Pendidikan Kesehatan Reproduksi Masih Jauh dari Harapan
Akses informasi dan layanan kesehatan reproduksi dan seksualitas di Indonesia masih terbatas. Hal ini bisa membuat Indonesia gagal mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030.
Oleh
M Zaid Wahyudi dari Nairobi, Kenya
·4 menit baca
NAIROBI, KOMPAS — Pemuda Indonesia menginginkan akses informasi dan layanan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang utuh dan menyeluruh. Keterbatasan kedua hal itu menjebak pemuda dalam perilaku seksual berisiko. Tak hanya merugikan pemuda, situasi itu juga bisa menghambat Indonesia mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Keinginan itu disampaikan sejumlah pemuda anggota Delegasi Indonesia untuk Pertemuan Tingkat Tinggi Nairobi dalam rangka Peringatan 25 Tahun Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional (ICPD25) di Nairobi, Kenya, Rabu (13/11/2019).
”Pemerintah sebenarnya sudah memberikan informasi dan layanan kesehatan reproduksi, tapi pelaksanaannya belum sesuai harapan pemuda,” kata Fika Febriana dari Aliansi Satu Visi.
Informasi dan layanan kesehatan reproduksi dan seksual itu belum bisa menjangkau semua pemuda, khususnya yang ada di luar sekolah, pemuda dengan disabilitas dan pemuda terpinggirkan. Akibatnya, sebagian besar pemuda belum mampu mengambil keputusan berdasarkan informasi yang lengkap dan bertanggung jawab meski itu menyangkut tubuhnya.
Informasi dan layanan kesehatan reproduksi dan seksual itu belum bisa menjangkau semua pemuda, khususnya yang ada di luar sekolah, pemuda dengan disabilitas, dan pemuda terpinggirkan.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 menunjukkan itu. Sebanyak 7,8 persen remaja laki-laki dan 1,5 persen remaja perempuan sudah pernah melakukan seks pranikah. Namun, 75,4 persennya tidak menggunakan alat kontrasepsi dan lebih dari 60 persen remaja tak tahu tentang penyakit infeksi menular seksual.
Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas juga masih menjadi hal sulit di masyarakat, termasuk dalam keluarga. Banyak orangtua tidak memberikan informasi kesehatan seksual yang memadai pada anaknya, bahkan termasuk persoalan mendasar, seperti menstruasi dan mimpi basah. Informasi justru banyak didapat anak dari teman, internet, atau sumber lain yang kebenarannya sulit dipertanggungjawabkan.
Rendahnya pengetahuan orangtua, kuatnya penabuan, hingga pengabaian perkembangan biologis anak membuat informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual sering dianggap akan mendorong seks bebas pada remaja.
”Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas bukan soal benar atau salah, tapi bekal bagi pemuda untuk bisa mengambil keputusan secara benar dan bertanggung jawab,” kata M Noval Auliady, Co-Director Hollaback!Jakarta.
Orangtua, termasuk guru di sekolah, juga banyak yang tergagap saat anak mereka menanyakan hal-hal terkait perkembangan seksualitas mereka. Orangtua kerap hanya melarang menjauhi seks bebas, menakut-nakuti dengan sanksi berbagai norma di masyarakat, tanpa memberikan pengetahuan pada anak mereka bagaimana mengelola dorongan seksual saat muncul.
”Pendidikan yang baik dan kuatnya nilai agama memang penting, tetapi tidak bisa menjadi jaminan akan membuat remaja bebas dari perilaku seks berisiko dan kehamilan yang tak diinginkan,” ujar Youth Advisory Panel Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Indonesia Rachel Amanda Aurora.
Pendidikan yang baik dan kuatnya nilai agama memang penting, tetapi tidak bisa jadi jaminan akan membuat remaja bebas dari perilaku seks berisiko dan kehamilan yang tak diinginkan.
Koordinator Komunikasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Ferena Debineva mengingatkan berlarut-larutnya keterbatasan akses informasi dan layanan kesehatan reproduksi dan seksual bisa membuat Indonesia gagal mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030. SDGs menghendaki tidak seorang pun tertinggal dalam pembangunan, termasuk perempuan dan remaja.
”Indonesia akan makin tertinggal dari komitmen global dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksual,” katanya.
Terkait layanan kesehatan reproduksi, Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Dwi Listyawardani mengatakan, hingga Desember 2018, pemerintah telah memiliki 6.204 puskesmas dengan pelayanan kesehatan ramah remaja.
Sementara itu, untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas yang mudah dijangkau remaja, BKKBN telah mendirikan 6.892 pusat informasi dan konseling remaja melalui program Generasi Berencana atau Genre.
Meski demikian, Marthilda Christin Finsae dari Instituta Hak Asasi Perempuan, Kupang, Nusa Tenggara Timur, menyoroti belum meratanya informasi dan fasilitas kesehatan reproduksi, khususnya di kawasan timur Indonesia. Sementara edukasi melalui internet yang dianggap murah juga terkendala terbatasnya akses listrik.
Informasi dan fasilitas kesehatan reproduksi, khususnya di kawasan timur Indonesia, belum merata.
Stigma pemuda yang mengakses layanan kesehatan reproduksi oleh petugas atau tenaga kesehatan juga masih ada. Akibatnya, remaja makin enggan mengakses layanan kesehatan yang penting bagi dirinya.
Di sisi lain, Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan Nanda Dwinta Sari menyoroti kurangnya konsistensi pelayanan kesehatan reproduksi di fasilitas kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat, khususnya terkait alat kontrasepsi yang terkadang gratis kadang harus membayar. Situasi itu menimbulkan ketidakpastian dan keraguan masyarakat dalam mengakses layanan kontrasepsi.
”JKN-KIS memang memberikan jaminan pembiayaan menyeluruh, tetapi tekanannya masih bersifat kuratif,” katanya.
Akibatnya, sejumlah layanan kesehatan reproduksi hanya bisa diakses ketika seseorang sudah sakit. Layanan untuk pencegahan penyakit terkait kesehatan reproduksi tidak bisa diakses meskipun mereka yang ingin mengaksesnya aktif secara seksual.