Sudah Lima Bulan, Demo di Hong Kong Semakin Mencemaskan
Ketakutan besar bagi warga Hong Kong adalah China akan menindaklanjuti ancaman itu untuk mengerahkan militer dari China daratan. Aparat Hong Kong meningkatkan kewaspadaan di tengah spekulasi pemberlakuan jam malam.
Oleh
BENNY DWI KOESTANTO
·3 menit baca
Situasi Hong Kong semakin mencemaskan sekaligus memprihatinkan. Unjuk rasa disertai aksi kekerasan terus berlanjut dalam empat hari terakhir. Kesabaran Beijing benar-benar tengah diuji.
HONG KONG, KAMIS -- Para pengunjuk rasa prodemokrasi Hong Kong menantang pemerintahan China di Hong Kong dengan aneka barikade dan aksi unjuk rasa yang diwarnai bentrokan dalam empat hari berturut-turut sejak awal pekan ini, Kamis (14/11/2019). Aparat keamanan Hong Kong pun meningkatkan kewaspadaan, bersikap lebih keras, di tengah spekulasi akan diberlakukannya jam malam di kota itu mulai akhir pekan ini.
Para demonstran itu mengenakan pakaian hitam dan bertopeng, mendirikan barikade di jalan-jalan, merusak stasiun kereta api, mengamuk di mal-mal, dan membuka front konfrontasi dengan polisi antihuru-hara di berbagai lokasi.
Hari Kamis, jalan-jalan arteri utama terputus, layanan kereta dihentikan, serta sejumlah sekolah dan universitas ditutup. Demonstrasi juga digelar di pusat-pusat bisnis. Sejumlah pengunjuk rasa dilaporkan cedera.
Krisis lima bulan di Hong Kong memasuki fase baru pada Senin pekan ini ketika pengunjuk rasa memperbanyak aksi mereka, baik dari segi tempat maupun waktu. Alih-alih menggelar aksi pada akhir pekan dan malam hari, mereka berdemonstrasi pada hari-hari kerja sebagaimana terlihat hingga kemarin. Adapun aksi digelar menyebar diduga menjadi taktik agar kepolisian setempat kewalahan.
Otoritas Hong Kong telah mengerahkan sedikitnya 30.000 anggota kepolisian. Kepolisian dilaporkan tengah membuka kemungkinan meminta bantuan para sipir penjara dan mencari bala bantuan lainnya.
”Kerusuhan berlangsung dengan jumlah massa berskala besar, terjadi serentak di berbagai distrik, dan diwarnai kekerasan parah, maka perlu kiranya memperkuat dukungan bagi aparat keamanan di garis depan,” kata seorang juru bicara polisi dalam sebuah pernyataan.
Kerusuhan berlangsung dengan jumlah massa berskala besar, terjadi serentak di berbagai distrik, dan diwarnai kekerasan parah, perlu kiranya memperkuat dukungan bagi aparat keamanan di garis depan.
Anggota parlemen Starry Lee, yang berasal dari partai pro-Beijing terbesar di kota itu, mendesak pemerintah untuk mengerahkan petugas polisi tambahan. Pasukan sukarela paruh waktu dari warga sipil dan mantan perwira biasanya dikerahkan untuk mengatur lalu lintas dan mengendalikan massa pada acara-acara olahraga luar ruang atau hiburan.
Gerakan protes di Hong Kong dimulai pada Juni lalu ketika jutaan orang turun ke jalan menyuarakan kemarahan atas rencana Pemerintah Hong Kong memberlakukan Rancangan Undang-Undang Ekstradisi. Dengan RUU ini, warga di Hong Kong yang diduga berbuat kriminal bisa diekstradisi untuk diadili di China daratan. RUU itu telah dicabut, tetapi aksi warga Hong Kong berlanjut.
Mereka khawatir bakal kehilangan kebebasan di bawah China, yang telah memerintah bekas jajahan Inggris itu sejak tahun 1997. Pengunjuk rasa menuntut hak memilih pemimpin secara bebas dan mendesak penyelidikan independen atas dugaan kebrutalan polisi.
Pemerintah China memperingatkan, Beijing siap untuk lebih lanjut mengekang kebebasan warga dan mengindikasikan langkah-langkah pengamanan yang lebih keras di Hong Kong.
Jam malam
Ketakutan besar bagi banyak orang di Hong Kong adalah China akan menindaklanjuti ancaman itu untuk mengerahkan pasukan militer dari wilayah China daratan. Sejauh ini tak ada tanda-tanda pengerahan pasukan militer.
Namun, sebagaimana diberitakan salah satu media Pemerintah China, Global Times, Pemerintah Hong Kong tengah mempertimbangkan pemberlakuan jam malam di Hong Kong. Media itu sempat mengunggah cuitan kemungkinan adanya jam malam itu melalui Twitter. Namun, cuitan itu belakangan dihapus.
”Saya baru memeriksa bagaimana informasi itu diperoleh. Kesimpulan saya adalah informasi itu tidak cukup untuk mendukung berita eksklusif ini,” kata Hu Xijin, editor Global Times, dalam cuitan berikutnya.