Di ibu kota baru di Kalimantan Timur, ojek daring disarankan tidak boleh beroperasi. Keberadaannya akan membuat ibu kota baru semrawut. Lebih baik penataan tata ruang diselaraskan dengan sistem transportasi publik.
Oleh
helena f nababan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menegaskan, sebaiknya di ibu kota baru di Kalimantan Timur ojek daring tidak boleh beroperasi. Keberadaannya akan membuat ibu kota baru semrawut. Lebih baik penataan tata ruang diselaraskan dengan pengaturan sistem transportasi.
”Ojek daring harus distop. Kementerian Perhubungan bisa melakukan itu. Rencana induk transportasi di ibu kota baru tengah disusun,” ujar Djoko, Kamis (14/11/2019), dalam kegiatan Sharing Session Pengelolaan Transportasi Megapolitan yang digelar Institut Studi Transportasi.
Pendapat itu ia sampaikan karena melihat perkembangan kota-kota di Indonesia dan belajar dari Jakarta dan Bodetabek, di mana masalah kemacetan mendera. Aturan itu nantinya mesti ada dalam penataan transportasi di ibu kota baru.
Kemudian, saat pemerintah mau menata sistem transportasi dengan melengkapinya dengan first mile dan last mile, yaitu untuk mendorong perubahan perilaku dari penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum, tidak bisa maksimal. Warga masih lebih suka naik roda dua pribadi atau ojek daring.
Masalah kemacetan itu, lanjutnya, salah satunya muncul akibat tidak serasinya penataan tata ruang dengan sistem transportasi. Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman disebutkan adanya penyediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial, seperti jaringan listrik, telepon, dan pipa air. Namun, tidak disebutkan jaringan transportasi umum.
Menurut Djoko, undang-undang itu harus direvisi dengan memuat adanya jaringan trayek angkutan umum sehingga setiap kali perumahan dibangun, akan dilengkapi dengan jaringan trayek angkutan.
”Kalau yang terjadi hari ini, setiap perumahan baru dibangun tidak pernah dilengkapi trayek angkutan umum. Hal itu membuat jumlah kendaraan pribadi terus bertambah,” katanya.
Ke depan, ia menyarankan undang-undang itu direvisi dengan menyebutkan pembangunan perumahan dengan penyediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial dilengkapi dengan trayek angkutan baru. Hal itu akan menjadi dasar bagi penataan transportasi. Bukan hanya di Jakarta dan wilayah Bodetabek, melainkan juga di kota lain, termasuk ibu kota baru.
Dalam kesempatan itu, Bambang Prihartono, Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), menjelaskan, pengalaman dalam mengelola transportasi Jabodetabek ia bagikan dalam rangka penataan transportasi di ibu kota baru.
”Oleh karena itu, pengalaman ini harus diinformasikan dalam rencana pengembangan khusus transportasi di ibu kota baru. Intinya adalah kita bicara transportasi yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Tentang transportasi ramah lingkungan, ujarnya, adalah bahwa sistem transportasi itu bisa mengangkut dengan kapasitas besar, dengan buang gas beracunnya sedikit. Itu juga termasuk ramah lingkungan.
Untuk pengembangan sistem transportasi di ibu kota baru, Bambang mengingatkan pentingnya kemudahan warga mencapai sistem angkutan umum, yaitu dengan berjalan kaki dan bersepeda.
Secara singkat, Bambang menjelaskan, ibu kota baru memiliki peluang yang besar untuk membangun sistem transportasi perkotaan yang ideal. ”Kuncinya jangan fokus pada perencanaan fisik, tetapi harus dengan pendekatan yang mengedepankan aspek manusia,” ucap Bambang.
Perencanaan transportasi yang fokus pada aspek manusia, lanjut Bambang, lebih mengutamakan kualitas hidup manusia, aksesibilitas, daya tahan ekonomi, keadilan sosial, serta aspek keberlanjutan dan lingkungan sebagai tujuan yang harus dicapai.
Menurut Bambang, pendekatan perencanaan seperti ini harus memiliki visi dan strategi jangka panjang yang jelas dan konkret, juga terintegrasi lintas sektoral secara konsisten dan saling melengkapi. Selain itu, penting juga melibatkan lintas wilayah fungsional transportasi, lintas disiplin ilmu, dan mengakomodasi partisipasi publik.
Perencanaan transportasi yang fokus pada aspek manusia, lanjut Bambang, lebih mengutamakan kualitas hidup manusia, aksesibilitas, daya tahan ekonomi, keadilan sosial, serta aspek keberlanjutan dan lingkungan sebagai tujuan yang harus dicapai.
Perencanaan transportasi perkotaan yang menekankan pada aspek fisik, kata Bambang, terbukti menimbulkan banyak dampak negatif pada kualitas kehidupan manusia.
”Kebijakan yang mengutamakan kelancaran lalu lintas jalan, misalnya, sering kali justru melupakan keterbatasan daya dukung suatu wilayah sehingga akhirnya ketika daya dukung sudah tidak lagi memadai, timbullah ledakan permasalahan yang kemudian mengganggu kualitas hidup manusia itu sendiri dan lingkungannya,” kata Bambang.
Kemacetan parah merupakan salah satu indikasi ledakan permasalahan akibat perencanaan transportasi yang berorientasi fisik. Kerugian per tahun di Jakarta akibat macet mencapai Rp 67 triliun.
Kemacetan parah merupakan salah satu indikasi ledakan permasalahan akibat perencanaan transportasi yang berorientasi fisik. Kerugian per tahun di Jakarta akibat macet mencapai Rp 67 triliun. Dampak negatif pada kualitas hidup manusia juga telah dirasakan, misalnya memburuknya kualitas udara dan menyempitnya ruang aksesibilitas pada saat-saat tertentu.