Siapkan Mitigasi di Jalan yang Kerap Dilupakan
Mitigasi mencegah kecelakaan di jalan kerap terlupakan. Akibatnya, jalanan ibarat medan pertempuran yang sulit dimenangkan dan memakan banyak nyawa jadi korban.
Mitigasi mencegah kecelakaan di jalan kerap terlupakan. Akibatnya, jalanan ibarat medan pertempuran yang sulit dimenangkan dan memakan banyak nyawa jadi korbannya.
”Selamat siang, terima kasih atas kepercayaannya pada kami. Mohon dipakai sabuk pengamannya. Supaya selamat di tempat tujuan, mari kita berdoa sesuai kepercayaan kita masing-masing.”
Salam pembuka itu diucapkan Jajang, pengemudi salah satu travel Bandung-Jakarta pada penumpangnya, pertengahan tahun lalu di Bandung. Dia melakukannya di depan pintu mobil yang bakal ia kemudikan.
Meski tak ada instruksi khusus dari perusahaan tempatnya bekerja, ia tetap melakukannya. Tidak hanya memberikan kenyamanan pada penumpang, dia juga tengah mendoakan diri sendiri agar diberi ketenangan saat mengemudi.
”Alhamdulillah, selama ini selalu selamat lahir batin,” katanya yang sejak 14 tahun lalu terbiasa melahap rute Jakarta-Bandung via Tol Jakarta-Cikampek dan Tol Purwakarta-Bandung-Cileunyi.
Akan tetapi, tak semua sopir seperti Jajang. Kecelakaan lalu lintas yang terus berulang, khususnya di jalan tol di Jawa Barat, jadi buktinya. Ironisnya, kejadian itu dipicu kelalaian pengemudi, selain sisi kelaikan kendaraan hingga fasilitas infrastruktur tol yang belum ideal.
Di Tol Cikopo-Palimanan (Cipali), misalnya, kecelakaan tertinggi adalah tabrak belakang. Sebagian besar terjadi malam hingga dini hari saat pengemudi diserang kantuk. Biasanya, mereka memaksakan mengemudi dengan alasan ingin cepat sampai tujuan.
PT Lintas Marga Sedaya, pengelola Cipali, mencatat tabrak belakang mendominasi jumlah korban jiwa di Cipali sejak pertama kali beroperasi pertengahan 2015. Pada 2016, sebanyak 41 dari 63 korban meninggal karena kecelakaan tabrak belakang. Tahun berikutnya, tercatat 61 dari 92 korban tewas karena kasus serupa.
Pada 2018, sebanyak 53 dari 71 nyawa melayang juga karena kasus tabrak belakang. Tahun ini, kasus tabrak belakang terus muncul. Sejak Januari hingga Oktober 2019, setidaknya 37 nyawa melayang akibat kecelakaan tabrak belakang.
Baca Juga : Kasus Tabrak Belakang Masih Mendominasi di Cipali
Kejadian terakhir terjadi pada Rabu (23/10/2019) malam di Kilometer 181.400 di Desa Ciwaringin, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon. Tiga orang tewas dalam kejadian itu.
”Sebanyak 80 persen kecelakaan di Cipali disebabkan faktor kelalaian manusia, misalnya pengemudi yang mengantuk. Penyebab lainnya, kondisi kendaraan, yaitu pecah ban atau rem blong,” kata General Manager Operasi PT LMS Suyitno. Meski tak mendominasi jumlah kejadian, perkara rem blong tetap berbahaya.
Sebanyak 80 persen kecelakaan di Cipali disebabkan faktor kelalaian manusia, misalnya pengemudi yang mengantuk. Penyebab lainnya, kondisi kendaraan, yaitu pecah ban atau rem blong. (Suyitno)
Kasus kecelakaan fatal di Km 91 Jalan Tol Purbaleunyi, Senin (2/9/2019), jadi pelajaran berharga. Delapan orang tewas dalam kecelakaan beruntun yang melibatkan 20 kendaraan. Pemicunya dua truk pengangkut tanah yang badan dan jumlah muatan di luar batas (overdimension-overload/ODOL). Kondisi itu ikut memicu rem kedua truk blong sehingga sulit dikendalikan.
Dari hasil pemeriksaan polisi, berat muatan dalam masing-masing truk itu sekitar 37 ton. Padahal, idealnya dump truck hanya bermuatan 12 ton. Selain itu, bentuk bak truk yang sudah dimodifikasi menyulitkan pengendalian kendaraan, baik saat bermanuver atau direm. Dua tersangka ditetapkan dalam kasus ini.
Meski demikian, keselamatan di jalan tol tak sekadar kesalahan pengemudi. Menurut Ketua Himpunan Profesi Pengemudi Indonesia DPD Jawa Barat Eddy Suzendi, pengemudi masih minim mendapatkan edukasi. Sopir truk yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kecelakaan di Km 91 Tol Purbaleunyi, misalnya, tidak mengetahui beban muatan kendaraannya.
Menjadikan sopir sebagai ”kambing hitam”, menurut Eddy, tidak adil. Banyak pengemudi tidak tahu daya angkut kendaraan yang dibawa. Oleh karena itu, pihaknya mendorong dinas perhubungan tidak hanya fokus pada kelaikan kendaraan, seperti uji kir, tetapi juga memberikan pengetahuan kepada sopir.
”Bahkan, seharusnya ada pendidikan khusus bagi sopir untuk mendapatkan sertifikat. Perusahaan angkutan membiayai pendidikan pengemudinya. Jika nanti sopir lalai, kompetensinya bisa dicabut,” ujarnya.
Kepala Program Studi Magister Sistem dan Teknik Jalan Raya Institut Teknologi Bandung Aine Kusumawati menilai, selain manusia, faktor penyebab tingginya angka kecelakaan adalah lingkungan jalan yang belum didesain lebih baik untuk pengguna jalan.
”Saya kira pemerintah sudah berinvestasi untuk lingkungan jalan yang berkeselamatan, tetapi masih sangat minim. Masalah klasik, biaya,” ujarnya.
Aine mengatakan, meski desain infrastruktur jalan yang dibangun pemerintah umumnya sudah baik, menurut dia, desain jalan masih kurang memperhatikan potensi bahaya bagi pengguna jalan. Aine mencontohkan, keberadaan pagar keselamatan yang masih sangat kurang di jalan tol (Kompas, 6/9/2019).
Saya kira pemerintah sudah berinvestasi untuk lingkungan jalan yang berkeselamatan, tetapi masih sangat minim. Masalah klasik, biaya.
Direktur Lalu Lintas Polda Jabar Komisaris Besar M Aris menyampaikan, infrastruktur jalan di Tol Cipali memang perlu dibenahi dengan pembatas jalan. Pihaknya telah berulang kali meminta PT LMS membenahi hal itu karena rentan membuat dampak kecelakaan jadi lebih parah.
Kecelakaan yang terjadi di Km 117.800 di Subang, Kamis (14/11), contohnya. Diduga mengantuk, Sanudin, pengemudi bus PO Sinar Jaya, tidak mampu mengendalikan laju kendaraan. Datang dari arah Jakarta, bus oleng ke kanan dan masuk ke jalur berlawanan.
Di saat bersamaan, bus PO Arimbi Jaya Agung datang dari arah Palimanan menuju Cikopo. Tabrakan tak terhindarkan pun terjadi. Tujuh orang tewas akibat kejadian itu.
Suyitno mengatakan bakal menambah kawat pembatas jalan (wire rope) sepanjang 25 km pada titik rawan yang telah direkomendasikan polisi pada tahun 2020. Pada tahun 2018, wire rope yang sudah terpasang sepanjang 16 km. Menyusul di tahun 2019, terpasang sepanjang 18 km. Dari 116,7 km panjang jalan tol tersebut, total baru 34 km yang terpasang wire rope. Keberadaan wire rope yang dipasang di Cipali ini, diakui Suyitno, mampu menahan beban hingga 80 ton.
”Wire rope dapat meminimalkan kecelakaan karena kendaraan menyeberang median jalan,” ucapnya.
Baca Juga : Tujuh Orang Tewas di Lajur Tanpa Pembatas Tol Cipali
Sejauh ini, wire rope memang ampuh. Dampak tabrak belakang di Km 181.400 di Tol Cipali, Rabu (23/10) malam, bisa dimininalkan. Bus yang mengangkut sejumlah pelajar dan guru asal SMPN 1 Subah, Batang, Jawa Tengah, itu menghantam truk pengangkut kabel besi.
Tiga orang tewas dan lima orang lainnya luka-luka. Kecelakaan membuat truk terbalik di jalur cepat, sedangkan bus bergeser 50 meter ke median jalan. Keberadaan wire ropes atau pembatas jalan di median jalan mencegah kendaraan menyeberang ke seberang jalur.
Tidak seperti Cipali, Tol Purbaleunyi sudah memiliki pembatas jalan yang ideal. Namun, dibandingkan Tol Cipali yang relatif datar dan lurus, Tol Purabelunyi didominasi jalan menanjak tajam, menurun curam, hingga penuh kelokan. Dibutuhkan kesiapan ekstra pengemudi untuk melintasinya.
Baca Juga : Faktor Kelalaian Jadi Penyebab Tabrakan Beruntun
Berdasarkan pengamatan Kompas, ada beberapa titik rawan kecelakaan di Km 91 sampai Km 104. Imbauan bagai pengemudi untuk berhati-hati di ruas ini kerap disuarakan. Namun, kecelakaan masih saja terjadi.
Pertengahan Juni lalu, enam kendaraan terlibat kecelakaan beruntun di Km 95 sehingga menyebabkan delapan orang luka-luka. Pada Desember 2012, delapan orang tewas dan 34 orang luka setelah bus pariwisata menyeruduk bagian belakang truk di Km 100. Pada 2011, enam orang tewas saat minibus sarat penumpang menabrak truk di Km 93.
Titik rawan pertama ada di Km 91-93, dari Jakarta menuju Bandung. Di tempat tersebut terdapat dua tikungan tajam dengan sudut sekitar 80 derajat selepas jalan menurun dengan kecuraman sekitar 20 derajat. Pengemudi yang tidak berpengalaman biasanya kesulitan mengemudikan kendaraan saat hendak melewati tikungan itu.
https://youtu.be/fpgh5DdW6Jk
Titik rawan lain ada di Km 95 yang lurus dengan panjang sekitar 2 km. Di titik ini, pengemudi biasanya mudah mengantuk akibat jenuh melintasi jalan lurus. Selanjutnya, ada Km 96-Km 97 adalah rute paling rawan. Titik ini sangat rawan karena kontur jalan menurun dengan kecuraman sekitar 20 derajat dilanjutkan dengan tikungan tajam 70-80 derajat. Meski tidak terlalu curam, rute ini sangat berbahaya apabila kendaraan melaju dengan kecepatan di atas 100 km per jam. Pengemudi berpotensi kehilangan kendali kemudi saat hendak melewati tikungan.
Titik rawan lain adalah Km 103-Km 101. Di jalan lurus sepanjang 2 km ini, banyak kendaraan kehilangan keseimbangan. Titik rawan terakhir adalah Km 104. Jalan ini juga berupa tikungan tajam sekitar 80 derajat. Rute ini bisa jadi fatal dan memicu kecelakaan, terutama bila pengemudi melaju terlalu kencang.
Jajang bersyukur tak pernah gagal mengantar penumpang ke tempat tujuan. Dia berusaha patuh pada ketentuan tentang batas kecepatan yang sudah ditetapkan perusahaan sesuai aturan pemerintah.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Darat menyebutkan, untuk jalan bebas hambatan, batas minimal kecepatan kendaraan adalah 60 km per jam. Adapun batas maksimal 100 km per jam.
Akan tetapi, ia mengaku juga pernah alpa. Saat itu terjadi, selalu ada rencana cadangan. Pihak perusahaan mengingatkannya lewat alat komunikasi internal. Ada pemantau jarak jauh yang ditanam di mobil travel. Hal itu bahkan memudahkan perusahaan mematikan mesin mobil bila sopir masih membandel mengemudi di atas batas kecepatan.
”Nyaman kalau ada yang mengingatkan. Semua demi kenyamanan penumpang dalam perjalanan,” katanya.
Kecelakaan lalu lintas dipicu beragam hal kompleks. Sudah sepantasnya, rencana mitigasi disiapkan sebanyak mungkin agar semua orang bisa pulang dengan selamat ke rumahnya masing-masing.