Perbukitan Menoreh menyimpan banyak warisan arkeologi jejak era Mataram Kuno. Sebagian masih berserak di masyarakat. Bertekad merawat sejarah, sejumlah desa coba menjaga.
Oleh
Regina Rukmorini / Kristi Dwi Utami / Haris Firdaus / Gregorius Finesso
·4 menit baca
Suatu sore, awal 2015, Abdul Ghofir, petani Desa Banyuwangi, Kecamatan Bandongan, Magelang, Jawa Tengah, terkejut saat roda traktornya terantuk benda keras. Saat turun, dilihatnya sebongkah batu besar bulat bermuka datar. Diameternya 80 sentimeter dengan tinggi 40 sentimeter. Bergegas ia melapor kepada perangkat desa.
”Waktu itu, kami enggak kaget mendapat laporan itu. Di sekitar lokasi penemuan umpak (batu yang menjadi alas tiang bangunan) oleh Pak Ghofir itu pernah ditemukan yoni dan nandi (arca sapi),” ujar Abdul Cholik, Sekretaris Desa Banyuwangi, pertengahan Oktober 2019.
Penemuan batu purbakala di Desa Banyuwangi terjadi sejak 1980-an. Selain di sawah, ada juga yang ditemukan di pekarangan dan pemakaman. Sebagian terpendam dalam tanah. Balai Konservasi Borobudur memprediksi area Desa Banyuwangi pada masa lalu menjadi kompleks pemujaan umat Hindu.
Ada batu yang dulunya utuh, lalu ada bagian yang hilang.
Benda-benda purbakala itu, setelah ditemukan, pada awalnya dibiarkan di lokasi semula. Hal itu membuat sebagian batu rusak, bahkan raib. ”Ada batu yang dulunya utuh, lalu ada bagian yang hilang. Ada juga yang bergeser dari tempatnya. Mungkin mau diambil orang, tetapi enggak kuat atau keburu ketahuan,” ujar Cholik.
Selang beberapa hari sejak penemuan umpak, rapat desa memutuskan bebatuan yang diperkirakan peninggalan masa Mataram Kuno pada abad ke-7 itu dibawa ke balai desa. Warga bergotong royong membawanya dengan gerobak ataupun mobil bak terbuka. Selain mengamankan dari pencuri, mereka berharap batu-batu itu bisa lebih terawat.
Setelah ditempatkan di salah satu ruangan kantor Desa Banyuwangi, pada 2018 batu-batu itu dipindahkan ke luar karena ada renovasi ruangan. Akhir tahun ini, seluruh artefak akan ditempatkan di ruangan khusus depan kantor desa. ”Kami menganggarkan Rp 20 juta dari dana desa untuk membangun ruangan menampung 13 benda cagar budaya itu,” ungkap Cholik.
Ali Wahadi (48), warga Dusun Sangubanyu, Desa Banyuwangi, mengakui sejak kecil terbiasa melihat batu-batu besar seperti batu candi tergeletak di sekitar kampung. ”Bocah-bocah juga sering bermain di batu. Tetapi, warga sini enggak ada yang berani memiliki,” ucapnya.
Jika ada pencurian atau perusakan batu, ia memastikan pelakunya dari luar desa. Hanya saja, ujarnya, saat ditinggal di sawah, kondisi batu tak terawat. Petani sering menggunakan batu itu untuk mengasah sabit atau parang sehingga batu tergerus. Beberapa bagian pancuran air pada yoni juga terpotong.
Pemerintah Desa Banyuwangi berkomitmen merawat batu-batu itu dan tak mengizinkan pihak lain membelinya. Selain dijadikan ikon desa, batu itu dimanfaatkan sebagai sarana edukasi sejarah. Setahun terakhir, banyak pelajar ataupun komunitas peminat sejarah berdatangan untuk melihat cagar budaya di sana. ”Kami akan mempertahankan batu-batu itu untuk aset desa,” kata Cholik.
Bocah-bocah juga sering bermain di batu. Tetapi, warga sini enggak ada yang berani memiliki.
Minim wawasan
Meski hidup berdampingan dengan Candi Borobudur, salah satu warisan sejarah dunia, pemahaman warga Magelang dalam menjaga kepingan arkeologi yang berserak masih minim. Mantan Kepala Desa Tanjungsari, Kecamatan Borobudur, Darto bahkan mengaku sekitar 1992 pernah ikut membangun rumah yang fondasinya dari batuan purbakala.
”Batu itu dibelah-belah, lalu dipakai sebagai tambahan batu fondasi rumah. Saat itu, kami belum tahu batu-batu seperti itu dilindungi,” ucapnya. Suparmadi (50), warga Desa Tirto, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, mengatakan, penemuan artefak batu sering terjadi di desanya. Namun, tidak semua warga paham batu-batu kuno itu adalah benda dilindungi.
Karena itu, setelah menemukan, warga acap kali membawa batu-batu itu pulang dan memperbaiki secara sembarangan. ”Beberapa arca yang rusak ada yang ditambal dengan semen,” katanya. Sekretaris Desa Tirto Fatkhurohman mengungkapkan, sejak 2007 pemerintah desa berinisiatif menempatkan sejumlah temuan artefak ke balai desa.
Benda purbakala seperti lingga, yoni, dan sejumlah arca kini diletakkan di belakang kantor desa. Warga menyiapkan tempat itu dengan memasang paving block dan memayunginya dengan kain.
Batu-batu purbakala temuan warga itu sudah dilaporkan kepada Pemerintah Kabupaten Magelang. Setelah didata dan diverifikasi, sebagian dititipkan lagi kepada pemerintah desa. Mereka enggan membawa benda-benda itu karena bentuknya sudah tak utuh.
Kepala Balai Konservasi Borobudur Tri Hartono mengatakan, setiap tahun warga diberi pengarahan agar melaporkan temuan batu candi di sekitarnya. Namun, diakui, karena tempat terbatas, seluruh temuan tidak bisa diambil.
Dengan segala keterbatasan, ikhtiar warga desa merawat batu-batu purbakala patut diapresiasi. Sebab, meski bentuknya tak sempurna, benda-benda itu warisan leluhur, jejak kebudayaan bangsa.