Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia mencatat, indeks harga properti residensial triwulan III-2019 tumbuh 0,5 persen dibandingkan triwulan sebelumnya. Pascapemilu, pasar properti dinilai kembali normal.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
Kompas/Priyombodo
Foto udara proyek pembangunan perumahan baru di kawasan BSD-City, Tangerang, Banten, Senin (28/10/2019). Setelah pemilihan presiden, pengumuman kabinet, penurunan suku bunga, serta inflasi yang terkendali dinilai oleh pelaku usaha properti dan perbankan dapat menyokong pertumbuhan kredit konsumen di sektor properti.
JAKARTA, KOMPAS — Penjualan properti residensial dinilai kembali normal seiring naiknya penjualan pada triwulan III-2019. Kondisinya diperkirakan bakal lebih baik tahun depan.
Pasar properti residensial masih didominasi segmen menengah ke bawah untuk dihuni, bukan investasi. Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia mencatat, Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) triwulan III-2019 tumbuh 0,5 persen dibandingkan triwulan sebelumnya yang 0,41 persen. Pada triwulan IV-2019, pertumbuhan IHPR diproyeksikan melambat jadi 0,45 persen.
Meski demikian, penjualan properti residensial pada triwulan III-2019 tumbuh 16,18 persen, lebih tinggi dari triwulan sebelumnya, yakni negatif 15,9 persen. Sumber pembiayaan pembangunan properti residensial masih ditopang oleh kemampuan finansial perusahaan atau pengembang, yakni 60,44 persen.
Penjualan properti residensial terutama didorong penjualan rumah tipe kecil dan besar. Sementara pembelian properti residensial mayoritas menggunakan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR), yakni 76,02 persen.
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata, di Jakarta, Rabu (13/11/2019), berpendapat, dalam situasi normal, penjualan pasti akan turun di bulan Juni, Juli, dan Desember. Sebab, dana masyarakat tersedot untuk kebutuhan pendidikan dan liburan.
”Untuk tahun ini agak spesial karena ada pemilu presiden, lalu pengumuman hasil pemilu, sidang sengketa, yang proses itu membuat orang menunggu. Setelah selesai, kabinet terbentuk, persepsinya berubah,” kata Soelaeman.
Dengan naiknya tingkat penjualan pada triwulan III-2019, Soelaeman melihat pasar properti telah kembali normal. Meski demikian, dalam konteks jangka panjang, sektor properti saat ini masih mengalami pelambatan.
Hal itu terlihat dari indeks harga properti residensial yang hingga akhir tahun kenaikannya diproyeksikan tidak lebih dari 2 persen. Hal itu disebabkan pasar properti yang bergerak saat ini adalah pengguna akhir (end user), bukan investasi. Dari sisi pengembang, mereka memilih mengambil margin terendah agar produk tetap laku di pasar.
Pada tahun depan, Soelaeman menilai kondisi pasar properti akan lebih baik. Relaksasi uang muka rumah (loan to value) yang akan berlaku mulai Desember diperkirakan akan memudahkan konsumen membeli rumah dengan uang muka rendah. Meski demikian, dampak dari kebijakan tersebut tetap memerlukan waktu karena pengembang mesti menyiapkan strategi pemasaran yang sesuai.
Secara terpisah, Panangian Simanungkalit dari Panangian School of Property berpandangan, kenaikan penjualan dari triwulan II ke triwulan III-2019 menunjukkan optimisme pasar. Dalam konteks waktu, pertumbuhan negatif pada triwulan II terkait dengan dampak dari setelah pengumuman hasil pemilu meskipun di triwulan berikutnya berbalik menjadi positif.
”Yang penting ada optimisme setelah pemilu. Kemudian ada kebijakan relaksasi uang muka (loan to value) dari Bank Indonesia untuk pembelian rumah yang akan berlaku mulai Desember. Jadi, setelah kondisi stagnasi bergerak jadi positif,” kata Panangian.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Proyek pembangunan properti dan kereta ringan (LRT) di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Pusat, Selasa (5/11/2019).
Dari sisi harga, kenaikan harga dari triwulan II ke triwulan III dinilai tidak jauh berbeda. Hal ini memperlihatkan bahwa properti residensial yang banyak terjual adalah untuk segmen menengah ke bawah yang minim spekulasi. Hal ini berbeda dengan residensial segmen atas yang ditujukan untuk investasi.
Dengan kenaikan harga properti residensial triwulanan antara 0,4 persen sampai 0,5 persen, termasuk proyeksi pada triwulan IV-2019, menurut Panangian, kenaikan harga properti secara tahunan hanya akan sekitar 2 persen.
Kenaikan harga sebesar itu dinilai wajar dan masih terjangkau oleh masyarakat. Kenaikan tersebut sekaligus menunjukkan masih adanya permintaan dari pasar, terutama segmen menengah ke bawah.
Sejuta rumah
Sementara itu, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Abdul Hamid mengatakan, Program Sejuta Rumah yang diinisiasi Presiden Jokowi pada 2015 akan diteruskan. Pemerintah akan mengembangkan mekanisme atau skema pembiayaan agar lebih banyak masyarakat yang merasakan.
Strategi pertama, mengembangkan perumahan berbasis komunitas. Salah satu contohnya adalah komunitas tukang cukur asal Garut yang pembangunan rumahnya dibantu subsidi oleh pemerintah. Selain itu, pembangunan hunian skala besar dengan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) juga akan dikembangkan.
”Kami masih menunggu rancangan UU Pertanahan mengenai bank tanah dan konsolidasi lahan. Dengan itu, kita akan hidupkan lagi konsep kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun. Ini tidak hanya bisa untuk sejuta unit hunian, tetapi bisa lebih,” kata Khalawi.
Di sisi lain, pemerintah telah menghapus kewajiban sertifikat laik fungsi untuk pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, pihaknya bersama pengembang juga telah sepakat untuk menghidupkan kembali konsep hunian berimbang.