Siklus Vendetta Monster Hidra
Dalam serangan teror, dua hal yang senantiasa dinamis adalah tipologi target serangan dan strategi/taktik. Keduanya dipengaruhi dinamika doktrin dan pembenaran (legitimasi) yang berkembang dalam jejaring kelompok teror

Petugas berjaga di pintu masuk Polrestabes Medan pascabom bunuh diri yang terjadi di kantor polisi itu, Rabu, (13/11/2019) pagi. Sore hari pelayanan sudah berjalan seperti biasa.
Jika benar ledakan bom rakitan di Markas Polrestabes Medan, Sumatra Utara, Rabu (13/11) merupakan serangan teror yang menyasar polisi, ini berarti sudah sembilan tahun polisi menjadi target serangan teror di Indonesia. Latar belakang tren tersebut mencakup baik faktor lokal maupun global.
Dalam serangan teror, dua hal yang senantiasa dinamis adalah tipologi target serangan dan strategi/taktik. Keduanya dipengaruhi dinamika doktrin dan pembenaran (legitimasi) yang berkembang dalam jejaring kelompok teror. Jika membeber catatan sejarah, berbagai serangan terhadap polisi selama hampir satu dekade ini merupakan tren yang seolah kembali ke “identitas awal” tipe target teror di Indonesia, yakni menyasar musuh dekat atau near enemy.
Polisi mulai konsisten ditarget setidaknya sejak 2010, yakni setelah polisi antiteror membongkar kamp pelatihan militer kelompok teror di pegunungan Jalin di Aceh Besar. Setelah penggerebekan pada bulan Februari di Aceh tersebut, 15 Maret 2010 Briptu Yona Anton tewas ditembak di kantor Polsek Prembun, Kebumen, Jawa Tengah. Pelakunya adalah kelompok teror Yuli Harsono, yang membalas dendam pada polisi atas penggrebekan kamp di Aceh tersebut.
Setelah peristiwa itu, Selama 2010 saja sudah terjadi beberapa peristiwa serangan lainnya yang menyasar polisi (lihat tabel). Nuansa motivasi pembalasan dendam terhadap polisi cukup kental dalam berbagai serangan teror sejak 2010 tersebut.
Sepuluh tahun lalu, harian Kompas pun pernah menurunkan artikel berjudul "Bayang-bayang Siklus Vendetta" pada 28 September 2009, yang mengisyaratkan kemungkinan terjadinya aksi-aksi balas dendam oleh kelompok teror yang gencar dihabisi polisi.

Sebelum munculnya tren aksi teror yang menarget polisi, dalam rentang waktu antara 2002 - 2010, serangan teror di Indonesia fokus menyasar musuh jauh (far enemy). Segala obyek yang terkait dengan Amerika Serikat dan sekutunya menjadi sasaran utama. Target serangan tersebut mengikuti seruan Al Qaeda, kelompok teror global kala itu yang memusuhi Barat.
Padahal, jika lebih mundur ke belakang, kelompok teror lokal di Indonesia sebenarnya memang memprioritaskan musuh dekat sebagai sasaran serangan teror. Bukan musuh jauh. Sebelum berkolaborasi dengan Al Qaeda, kelompok organisasi teror regional yang pernah bercokol di Indonesia yakni, Jemaah Islamiyah (JI) awalnya berorientasi “jihad” melawan musuh dekat, yakni pemerintah Indonesia yang dianggap murtad.
Representasi musuh dekat selain negara adalah juga pihak/simbol yang dianggap kafir seperti gereja. Tahun 2000 misalnya, bom juga pernah meledak di Medan, yakni menyasar Gereja Kristen Protestan Indonesia di Padangbulan. Disebut-sebut, itulah proyek serangan bom yang didalangi JI pertama kali di Indonesia.
JI sendiri merupakan organisasi yang juga melibatkan para bekas aktivis Darul Islam (DI), seperti Abdullah Sungkar, salah satu pendirinya. Serangkaian pengiriman kader DI ke Afghanistan di tahun 1980an bertujuan untuk sekadar berlatih berjihad sehingga keahlian yang diperoleh suatu saat dapat digunakan untuk menggulingkan rezim Orde Baru, yang dianggap menjalankan pemerintahan sekuler dan tidak menegakkan syariat Islam.
Ketika kemudian JI terbentuk tahun 1993, para anggotanya yang berasal dari DI belum terpikir untuk memusuhi Barat. Sejarah tersebut bisa disimak dalam buku “NII sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia” karya Solahudin.
Baru setelah berjejaring dengan Al Qaeda, JI mengubah target musuhnya menjadi musuh jauh, yang ditandai dengan serangkaian proyek serangan teror mulai dari Bom Bali 2002 hingga bom di hotel The Ritz Carlton dan Marriott di Jakarta, 2009. Serangan-serangan tersebut menyasar orang asing dan simbol-simbol Barat.
Perubahan jenis target, entah itu musuh jauh atau musuh dekat, tidak terlepas dari dinamika doktrin yang berkembang di dalam kelompok teror. Tak jarang perubahan doktrin soal musuh ini juga memancing perdebatan alot di dalam kelompok teror.
Seperti di JI dahulu, sebagian anggotanya sepakat mengikuti fatwa yang dikeluarkan Osama bin Laden tahun 1998 untuk memusuhi Barat, sementara sebagian lagi bersikukuh tetap menarget musuh dekat, yakni pemerintah yang murtad serta kaum kafir yang memerangi kaum muslim.
Tokoh ekstremis yang pemikirannya juga sejak lama telah mempengaruhi jejaring teror di Indonesia untuk memprioritaskan musuh dekat adalah Muhammad Abdul Al Salam Faraj asal Mesir. Ia pernah memimpin Tanzim al Jihad cabang Kairo, kelompok yang membunuh Presiden Mesir Anwar Sadat.
Faraj menegaskan, lahan "jihad" pertama kaum muslim adalah penggulingan para pemimpin yang "murtad" dan mengganti mereka dengan kepemimpinan Islam yang paripurna. Oleh karena itu, menurut Faraj, memerangi musuh yang dekat (near enemy) lebih penting ketimbang musuh yang jauh (far enemy) seperti AS dan negara-negara Barat lainnya. Musuh dekat, menurut Faraj, adalah penghalang utama tegaknya hukum Islam.
Doktrin "thaghut"
Dinamika doktrin soal penentuan musuh dalam kelompok teror dipengaruhi oleh perkembangan situasi lokal dan global. Serangan terus menerus terhadap polisi selama sembilan tahun terakhir ini tak terlepas dari keluarnya doktrin thaghut untuk melegitimasi suatu pihak sah sebagai musuh.
Sejak kisaran 2010, tokoh-tokoh dalam jejaring teror di Indonesia mengeluarkan seruan yang melabeli pemerintahan dan polisi sebagai thaghut atau setan sehingga sah untuk diserang. Doktrin ini terutama menekankan label thaghut pada polisi antiteror (Densus 88 Antiteror) yang gencar menangkapi mati dan hidup anggota kelompok teror.
Selain itu, kondisi ekosistem gerakan teror global juga turut berpengaruh dalam penentuan target musuh. Menguatnya pelabelan thaghut terhadap pemerintah lokal (musuh dekat) terjadi seiring dengan melemahnya organisasi JI dan Al Qaeda, apalagi setelah kematian Osama bin Laden (2011). Konsep yang diusung Al Qaeda bahwa Barat adalah musuh lantas meredup.
Sementara, ketika memasuki era ISIS, yang mengobarkan insurgensi global, seruan untuk menyerang pemerintahan lokal yang dianggap murtad kian bergelora. Tudingan "murtad" tersebut karena pemerintah tidak menegakkan hukum syariat.
Seruan ISIS tersebut tentu saja membangunkan kembali doktrin lama yang secara "organik" sudah bersemayam dalam tubuh jejaring teror di Indonesia bahwa pemerintah berikut aparatnya yang tidak menegakkan syariat adalah musuh utama. Dengan demikian, pemerintah dan aparatnya adalah thaghut.
Di Indonesia, doktrin thaghut sempat dikobarkan tokoh-tokoh yang menjadi panutan kelompok ekstrem seperti Abu Bakar Ba’asyir dan Aman Abdurrahman. Ba’asyir misalnya menyatakan doktrin tersebut dalam bukunya seperti “Surat Kepada Penguasa” (2008), "Demokrasi adalah Bisikan Setan”, “Seruan Tauhid di Bawah Ancaman Mati” (2011), dan “Buku II Tadzkiroh” (2012).
Dalam buku “Seruan Tauhid di Bawah Ancaman Mati” misalnya, tertulis: “… maka semua pejabat yang mengatur negara NKRI adalah thaghut selama mereka menolak mengatur negara dengan hukum Allah.”
Ba’asyir menyimpulkan, siapapun yang membela, mendukung, serta mempertahankan demokrasi (yang dianggap agama) adalah tergolong thaghut. Dengan demikian, seluruh aparat penyangga demokrasi, termasuk polisi, adalah thaghut.
Pemahaman tentang konsep thaghut tersebut juga merujuk pada pemikiran tokoh garis keras asal Yordania, Abu Muhammad Al Maqdisi yang juga menjadi panutan jejaring teror dan kelompok ekstrem di Indonesia. Tulisan Al Maqdisi sempat diterjemahkan oleh Aman Abdurrahman dalam tulisannya berjudul “Agama Demokrasi Menghantam Islam”.
Sebagian kutipannya misalnya: “thaghut adalah setan berbentuk manusia yang mana manusia merujuk hukum kepadanya, sedangkan dia adalah yang memegang kendali mereka. Penyederhanaan ini mendapat penguatan dari perkataan Ibnu Taimiyyah bahwa orang yang memutuskan hukum dengan selain kitabullah (hukum islam) menjadi rujukan hukum, maka orang tersebut dinamakan thaghut”.
Doktrin thaghut ini tak lain bentuk dari yang disebut cendekiawan Mark Juergensmeyer sebagai demonization atau mempersetankan pihak lain dalam rangka menciptakan musuh. Seperti dalam buku karyanya “Terror in The Mind of God: The Global Rises of Religious Violence” (2003), Juergensmeyer menerangkan, sebuah pertempuran atau perang tak akan niscaya tanpa terbentuknya musuh sehingga tercipta pula pahlawan-pahlawan. Dalam fenomena terorisme yang membajak paham agama, musuh harus diciptakan jika mereka belum ada atau tidak ada.
Juergensmeyer menambahkan, mempersetankan pihak lain dalam rangka menciptakan musuh akan cukup mudah jika ada pihak yang merasa teraniaya atau dicederai oleh kekuatan yang kejam.
Namun, jika realita penganiyaan itu tidak ada, alasan pembenaran (legitimasi) dalam melancarkan kekerasan atau teror menjadi lemah sehingga perlu cara-cara kreatif untuk mempersetankan pihak-pihak tertentu.
Merujuk pemikiran Juergensmeyer tersebut, menjadi sangat krusial bagi pemerintah dan aparat untuk berhati-hati dalam mengambil langkah-langkah strategis dalam mengatasi radikalisme/ekstremisme. Jangan sampai terpancing sehingga langkah yang diambil malah menjadi pintu masuk pembenaran terjadinya serangan-serangan teror yang lebih fatal.
Ketegasan negara bukan berarti mengabaikan kehati-hatian dalam berstrategi. Negara dan kelompok radikal/ekstrem sama-sama sedang berebut legitimasi publik untuk memuluskan agendanya masing-masing.
Kelompok radikal/ekstrem dalam jejaring teror saat ini menunjukkan karakter wajahnya sebagai monster hidra berkepala banyak. Setiap kali satu kepalanya dipotong, malah tumbuh berlipat. Jika sudah begitu, siklus vendetta terorisme di negeri ini tak kunjung tamat.