Menggapai Angan Kesehatan Semesta
Cakupan kesehatan semesta menjadi komitmen bersama agar seluruh masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu. Pelayanan itu pun diharapkan tidak memberikan beban finansial bagi masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Cakupan kesehatan semesta menjadi komitmen bersama agar seluruh masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu. Pelayanan itu pun diharapkan tidak memberikan beban finansial bagi masyarakat.
Namun, berbagai tantangan untuk mencapai kesehatan semesta masih ditemui. Salah satu yang utama adalah minimnya kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Peserta program JKN-KIS per 31 Oktober 2019 tercatat 222.278.708 jiwa. Artinya, masih ada sekitar 16,18 persen atau 40 juta orang yang belum terdaftar sebagai peserta.
Sementara itu, pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, cakupan peserta JKN pada 2019 ditargetkan sebesar 95 persen. Target ini pun kembali diundur melalui RPJMN 2020-2024 menjadi tahun 2024.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fachmi Idris saat berkunjung ke redaksi harian Kompas, Selasa (12/11/2019), menuturkan, selain karena populasi yang besar dan wilayah geografis yang luas, kurangnya kesadaran masyarakat dalam membangun proteksi kesehatan diri menjadi tantangan dalam mencapai jumlah kepesertaan yang optimal.
Baca juga: Pemda Diminta Aktif Bangun Kesadaran Kesehatan Warga
Kemampuan untuk membayar iuran yang masih terbatas juga tantangan lain yang dihadapi. ”Ada tiga hal yang selalu kami kampanyekan untuk mendorong tercapainya cakupan kesehatan semesta, yakni protection, sharing, dan complient. Jadi masyarakat harus lebih sadar akan pentingnya proteksi finansial pada saat sakit, kemudian memiliki keinginan untuk membantu orang lain dengan sistem gotong royong dalam pembayaran iuran, serta kepatuhan dalam membayar iuran tepat waktu,” katanya.
Terkait jumlah kepesertaan yang belum tercapai, hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atas Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan tahun 2018 menunjukkan, masih ada 50.475 badan usaha yang belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Sebanyak 52.810 karyawan belum dilaporkan pemberi kerja sehingga masih ada potensi tambahan penerimaan.
Selain itu, masih ada 27,4 juta data peserta penerima bantuan iuran (PBI) bermasalah yang seharusnya bisa dioptimalkan untuk peserta lain yang lebih membutuhkan. Masalah ini mutlak diselesaikan sebagai syarat penyesuaian iuran peserta JKN-KIS yang akan diputuskan pemerintah.
Lihat juga: Tak Semua Merestui Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Menanggapi hal itu, Fachmi menjelaskan, data peserta yang bermasalah sudah selesai dilakukan pembersihan data (data cleansing) dan tinggal menunggu tindak lanjut dari regulator. Sementara data 50.000 badan usaha yang belum bekerja sama, ia menilai data itu kurang tepat.
Pasalnya, dari jumlah badan usaha tersebut, 25.000 di antaranya kini sudah bekerja sama. Sementara 25.000 badan usaha sisanya, 15.000 badan usaha sudah tutup dan 5.000 badan usaha sudah terdaftar sebagai UMKM. ”Tinggal 5.000 badan usaha yang harus kita kejar. Kini sudah proses dalam pendaftaran. November ini ditargetkan selesai prosesnya,” ujarnya.
Layanan komprehensif
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyampaikan, capaian kesehatan semesta harus dimaknai secara komprehensif bukan sekadar capaian kepesertaan saja. Ada tiga aspek cakupan kesehatan semesta yang diterjemahkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni kepesertaan, ketersediaan fasilitas dan pelayanan kesehatan, serta pembiayaan yang berjalan lancar. Terkait dengan kepesertaan, misalnya, target capaian akan semakin sulit diraih dengan adanya kenaikan iuran peserta.
Selain itu, tugas BPJS Kesehatan untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran dari peserta juga cukup berat. Menurut hitungan Timboel, masih ada 20 juta peserta JKN-KIS nonaktif. Artinya, peserta yang membayar secara lancar sekitar 202 juta peserta.
”Jadi, memang target menjadikan 32 juta yang belum ikut dan 20 juta yang menunggak iuran menjadi peserta pada akhir 2019 adalah sangat sulit. Kuncinya yang harus dilakukan ada dua, yaitu layanan yang berkualitas dan law enforcement (penegakan hukum),” katanya.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni menambahkan, pemerataan layanan bagi seluruh masyarakat serta pelayanan yang berkualitas juga menjadi aspek yang harus dicapai dalam cakupan kesehatan semesta.
”Keberlanjutan program JKN-KIS ini harus dipastikan. Untuk itu diperlukan perbaikan sistemik pada semua faktor, mulai dari bidang kelembagaan, harmonisasi regulasi, serta peningkatan mutu pelayanan, termasuk pencegahan fraud (kecurangan). Tidak hanya itu, hal lain yang juga harus dipastikan adalah penyediaan sarana, termasuk peningkatan mutu tenaga kesehatan, optimalisasi penerimaan, edukasi publik, dan penegakan hukum,” tuturnya.
Perbaikan secara menyuluruh ini semakin mendesak setelah adanya keputusan pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional.
Dalam aturan itu diputuskan adanya penyesuaian besaran iuran bagi semua segmen peserta JKN-KIS. Besaran penyesuaian iuran yang paling disorot adalah besaran kenaikan iuran pada peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) dari sebelumnya Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
”Kenaikan iuran ini harus diiringi dengan meningkatnya pelayanan pada peserta. Jadi, peningkatan kualitas pelayanan tersebut juga harus dirasakan langsung oleh peserta,” kata Choesni.
Kenaikan iuran ini harus diiringi dengan meningkatnya pelayanan pada peserta. Jadi, peningkatan kualitas pelayanan tersebut juga harus dirasakan langsung oleh peserta
Pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang selama ini dikeluhkan oleh peserta dalam mengakses program JKN-KIS. Hal itu seperti perbaikan pelayanan di rumah sakit, meniadakan diskriminasi dan penolakan pada peserta dengan berbagai alasan, serta memperpendek antrean dalam pelayanan dan pendaftaran.
Selain itu, perbaikan lainnya pada saat pendaftaran peserta, pembayaran iuran, pembayaran klaim, keterbukaan informasi, serta perbaikan pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Fungsi FKTP, terutama puskesmas dalam menjalankan fungsi promotif dan preventif, perlu dikembalikan seperti semula. Saat ini, puskesmas lebih banyak mengurusi perosalan kuratif sehingga kedua fungsi itu tidak dijalankan secara optimal.
Penguatan layanan
Secara terpisah, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyampaikan, salah satu langkah yang akan dilakukan dalam upaya optimalisasi pelayanan kesehatan dalam era JKN adalah dengan menjalankan pelayanan kesehatan yang testandardisasi. Ke depan, akreditasi tidak hanya akan diberlakukan untuk rumah sakit, melainkan juga puskesmas. Pencapaian pelaksanaan upaya promotif dan preventif akan menjadi indikator yang dinilai dalam akreditasi tersebut.
Fasilitas pelayanan kesehatan juga menjadi fokus dalam perbaikan sistem pelayanan kesehatan. Hal ini termasuk dalam pemenuhan layanan kesehatan yang merata bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pemenuhan puskesmas modern di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan akan semakin ditingkatkan. Saat ini ada 270 puskesmas modern yang tersebar di 98 kabupaten ataupun kota yang berada di daerah perbatasan dan tertinggal.
Selain itu, pembangunan rumah sakit vertikal di wilayah Indonesia Timur akan ditambah. Kini setidaknya ada tiga rumah sakit vertikal yang sudah dibangun, yakni di Kelurahan Rumah Tiga, Ambon; Kelurahan Manulai, Kota Kupang; dan Desa Musaima, Jayawijaya, Papua.
”Pemerataan tenaga kesehatan memang belum maksimal, tetapi kami terus upayakan lewat banyak cara, seperti Nusantara Sehat, Pendayagunaan Dokter Spesialis, dan Penugasan Khusus Residen di Rumah Sakit kelas C dan kelas D yang membutuhkan tenaga kesehatan khusus,” kata Terawan.