Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat telah memberikan manfaat bagi sebagian besar masyarakat. Keberlanjutan program nasional ini juga sangat tergantung peningkatan kualitas layanan bagi peserta.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat telah memberikan manfaat bagi sebagian besar masyarakat. Sekitar 222 juta masyarakat telah terdaftar sebagai peserta. Namun, keberlanjutan program nasional ini tidak hanya diukur dari besarnya jumlah kepesertaan, tetapi juga akses layanan kesehatan yang berkualitas bagi semua masyarakat.
”Pusat pelayanan kesehatan, seperti puskesmas, mungkin sudah tersebar di seluruh Indonesia. Namun, belum tentu tersedia sarana dan prasarana serta tenaga kesehatan, termasuk dokter yang mumpuni. Untuk itu, menilai layanan kesehatan dengan cakupan kesehatan semesta harus dilihat secara menyeluruh,” ujar Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Moh Adib Khumaidi saat dihubungi di Jakarta, Kamis (14/11/2019).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, rasio dokter di Indonesia sudah melebihi target. Kini ada 50,2 dokter per 100.000 penduduk, sementara target yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 45 dokter per 100.000 penduduk.
Jumlah ketersediaan dokter spesialis juga sudah mencukupi, yakni dengan rasio 12,7 per 100.000 penduduk dari target 12,2 per 100.000 penduduk. Namun, kini baru 11 provinsi dengan rasio dokter spesialis yang ideal.
Menurut Adib, maladistribusi dokter atau distribusi dokter yang tidak merata menjadi persoalan yang dihadapi. Pemerintah diharapkan memiliki regulasi yang kuat untuk mengatur distribusi tenaga dokter melalui program yang berkelanjutan, bukan sekadar program yang sifatnya temporer.
“Pemerintah perlu menganggap kebutuhan tenaga dokter sebagai investasi. Jadi setiap daerah yang masih kekurangan tenaga dokter memiliki anggaran khusus untuk pendidikan dokter di daerahnya. Untuk itu, pemetaan terkait kebutuhan dokter secara spesifik di setiap kabupaten/ kota sangat dibutuhkan,” ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menuturkan, disparitas ketersediaan tenaga dokter, terutama dokter spesialis di pusat pelayanan kesehatan, untuk sementara diatasi dengan program pendayagunaan dokter spesialis. Aturan ini tertulis dalam Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2019 yang dikeluarkan setelah aturan terkait program Wajib Kerja Dokter Spesialis dibatalkan Mahkamah Agung.
”Nanti dokter spesialis yang baru lulus secara sukarela akan dikirimkan ke daerah-daerah yang membutuhkan tenaga dokter spesialis. Pemerintah tentu akan memberikan insentif yang menarik disertai dengan jaminan keamanan dan kesejahteraan,” katanya.
Rumah sakit
Selain tenaga kesehatan, layanan kesehatan lain yang perlu diperbaiki adalah ketersediaan rumah sakit yang belum merata di seluruh Indonesia. Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daniel Budi Wibowo mengatakan, penataan kemampuan dan kompetensi rumah sakit dalam mendukung sistem rujukan di suatu wilayah masih menjadi tantangan dalam pelaksanaan program JKN.
Maladistribusi dokter atau distribusi dokter yang tidak merata menjadi persoalan yang dihadapi. Pemerintah diharapkan memiliki regulasi yang kuat untuk mengatur distribusi tenaga dokter melalui program yang berkelanjutan.
”Sistem rujukan yang belum berjalan optimal dipengaruhi beberapa faktor, yakni penempatan fasilitas kesehatan (rumah sakit), SDM kesehatan yang belum merata, serta belum tersedianya sarana-prasarana, alat kesehatan, dan obat-obatan yang berkualitas dengan harga murah di seluruh wilayah,” ujarnya.
Dalam rangka mendukung keberlanjutan program JKN, Daniel menambahkan, rumah sakit berkomitmen meningkatkan mutu pelayanan pasien. Upaya ini dilakukan melalui beberapa hal, seperti transparansi ketersediaan tempat tidur rawat inap, kepastian antrean pasien rawat jalan dengan pemberian nomor antrean, pemberitahuan perkiraan waktu tunggu operasi atau tindakan lain, serta pemberian prioritas pada pasien gawat darurat.
Ia pun berharap, melalui perbaikan sistem pengelolaan program JKN-KIS, pembayaran klaim rumah sakit kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bisa lebih baik. Dengan begitu, pengembangan layanan kesehatan bisa lebih ditingkatkan karena arus kas rumah sakit lebih lancar.
Menanggapi hal itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menuturkan, pembayaran klaim rumah sakit diupayakan lebih baik setelah rasionalisasi iuran peserta JKN-KIS diterapkan. Saat ini, utang jatuh tempo BPJS Kesehatan kepada mitra rumah sakit atas klaim yang diajukan mencapai Rp 21,1 triliun.
”Setelah ada penyesuaian iuran, kami akan mendapatkan pemasukan tambahan. Dari iuran PBI (penerima bantuan iuran) APBN dan besaran iuran dari segmen PPU PN (pekerja penerima upah-penyelenggara negara) dan selisih PBI APBD mulai Agustus-Desember 2019 akan terkumpul sekitar Rp 14 triliun. Dari dana ini akan langsung kami bayarkan kepada rumah sakit sesuai dengan lama klaim yang diajukan terlebih dahulu,” katanya.
Pembenahan lain yang akan terus dikembangkan oleh BPJS Kesehatan antara lain sistem rujukan online, sistem pelayanan informasi dan penanganan pengaduan (PIPP) di rumah sakit, serta meningkatkan kepuasan peserta terhadap pelayanan kesehatan. Kemudahan dalam pembayaran iuran juga dilakukan dengan membuka berbagai media pembayaran yang tersedia.
”Cakupan kesehatan semesta juga akan semakin optimal apabila masyarakat serta badan usaha secara sadar dan patuh segera mendaftarkan diri menjadi peserta JKN-KIS. Masyarakat diharapkan dapat berkomitmen untuk mendaftarkan diri, berkontribusi membayar iuran rutin, serta memelihara dan menjaga kesehatan bersama,” kata Fachmi.