Diskursus politik kontemporer ditandai dengan permainan simbol-simbol politik. Rangkulan pimpinan partai politik menjadi bahan sindiran elite politik.
Oleh
·2 menit baca
Diskursus politik kontemporer ditandai dengan permainan simbol-simbol politik. Rangkulan pimpinan partai politik menjadi bahan sindiran elite politik.
Rangkulan erat Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman menjadi ”rangkulan politik” multitafsir. Spekulasi politik pun liar. Ada yang menafsir ”rangkulan politik” sebagai gejala retaknya koalisi pemerintahan Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin. Analisis itu dibantah sendiri Presiden Jokowi saat menutup Kongres Nasdem yang juga dihadiri Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Selain bahasan soal simbol, kegaduhan (noise) pun diproduksi. Ada Menteri Agama Fachrul Razi yang memproduksi gagasan soal larangan cadar dan celana cingkrang di lingkungan kementerian. Kontroversi dan polemik pun terjadi. Ada lagi pernyataan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama soal perlunya daerah wisata yang ramah Muslim. Pernyataan itu pun memicu protes dan kontroversi sebelum diluruskan bahwa Wishnutama tidak pernah berbicara demikian dan media salah kutip.
Kabinet Indonesia Maju belumlah berusia sebulan. Kerja konkret pun belum tampak. Sejumlah menteri masih belanja masalah atau menyesuaikan diri dengan kerja birokrasi. Ketika kerja nyata belum muncul, justru kegaduhan yang tidak perlu diproduksi. Sayangnya, kegaduhan itu justru diproduksi dari dalam lingkaran kekuasaan.
Di tengah drama politik elite, publik dikejutkan dengan bom bunuh diri di Polrestabes Medan, Sumatera Utara, Rabu, 13 November 2019. Peristiwa itu kian menunjukkan aksi teroris merupakan ancaman nyata. Aksi teroris yang sudah berulang kali terjadi merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Menjadi tugas Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis mengungkap pelaku bom bunuh diri di Polrestabes Medan.
Politik simbol penting dan jadi ”hiburan” bagi rakyat. Sebagian rakyat sudah mengetahui bahwa politik hanyalah panggung sandiwara. Panggung depan politik dan panggung belakang sering berbeda atau malah bertolak belakang. Lakon politik pun sering berbeda. Yang menentukan posisi politik hanyalah kesamaan atau perbedaan kepentingan.
Namun, kita mau mengingatkan, terlalu banyak produksi kegaduhan atau sering salah ucap hanya akan menambah kebisingan politik yang tidak substansial. Ini menjadi pekerjaan rumah yang belum juga terselesaikan oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Komunikasi publik.
Kita mau dorong pemerintahan Presiden Jokowi untuk fokus pada janji kampanyenya. Mengatasi terorisme, memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan bukan memperlemah, mengungkap penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan dan pelanggaran hak asasi, mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial, menata sistem politik dan penguatan sumber daya manusia. Publik perlu diajak mendiskusikan politik yang lebih substansial, bukan isu yang justru bisa membangkitkan sentimen emosional.