Mendagri-Menteri Desa PDTT Bertemu Tertutup di Tengah Polemik Desa Fiktif
Di tengah polemik kucuran dana desa ke sejumlah desa yang diduga fiktif, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar bertemu secara tertutup.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah polemik kucuran dana desa ke sejumlah desa yang diduga bermasalah dalam pembentukannya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar melakukan pertemuan tertutup. Padahal, persoalan ini mendapat perhatian publik yang besar.
Pertemuan yang digelar pada Jumat (15/11/2019) di Kompleks Kemendagri, Jakarta, disebut sebagai sebuah audiensi mengenai upaya optimalisasi dana desa. Melalui publikasi Pusat Penerangan Kemendagri, Tito mengatakan, penerapan teknologi informasi menjadi salah poin diskusi dalam upaya optimalisasi pengawalan dana desa.
”Kami menyimpulkan perlu dilakukan pembinaan dan pendamping dana desa terutama peningkatan pengelolaan dana desa berbasis IT. Nantinya bagi desa yang serapannya rendah, Kemendes akan melapor ke Kemendagri agar dilakukan pembinaan,” kata Tito dalam keterangan tertulis tersebut.
Pertemuan tersebut tertutup. Tito pun tidak bersedia untuk menemui Kompas seusai pertemuan tersebut. Selain itu, Kemendagri juga tidak memenuhi janji untuk membuka hasil investigasi desa-desa yang diduga fiktif pada Jumat ini; sesuai yang dijanjikan Dirjen Bina Pemerintahan Desa Nata Irawan dan Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar pada Selasa (12/11) saat ditemui wartawan di kompleks Kemendagri, Jakarta.
Basis data desa belakangan ini mendapat perhatian khusus setelah ditemukannya dugaan mengalirnya dana desa ke desa-desa yang bermasalah, bahkan diduga fiktif. Permasalahan ini terangkat ke permukaan seusai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutnya di DPR pada awal November lalu.
Berdasarkan penelusuran Kompas, ditemukan ada empat perda di Konawe yang terkait dengan pembentukan dan pendefinitifan desa yang tercatat di Kemendagri sejak 2011.
Perda No 7/2011 tercatat sebagai perda pengesahan APBD 2011, bukan pembentukan desa. Perda No 7/2012 bahkan disebut oleh Kepala Bagian Hukum Setda Konawe tidak pernah ada.
Tiga perda diduga bermasalah, yaitu Perda No 7/2011, Perda No 1/2014, serta Perda No 7/2012 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-desa di Konawe.
Perda No 7/2011 tercatat sebagai perda pengesahan APBD 2011, bukan pembentukan desa. Perda No 7/2012 bahkan disebut oleh Kepala Bagian Hukum Setda Konawe tidak pernah ada. Adapun Perda No 1/2014 diundangkan di masa moratorium pembentukan desa baru. Desa-desa ini diduga terus menerima dana desa meskipun dasar pembentukannya bermasalah (Kompas, 12/11).
Kemunculan desa-desa yang berdasar pada perda bermasalah itu diduga dapat terjadi dengan lemahnya pengawasan dari pemerintah pusat. Pada Selasa lalu, Nata Irawan mengungkapkan, Kemendagri selama ini hanya sebatas memverifikasi dokumen pengajuan pemekaran desa dari pemerintah kabupaten yang telah lolos proses verifikasi oleh pemerintah provinsi.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng berharap pertemuan antara dua kementerian yang bertanggung jawab atas keberadaan dan pembangunan desa tersebut dapat benar-benar menjadi awal penataan kembali basis data desa di Indonesia.
Pencatatan kode desa yang rapi ke dalam sebuah basis data menjadi krusial untuk memastikan alokasi dana desa dan pemanfaatannya berjalan sesuai yang diharapkan. ”Ini dapat menjadi basis segala kebijakan dalam hal alokasi dana desa dan pemanfaatannya serta pembangunan desa secara umum,” kata Robert.
Robert menyayangkan lolosnya pembentukan desa-desa yang berdasarkan perda bermasalah tersebut. Permendagri Nomor 1 Tahun 2017 sebetulnya telah memberikan sistem pengamanan tiga lapis dalam pembentukan desa atas dasar aspirasi masyarakat.
Pertama, sebuah tim pembentukan desa dibentuk oleh pemerintah kabupaten/kota untuk melakukan kajian dan verifikasi persyaratan pembentukan desa; termasuk salah satunya adalah kunjungan lapangan. Apabila memenuhi syarat, perda pemekaran desa dapat disusun bersama-sama dengan DPRD setempat.
Kedua adalah pemprov. Robert mengatakan, segala raperda pemekaran harus didiskusikan dengan pemerintah provinsi. Apabila tidak disetujui provinsi, perda tersebut tidak akan mendapat nomor registrasi.
Ketiga, nomor registrasi dari pemprov adalah syarat untuk mendapatkan kode wilayah desa dari Kemendagri. ”Jadi, kalau melihat prosesnya, sebetulnya verifikasinya itu berlapis-lapis,” kata Robert.