Direktur Utama PT Tansri Madjid Energi Kokos Leo Lim divonis empat tahun penjara, denda Rp 200 juta, dan pidana tambahan membayar uang pengganti Rp 477.359.539.000 dalam perkara pengadaan batubara.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Kejaksaan Agung menggelar jumpa pers hasil eksekusi barang bukti atas perkara tindak pidana korupsi dengan terpidana Kokos Jiang alias Kokos Leo Lim yang merugikan keuangan negara, dalam hal ini PT PLN Batubara, sebesar Rp 477.359.539.000, Jumat (15/11/2019), di Kejaksaan Agung, Jakarta. Uang Rp 477,3 miliar itu merupakan pidana tambahan yang mesti dibayar Kokos berdasarkan putusan Mahkamah Agung.
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung mengeksekusi barang bukti berupa uang tunai senilai Rp 477,3 miliar dari terpidana korupsi pengadaan batubara, Direktur Utama PT Tansri Madjid Energi Kokos Leo Lim. Kejagung berkomitmen untuk terus memberantas korupsi, termasuk di lingkup kejaksaan.
Jaksa Agung ST Burhanuddin, Jumat (15/11/2019), di Jakarta, menyatakan, eksekusi barang bukti itu dilakukan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3318K/Pid.Sus/2019 tanggal 17 Oktober 2019.
Selain menjatuhkan pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 200 juta, Kokos juga dikenai pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 477.359.539.000.
”Uang pengganti tersebut telah disetor ke kas negara oleh jaksa eksekutor melalui Sistem Informasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Online Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dengan kode billing 820191113923508,” katanya. Di hadapan wartawan, ada sekitar Rp 100 miliar uang tunai yang diperlihatkan.
Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Warih Sadono menjelaskan, saat proses penuntutan, dia sudah meminta jaksa untuk melacak harta Kokos. Dengan demikian, ketika vonis bersalah dijatuhkan kepada Kokos, dan dia diwajibkan membayar uang pengganti, jaksa tak kesulitan memintanya mengembalikan uang hasil korupsi tersebut.
”Semua uang yang dinikmatinya sudah dikembalikan dan dirampas untuk kas negara,” katanya.
Jaksa Agung ST Burhanuddin (kanan), didampingi Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Warih Sadono, menunjukkan uang tunai hasil eksekusi barang bukti atas perkara tindak pidana korupsi dengan terpidana Kokos Jiang alias Kokos Leo Lim yang merugikan keuangan negara, dalam hal ini PT PLN Batubara, sebesar Rp 477.359.539.000 di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (15/11/2019).
PLN Batubara
Catatan Kompas, perkara Kokos bermula dari proyek pengadaan batubara untuk PT PLN (Persero) yang dilaksanakan perusahaan milik Kokos. Proyek dengan nilai Rp 1,4 triliun itu diperoleh perusahaan Kokos setelah memenangi tender dari anak usaha PT PLN, yaitu PT PLN Batubara. Namun, selama proses pengerjaannya, PT Tansri Madjid Energi (TME) tak menjalankan proyek itu dengan baik.
Hal tersebut disebabkan kuantitas batubara tidak sesuai dengan kontrak perjanjian antara PT TME dan PT PLN Batubara. Padahal, PT PLN Batubara sudah mengeluarkan uang Rp 477,3 miliar, yang diberikan dalam dua tahap, yakni Rp 30 miliar pada 2011 dan sisanya selesai dilunasi pada 2012.
Pengeluaran uang dari PT PLN Batubara itu pun melanggar anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) PT PLN. Sebab, pengeluaran uang dengan jumlah mencapai Rp 477,3 miliar seharusnya didahului persetujuan rapat umum pemegang saham. Namun, hal tersebut tidak dilaksanakan.
Oleh karena itu, mantan Direktur Utama PT PLN Batubara Khairil Wahyuni ikut divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pertengahan Juni 2019. Dia dijatuhi vonis dua tahun penjara.
Sementara lahan seluas 9.000 hektar di Muara Enim yang disebutkan untuk pengadaan batubara ternyata hanya merupakan kebun karet.
Ilustrasi. Alat berat dipergunakan untuk membongkar batubara di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (14/1/2019).
Vonis bebas
Kokos sempat divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pertengahan Juni 2019. Majelis hakim yang diketuai Faisal Hendri menyatakan, Kokos tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi.
Sementara jaksa dalam tuntutannya menilai perbuatan Kokos telah merugikan negara Rp 477,3 miliar. Sebab, Kokos tidak kunjung menyuplai batubara kepada PT PLN Batubara sesuai dengan perjanjian kontrak kerja yang berlaku.
Merespons vonis bebas itu, Kejaksaan Agung melalui jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan akta permohonan kasasi Nomor 12/Akta.Pid.Sus/TPK/2019/PN.JKT.PST pada 13 Juni 2019. Kokos pun diputus bersalah dan diharuskan membayar uang pengganti.
Berantas korupsi
Burhanuddin menambahkan, Kejagung terus berupaya untuk memberantas korupsi. Bahkan, pembenahan di lingkup internal pun akan dilakukan.
”Presiden sudah memerintahkan. Kalau ada jaksa nakal, saya akan bina. Kalau tidak bisa dibina, akan saya binasakan. Beri kesempatan, kami akan lakukan tindakan setegas-tegasnya,” katanya.
Barang bukti berupa uang Rp 110,87 juta yang disita dari Eka Safitra, jaksa di Kejaksaan Negeri Yogyakarta sekaligus anggota Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah, dan Pembangunan Daerah (TP4D), yang terkena operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi, pertengahan Agustus lalu.
Beberapa waktu lalu, dalam Rapat Koordinasi Nasional Pemerintah Pusat dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah 2019, di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kejaksaan Agung untuk memecat jaksa nakal yang sering memeras pelaku usaha.
Dalam catatan Kompas, jaksa pun tak terlepas dari praktik korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (20/8/2019), misalnya, menetapkan dua jaksa sebagai tersangka penerima suap dalam lelang proyek pada Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman Kota Yogyakarta tahun 2019. Proyek yang dimaksud adalah lelang pekerjaan rehabilitasi saluran air hujan di Jalan Supomo, Yogyakarta, dengan anggaran Rp 10,89 miliar.
Kedua jaksa yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Eka Safitra, jaksa di Kejaksaan Negeri Yogyakarta sekaligus anggota Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah, dan Pembangunan Daerah (TP4D, serta Satriawan Sulaksono, jaksa di Kejaksaan Negeri Surakarta.
Sebelum kejadian itu, akhir Juni 2019, KPK juga menangkap dua jaksa di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Keduanya diduga menerima suap 28.000 dollar Singapura dan 700 dollar AS terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Kejaksaan kemudian mencopot kedua jaksa itu dari jabatannya di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengapresiasi kinerja kejaksaan yang berhasil membuat terpidana korupsi mengganti kerugian negara akibat perilaku korupsinya.
Jaksa eksekutor, menurut dia, telah menjalankan peran secara optimal dengan memaksa terpidana korupsi tak hanya menjalani pidana penjara, tetapi juga mengembalikan uang negara yang dirampas.
Kendati demikian, lanjutnya, Jaksa Agung diminta tidak terlalu berpuas diri. Sebab, kasus Kokos merupakan kelanjutan dari kasus lama yang ditangani oleh Jaksa Agung sebelumnya. Ia berharap, pengungkapan kasus korupsi yang disertai dengan perampasan aset untuk mengembalikan kerugian negara tak berhenti di kasus ini saja.
”Seharusnya ini dilakukan sejak dulu. Kalau mereka (koruptor) tidak bayar, jaksa tinggal mendata aset-asetnya, lalu aset itu dieksekusi,” katanya.