Peristiwa bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan, Sumatera Utara, membangkitkan lagi kepedulian sejenak elemen bangsa. Berbagai pihak, terutama elite, mendorong ada perhatian serius atas pemberantasan terorisme.
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar
·4 menit baca
KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTRI
Petugas masih melakukan olah kejadian perkara pascabom bunuh diri yang terjadi di Kantor Polrestabes Medan, Sumatera Utara, Rabu (13/11/2019). Pelaku tewas, enam orang terluka ringan termasuk empat polisi.
Peristiwa bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Medan, Sumatera Utara, Rabu (14/11/2019), membangkitkan kembali kepeduliaan sesaat seluruh elemen bangsa. Seperti sebuah pola, pasca aksi teror, mayoritas pihak, terutama elite politik, berlomba menyampaikan pesan untuk memberi perhatian serius untuk pemberantasan terorisme.
Sejarah mencatat, penanggulangan terorisme dan radikalisme di Indonesia hanya efektif dilakukan ketika kelompok teroris berhasil memanfaatkan kelengahan aparat keamanan. Pertama, peristiwa bom berskala besar di Bali pada 2002 melecut negara menghasilkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang didahului Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002. Kemudian, aksi bom bunuh diri dua keluarga di Surabaya, Mei 2018, menghasilkan hikmah, yaitu DPR cepat mengesahkan revisi UU Antiterorisme, meskipun draf RUU itu telah dibahas sejak 2016.
Namun, kehadiran UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu dilengkapi dengan sejumlah peraturan pemerintah yang secara teknis mengatur sejumlah aturan. Terdapat enam aturan yang dapat memperkuat daya tangkal teror hingga menghormati hak para korban teror.
Keenam peraturan pemerintah yang diamanatkan UU No 5/2018 mengenai tata cara dan pelaksanaan kesiapsiagaan nasional untuk mengantisipasi tindak pidana terorisme, tata cara pelaksanaan kontra radikalisasi, tata cara pelaksanaan deradikalisasi, keterlibatan Tentara Nasional Indonesia, permohonan dan pembayaran kompensasi kepada korban aksi teror, dan tata cara perlindungan kepada aparat hukum dalam penanganan tindak pidana terorisme. Selain itu, UU itu juga mengamanatkan DPR untuk membentuk Dewan Pengawas Pemberantasan Terorisme.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Arsul Sani, menuturkan, UU No 15/2018 merupakan produk hukum yang komprehensif karena didesain untuk melakukan dua hal sekaligus, yakni penindakan dan pencegahan.
“UU Antiterorisme memerlukan peraturan pelaksana yang berjumlah enam peraturan pemerintah untuk mengopersionalkan UU itu. Sampai saat ini pemerintah belum membuat,” kata Arsul di acara talkshow Satu Meja The Forum yang bertajuk “Musuh Bersama Itu Bernama Terorisme”, yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (13/11/2019).
Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas, Budiman Tanuredjo, Arsul mengungkapkan, salah satu peraturan pemerintah, yaitu terkait pelibatan TNI masih proses pembahasan, sedangkan DPR pun masih menyiapkan dewan pengawas.
Disinggung mengenai ketidakseriusan DPR untuk menjalankan amanat UU Antiterorisme untuk membentuk dewan pengawas, Arsul berkata, “Derajat tim pengawas dari sisi urgensi berbeda dibandingkan peraturan pemerintah. Sebab tanpa dewan pengawas, DPR tetap melakukan pengawasan,” ucapnya.
Sejumlah pembicara lain pada kesempatan itu ialah Juru Bicara Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Masduki Baidlowi, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjajaran Muradi, Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Hasibullah Satrawi, serta Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Brigadir Jenderal (Pol) Hamli yang dihubungi melalui sambungan telepon.
Muradi menilai, bangsa Indonesia memiliki memori pendek dan terkesan panik ketika aksi teror terjadi. Keseriusan untuk menyempurnakan UU No 5/2018 terkendala karena tercurahnya perhatian elite dan publik dalam hiruk-pikuk Pemilu 2019 lalu, sehingga persoalan besar dalam upaya pemberantasan terorisme ini terabaikan.
“UU Antiterorisme kita besifat sapu jagad karena mengatur kontra radikalisasi, deradikalisasi, hingga pencegahan aksi teror, tetapi untuk melakukan itu butuh diperkuat legal untuk operasional dan sosialisasi agar aturan itu bisa efektif,” ujar Muradi.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri melanjutkan penggeledahan di Bandar Lampung, Selasa (15/10/2019). Penggeledahan tersebut menyusul ditangkapnya empat terduga teroris yang diduga terkait dengan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Hasibullah juga menyampaikan pandangan serupa. Kehadiran UU Antiterorisme seakan menjawab harapan para korban serangan teror sejak 2002 lalu. “Pemenuhan hak korban penting dilakukan, tetapi sekarang belum terlaksana karena belum ada peraturan pemerintah,” katanya.
Dampak signifikan
Mu’ti menilai, serangan teror ke Markas Polrestabes Medan menjadi paradoks di tengah apresiasi dunia terhadap keberhasilan Indonesia memberantas terorisme. Peristiwa teror itu, lanjut Mu’ti, juga memiliki makna besar karena menyasar markas kepolisian yang menjadi barisan terdepan untuk menjamin keamanan masyarakat dan menangani terorisme, kemudian aksi teror itu terjadi di Medan yang selama ini dikenal sebagai kota yang aman, majemuk, plural, dan kondusif.
“Peristiwa teror itu menjadi pesan bagi pemerintah, persoalan terorisme dan kekerasan tidak bisa sekedar ditangani dengan retorika politik dan slogan. Ini menjadi masalah kita bersama,” ucapnya.
Dalam hasil survei Alvara Research Center, Juni 2018, bertajuk “Radicalism Among Educated People” menunjukkan bahwa sebanyak 29,6 persen profesional, 23,5 persen mahasiswa, dan 16,3 persen pelajar setuju dengan konsep negara Islam di Indonesia. Sejalan dengan persentase itu, sejumlah 19,6 persen profesional, 23,4 persen mahasiswa, dan 23,3 persen pelajar siap melakukan jihad untuk membentuk negara Islam atau khilafah.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Siswa melintas di depan spanduk menolak radikalisme yang terpampang di Kawasan Jurang Mangu, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (23/1/2016).
Masduki memastikan, pemerintah telah mengutamakan langkah penanganan secara komprehensif persoalan terorisme dan radikalisme. Ia menambahkan, aturan yang dibutuhkan untuk melengkapi UU Antiterorisme akan segera dirampungkan dan menjadi prioritas di awal masa tugas pemerintahan Joko Widodo- Ma’ruf Amin.
“Lebih dari itu, kami juga akan menyusun strategi penanganan teroris dari sektor hulu, sehingga tidak hanya menangani persoalan di hilir yang menyangkut para pelaku,” ujar Masduki.
Hamli menjelaskan, terdapat sejumlah latar belakang yang menyebabkan simpatisan dan anggota kelompok teroris melakukan aksi teror. Di antaranya, balas dendam, diberlakukan secara tidak adil, merasa dimarginalkan di lingkungan sosial, dan persoalan ideologi.
Akhirnya, agar peristiwa teror mampu diantisipasi sejak dini tidak cukup hanya mengharapkan langkah pencegahan dari aparat keamanan melalui penangkapan anggota kelompok teroris. Seluruh pemangku kepentingan harus menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah untuk memperkuat regulasi sekaligus memberi jaminan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga harus memperkuat kembali ikatan sosial di lingkungan supaya memliki daya tangkal terhadap radikalisme.