Interaksi Antarumat Beragama Jadi Penangkal Radikalisme
Kesadaran untuk hidup berdampingan dan harmonis harus terus dibangun. Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila menjadi kunci kerukunan antarumat beragama.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
KOMPAS/DHANANG DAVID ARITONANG
Sekjen Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Uskup Antonius Subianto Bunjamin menyampaikan pidato dalam Kongres Pertama Vox Point Indonesia, di Jakarta, Jumat (15/11/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Berkembangnya paham radikalisme bisa ditangkal dengan memperkuat persatuan dan kerukunan antarumat beragama. Saat ini, minimnya dialog dan interaksi menjadi salah satu faktor penyebab merebaknya paham radikalisme yang berujung pada aksi terorisme.
Sekjen Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Uskup Antonius Subianto Bunjamin mengatakan, pada 4 Februari 2019, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Dr Ahmed at-Tayyeb telah menandatangani Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Berdampingan.
Dokumen ini bisa menjadi salah satu dasar hidup berdampingan di tengah tantangan ekstremisme yang berkembang di masyarakat.
”Dokumen ini seharusnya juga bisa menjawab tantangan bangsa di tengah semakin berkembangnya ekstremisme yang berujung dengan aksi teroris,” ujarnya dalam Kongres Pertama Vox Point Indonesia, di Jakarta, Jumat (15/11/2019).
Aksi teroris terbaru menyasar polisi di Kantor Polrestabes Medan, Rabu (13/11/2019). RMN (24), pemuda yang melakukan bom bunuh diri diduga terpapar pandangan radikal dari istrinya.
Petugas membawa kardus saat keluar dari gang rumah terduga jaringan bom bunuh diri Polrestabes Medan di Kelurahan Belawan I, Medan Belawan, Kamis (14/11/2019). Pada Rabu (13/11/2019) RMN meledakkan diri di Markas Polrestabes Medan.
Menurut dia, aksi teroris seperti di Polrestabes Medan itu bisa disebabkan karena lemahnya pemahaman pada ideologi berbangsa dan bernegara. ”Lemahnya pemahaman ideologi berbangsa dan bernegara itu berkorelasi dengan persoalan sosial, ekonomi, serta kebencian terhadap pihak-pihak yang menghalangi penyebaran ideologi tersebut,” tambahnya.
Selain itu, lemahnya interaksi antarmasyarakat menjadi salah satu penyebab berkembangnya paham radikalisme. Oleh karena itu, umat beragama perlu keluar dari zona nyaman untuk terjun langsung memperkokoh persatuan di tengah masyarakat.
”Kesadaran untuk hidup berdampingan dan harmonis harus terus dibangun. Umat beragama harus bisa menyebarkan cinta kasih dan kebaikan serta menghormati HAM,” ujarnya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang hadir dalam acara itu pun mengatakan, umat beragama bisa hidup berdampingan selama terbangun interaksi sosial yang intens di tengah masyarakat. Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila menjadi kunci kerukunan antarumat beragama tersebut.
KOMPAS/DHANANG DAVID ARITONANG
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan
”Umat Muslim dan umat Katolik bisa hidup bertetangga secara rukun asalkan di antara mereka ada dialog serta interaksi yang membangun persatuan,” katanya.
Menurut Anies, saat ini media sosial bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, media sosial bisa menjadi alat untuk menyebar kebencian, di sisi lain media sosial pun bisa digunakan untuk menyebar perdamaian.
”Bhinneka Tunggal Ika itu memiliki makna kalau persatuan itu bisa diusahakan meski kita dilahirkan berbeda-beda suku dan agama,” katanya.
Ketua Vox Point Indonesia Yohanes Handojo Budhisedjati
Ketua Vox Point Indonesia Yohanes Handojo Budhisedjati menyampaikan, perbedaan suku, agama, dan ras bisa dipersatukan dengan cara yang lembut. Namun, jika ada perbedaan ideologi yang menimbulkan aksi terorisme, hal tersebut harus ditindak secara tegas.
”Negara harus hadir untuk menindak secara tegas segala aksi terorisme yang berkembang akhir-akhir ini. Perlu pula ada komitmen penyelenggara negara untuk menjaga nilai-nilai kebinekaan tanpa kompromi,” katanya.