Tarik Ulur Kebijakan Jalan Berbayar Elektronik
Jalan berbayar elektronik (ERP) menjadi salah satu solusi mengatasi kemacetan Ibu Kota. Prinsip ERP, mirip kebijakan ganjil genap. Intinya membatasi kendaraan bermotor yang melintas di sejumlah jalan protokol.
Jalan berbayar elektronik atau dalam istilah bahasa Inggris electronic road pricing (ERP) menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kemacetan Ibu Kota. Sistem ini menjadi salah satu pilihan selain sistem ganjil genap dan pajak progresif.
Prinsip sistem ERP ini mirip dengan kebijakan ganjil genap yang sudah berlangsung sekitar 1,5 tahun ini di Ibu Kota. Intinya membatasi kendaraan bermotor yang melintas di sejumlah jalan protokol. Bedanya, pembatasan menggunakan alat elektronik yang secara otomatis akan mengenakan sejumlah tarif pada kendaraan yang lewat.
Pembayaran tarif bisa lewat kartu yang sudah diisi sejumlah saldo uang atau jika saldo habis, akan menerima tagihan yang dikirim ke alamat pemilik kendaraan. Setiap kendaraan bermotor pun wajib memasang alat pemantau. Penerapan sistem ini menuai pro dan kontra hingga akhirnya belum dapat diterapkan dan posisinya digantikan oleh Kebijakan Ganjil Genap Nomor Polisi Kendaraan.
Sempat ada persepsi bahwa yang bisa melewati kawasan berbayar adalah masyarakat kelas atas.
Penelusuran dari pemberitaan Kompas, sistem ERP pertama kali muncul pada Agustus 2004. Kala itu ERP merupakan usulan Bambang Susantono, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Usulan itu ditindaklanjuti Pemprov DKI dengan mengkaji sistem pembatasan kendaraan tersebut bersama Dinas Perhubungan DKI dan Kepolisian Polda Metro Jaya. Menurut rencana, pembatasan kendaraan dimulai dari koridor satu bus transjakarta (Blok M-Kota).
Namun belum jelas bagaimana realisasinya, pada Maret 2005, sistem ERP dikaitkan dengan kompensasi pembangunan monorel yang saat itu juga akan dibangun sebagai angkutan massal setelah bus transjakarta. Mengutip pemberitaan 26/03/2005, jika monorel sudah beroperasi pada 2007, tiap pengguna kendaraan yang melintasi jalan-jalan yang dilalui koridor monorel (Jalan Asia Afrika, Sudirman, HR Rasuna Said, dan Gatot Subroto) akan dikenai pungutan Rp 5.000. Pungutan itu bagian dari program ERP untuk menyukseskan proyek monorel di Jakarta.
Rupanya ERP masih wacana. Hingga masa pemerintahan Gubernur Sutiyoso berakhir pada Oktober 2007, ERP belum diberlakukan. Sempat ada nada sumbang bahwa pemberlakuan ERP berpihak kepada orang kaya karena ada persepsi bahwa yang bisa melewati kawasan berbayar adalah masyarakat kelas atas yang sanggup membayar tarif ERP.
Padahal di sisi lain, hasil pengumpulan dana dari ERP bisa digunakan untuk membantu operasional angkutan umum atau untuk kesehatan ataupun pendidikan. Hambatan lainnya, saat itu angkutan umum di Jakarta belum memadai. Hingga 2007, baru tujuh koridor transjakarta yang beroperasi. Adapun kualitas angkutan umum lainnya belum memadai.
Kajian ERP
Sistem ERP dilanjutkan Gubernur Fauzi Bowo (2007- 2012). Rencana ERP mulai dimatangkan dengan kajian dan berbagai seminar. Pada akhir 2007, disebutkan dalam pemberitaan Kompas, pembatasan kendaraan paling cepat diterapkan akhir 2008 sambil menunggu keberadaan bus transjakarta hingga 10 koridor. Namun pada Februari 2008, rencana diundur hingga 2009.
Pada saat bersamaan, Pemerintah DKI mendapat penawaran teknologi dari sejumlah negara. Salah satunya dari Q-Free asal Norwegia yang berpengalaman menjalankan sistem ERP di Stockholm, Swedia.
Baru pada Agustus 2010 kajian tersebut selesai. Hasilnya, jika ERP diterapkan, akan menghemat BBM sekitar Rp 6,6 triliun karena akan ada penurunan jumlah kendaraan pribadi dan perubahan kecepatan kendaraan. Namun, tanpa pemikiran matang, pemberlakuan ERP dapat mengakibatkan ledakan jumlah sepeda motor di Jakarta. Selain itu, dibutuhkan anggaran Rp 1,2 triliun untuk penyediaan peralatan ERP berteknologi tinggi.
Kajian selesai bukan berarti ERP siap diterapkan di Jakarta. Pada April 2011, disebutkan ERP belum bisa terwujud hingga akhir 2011. Alasannya, pemerintah pusat belum menyelesaikan peraturan pemerintah (PP) yang mengatur ERP.
Pada 21 Juni 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani peraturan pemerintah mengenai Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas. Sistem ERP juga sudah sesuai Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2011-2030. Namun, masih dibutuhkan aturan dari Kementerian Keuangan yang mengatur apakah ERP masuk ke pajak atau retribusi, pengadaan alat, tarif, tender, dan lainnya.
Setelah aturan komplet, menurut rencana, ERP akan diterapkan secara bertahap di beberapa ruas jalan mulai 2012. Namun, lagi-lagi hingga akhir 2012, sistem ERP belum juga terwujud. Padahal, ERP sudah masuk dalam solusi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) mengenai ”17 Langkah Mengatasi Kemacetan Jakarta”.
Pada Februari 2013, ERP kembali dikaji mengenai kesiapan sistem dan alat. Awal 2014, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya menyinkronkan data kendaraan terkait pemberkasan elektronik (electronic registration identification).
Baru setelah itu, pemerintah mengadakan lelang sistem teknologi yang akan digunakan. Menurut rencana, setelah ditemukan pemenang lelang, akan diuji coba Juli 2014. Namun nyatanya, hingga April 2016, Pemda DKI belum melakukan proses lelang ke swasta. Pemda malah berencana mengambil alih program jalan berbayar tersebut.
Uji coba
Meski pelaksanaan tender berkali-kali dibatalkan, kemajuan sudah mulai terlihat. Pada masa pemerintahan Gubernur Joko Widodo, tercatat tiga negara, yakni Norwegia, Swedia, dan Rusia, pernah menawarkan teknologi ERP. Teknologi ERP tersebut pernah diuji coba di ruas jalan berbeda.
Pada Juli 2014, uji coba kerja sama antara BUMD, Alita (Infocomm Network Solution) dan PT Toba Sejahtera dilakukan di Jalan Sudirman-Thamrin. Uji coba selanjutnya di Jalan Rasuna Said pada September 2014. Uji coba kedua itu dijalankan Perusahaan Norwegia, Q-Free, bekerja sama dengan IBM Indonesia.
Pemda DKI Juga mulai menjalankan proses lelang pada 29 Juli 2016. Pengumuman pemenang tender akan ditentukan pada September atau Oktober 2017. Namun, dalam perjalanannya, mekanisme lelang dipersoalkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Alasannya, klausul tentang jenis teknologi yang akan dipakai di program jalan berbayar elektronik dalam Pasal 8 Ayat 1 Huruf c, Pergub DKI No 149 Tahun 2016 dinilai berpotensi melanggar aturan tentang persaingan usaha. Klausul itu dinilai membatasi peluang penggunaan jenis teknologi lain.
Peraturan tersebut menutup peluang bagi jenis teknologi lain serta mempersempit ruang persaingan tender. Alasannya, hanya teknologi komunikasi jarak pendek (dedicated short range communication/DSRC) frekuensi 5,8 gigahertz (GHz) yang akan digunakan pada program ERP DKI Jakarta.
Padahal, ada teknologi lain yang bisa digunakan untuk ERP, seperti radio frequency identification dan global positioning system. Akhirnya Januari 2017, Pemda DKI menghapus ketentuan dalam pasal 8 ayat 1 huruf c tersebut.
Februari 2018, lelang dibuka untuk proyek ERP fase kedua yang diikuti 57 perusahaan. Dalam tahap prakualifikasi Oktober 2018, muncul tiga nama perusahaan yang lolos, yakni Bali Towerindo Sentra, Kapsch dan Q-Free.
Akhir tahun 2018, diharapkan muncul nama pemenang lelang investasi ERP sehingga pada pertengahan 2019, saat kereta MRT beroperasi, ERP siap diterapkan, paling tidak dari Bulungan di Blok M hingga Bundaran Hotel Indonesia.
Sesuai Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi Tahun 2018-2029, ERP akan dilaksanakan mulai 2019. Kebijakan itu merupakan kelanjutan dari ganjil-genap.
Menurut rencana, ERP akan diterapkan di 3 ring. Ring 1 Sudirman-Thamrin, Ring 2 di luar Sudirman-Thamrin, seperti Jalan Rasuna Said dan Jalan Gatot Subroto. Ring 3 di jalan nasional atau jalan provinsi di luar DKI Jakarta, misalnya di Jalan Margonda Raya Depok, Jalan Raya Bekasi, dan Jalan Kalideres ke arah Tangerang.
Namun Agustus 2018, Kejaksaan Agung meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melelang ulang proyek jalan berbayar elektronik. Pasalnya, proses lelang ERP tidak dijalankan dengan disiplin yang bisa menyebabkan hasil lelang dituntut oleh peserta lelang.
Akhirnya, pemda mengkaji kembali sistem ERP sekaligus melengkapi dokumen pendukungnya. Kajian itu diharapkan selesai pada triwulan 1-2020 dan bisa dilanjutkan dengan proses lelang kembali. Harapannya, tahun 2021 bisa diterapkan sembari menunggu jaringan transportasi umum bisa menjangkau 80 persen wilayah DKI. ( Litbang Kompas)