Kedua Calon Ketua Umum Golkar Mulai Saling Menyinggung
Menjelang Musyawarah Nasional Golkar, persaingan menduduki pucuk pimpinan partai semakin memanas. Dua figur yang disebut-sebut sebagai calon ketua umum mulai saling menyindir.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kurang dari satu bulan menjelang Musyawarah Nasional Partai Golkar pada 3-6 Desember 2019, gejolak di antara kedua calon ketua umum mulai bermunculan. Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo saling menyinggung satu sama lain. Wacana pemilihan ketua umum secara aklamasi kembali merebak.
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyinggung soal kesepakatannya dengan Bambang Soesatyo yang sebelumnya terpilih menjadi Ketua MPR pada Oktober lalu. Hal itu dia sampaikan saat berpidato di hadapan 400 peserta Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar di Hotel Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta, Kamis (14/11/2019).
Forum rapimnas ini dihadiri pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Provinsi Partai Golkar, dan pengurus ormas Partai Golkar. Sejumlah politisi senior juga hadir, antara lain Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie, Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar Akbar Tandjung, dan Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar Agung Laksono.
”Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), Pak Bambang Soesatyo, yang saya hormati. Saya dengan Pak Bambang ini masih ada kesepakatan. Hanya saya, Pak Bambang, dan Allah SWT yang tahu kesepakatan ini, itu kan kata Pak Bambang,” ucap Airlangga saat menyapa Bambang dalam pidatonya.
Pada Agustus 2019, kondisi internal Golkar mulai memanas karena kubu Airlangga dan kubu Bambang saling adu kuat untuk mendukung calon ketua umumnya masing-masing. Namun, setelah Bambang terpilih menjadi Ketua MPR, kondisi internal Golkar mulai terasa lebih sejuk.
Hal ini ditengarai karena Bambang berpikir untuk tidak mengajukan diri sebagai calon ketua umum setelah mendapat kursi Ketua MPR. Namun, pada awal November ini, para pendukung Bambang kembali mengusung Wakil Koordinator Bidang Pratama Partai Golkar ini untuk maju sebagai calon ketua umum.
Dalam pidatonya kali ini, Airlangga pun menyampaikan sejumlah keberhasilannya selama menjabat Ketua Umum Partai Golkar. Mulai dari pencapaian Partai Golkar yang berhasil menduduki posisi kedua peraih kursi terbanyak di parlemen hingga Golkar yang berhasil menempatkan kader-kader terbaiknya di posisi menteri dan parlemen.
”Dalam pemerintahan, kita bisa menempatkan kader kita di posisi menteri dan wakil menteri. Begitu pula di parlemen, kader kita bisa menempati kursi Wakil Ketua DPR dan Ketua MPR, di mana belum pernah lagi ada kader Partai Golkar yang menjabat sebagai Ketua MPR pasca-Reformasi,” ujarnya.
Seusai pidato, Airlangga mengatakan, pemilihan ketua umum secara aklamasi juga merupakan hal yang wajar dan pernah terjadi di Partai Golkar. Menurut dia, pemilihan ketua umum secara aklamasi merupakan salah satu proses demokrasi.
”Aklamasi bukan pertama kali terjadi. Pertama kali aklamasi waktu Aburizal terpilih menjadi ketua umum. Kedua, pada saat munaslub (musyawarah nasional luar biasa) terakhir. Golkar sudah melaksanakan itu,” ucapnya.
Aburizal terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar secara aklamasi pada 2009, yang mengakibatkan di dalam Golkar terjadi gesekan antara kubu Aburizal dan kubu Agung Laksono. Sementara itu, pada Munaslub Golkar 2017, Airlangga Hartarto terpilih menjadi ketua umum secara aklamasi untuk menggantikan Setya Novanto.
Golkar pernah memiliki pengalaman pahit terkait proses pemilihan ketua umum secara aklamasi. Menurut Bambang, seharusnya hal tersebut bisa menjadi pelajaran bagi seluruh kader.
”Pelajaran pahit ini harus menjadi renungan bagi kita semua bahwa demokrasi yang ada di Golkar harus tetap dijaga. Kalau yakin didukung oleh mayoritas pemilik suara, mengapa mesti takut dan kemudian merancang untuk aklamasi?” ujar Bambang sebelum rapimnas dimulai.
Bambang tidak menampik ada kemungkinan dirinya maju sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar. Namun, ia belum menyampaikan kepastian kapan akan mendeklarasikan diri. ”Kita tunggu saja waktunya. Ini juga merupakan bagian dari strategi,” katanya.
Politisi senior Aburizal berpesan, untuk menghindari gesekan internal, sebaiknya pemilihan ketua umum bisa dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat. Masing-masing ketua umum harus saling berunding ketika munas nanti. ”Ada ketua munas yang nantinya bisa memimpin proses musyawarah dan mufakat tersebut,” katanya.
Aburizal pun belum memberi tahu dukungannya kepada salah satu calon. Ia berharap agar jangan sampai pemilihan ketua umum memicu konflik internal Golkar.
Akbar Tandjung ikut bersuara. Mekanisme pemilihan ketua umum, ujarnya, tidak bisa dipaksakan secara aklamasi. Menurut dia, mekanisme pemilihan ketua umum harus kembali diserahkan kepada pemilik suara.
”Saya pikir, biarkan saja dikembalikan kepada mekanisme yang ada. Setiap kader Golkar memiliki hak untuk maju sebagai calon ketua umum,” katanya. Kader Golkar yang akan menentukan arah partai ke depan.