobudur juga menyempatkan diri mampir ke Limanjawi Art House.
”Ratu Denmark, anggota Kerajaan Belgia, dan beberapa artis Hollywood pernah ke sini,” ujar Umar.
Relief
Upaya menimba inspirasi dari Candi Borobudur juga dilakukan Eko Sunyoto (47), pendiri Sanggar Tari Kinnara Kinnari di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur. Sehari-hari, Eko dikenal sebagai seniman tari sekaligus dalang wayang kulit.
Pada Kamis (7/11), Eko menggelar kirab wayang di Candi Borobudur untuk memperingati Hari Wayang Dunia. Dalam kirab yang merupakan bagian dari kegiatan World Wayang Way itu, Eko mengajak anak-anak berjalan kaki sambil membawa wayang kulit menuju Candi Borobudur. Kirab itu dimulai dari Hotel Pondok Tingal yang berjarak beberapa ratus meter dari Candi Borobudur.
Menurut Eko, kirab peringatan Hari Wayang Dunia itu digelar di Candi Borobudur karena candi itu dianggap mempunyai keterkaitan dengan kesenian wayang.
”Sebelum ada wayang yang kita kenal sekarang, cerita wayang itu kan ditatah di batu dan menjadi relief seperti yang ada di Candi Borobudur. Jadi, Candi Borobudur itu bisa diibaratkan sebagai ’ibu’ dari kesenian wayang,” ungkap Eko.
Eko menambahkan, berdasarkan penelusurannya, sebagian relief yang ada di Candi Borobudur kemungkinan juga berpengaruh terhadap kesenian rakyat di wilayah sekitarnya. Dia mengatakan, pengaruh itu antara lain tampak dari Tari Dayakan atau Tari Topeng Ireng yang dipercaya berasal dari Desa Tuksongo, Borobudur. Kini tari itu dikenal luas sebagai kesenian rakyat khas Magelang.
Jadi, Candi Borobudur itu bisa diibaratkan sebagai ’ibu’ dari kesenian wayang.
Dalam struktur tari Dayakan, ada satu bagian yang disebut Ndas-ndasan, yaitu para penari tampil memakai kostum menyerupai binatang. Menurut Eko, Ndas-ndasan kemungkinan terpengaruh oleh relief Jataka di Candi Borobudur yang berisi fabel atau cerita dengan tokoh binatang. ”Mungkin masyarakat tidak sadar bahwa kesenian itu sebenarnya terpengaruh oleh relief Candi Borobudur,” ujarnya.
Selama beberapa waktu terakhir, Eko mengatakan, dirinya sedang mempelajari relief Jataka secara mendalam. Bahkan, Eko juga berniat membuat tarian yang mengambil inspirasi dari relief tersebut.
”Saya ingin berkarya dengan mengambil cerita dari relief di Borobudur itu,” katanya.
Borobudur Writers
Candi Borobudur juga menarik minat para intelektual, akademisi, dan peneliti. Minat semacam itulah yang tampaknya membuat beberapa penulis dan budayawan menyelenggarakan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) sejak tahun 2012 di kompleks Candi Borobudur.
BWCF menjadi wahana pertemuan bagi para penulis, pekerja kreatif, aktivis budaya, dan seniman. Kurator BWCF, Imam Muhtarom, mengatakan, festival tersebut fokus membahas berbagai tema yang berkait dengan sejarah klasik Nusantara. Beberapa tema yang pernah dibahas di BWCF, misalnya, cerita silat Nusantara, kebudayaan maritim, mitos ratu adil, dan Serat Centhini.
Berdasarkan penelitian sejumlah pakar, Candi Borobudur merupakan perwujudan dari konsep umat Buddha mengenai jalan menuju nirwana. ”Borobudur bukan hanya monumen, melainkan juga suatu perwujudan spiritual yang diwariskan nenek moyang. Inilah yang ingin kami ingatkan kepada publik melalui forum semacam BWCF,” kata Imam.
Ia mengatakan, setelah beberapa kali penyelenggaraan festival itu, baru tahun 2017 BWCF secara khusus mengangkat tema besar terkait Borobudur.
Borobudur memang pemancar luapan energi kreatif.