Peran Indonesia dalam diplomasi lingkungan hidup di dunia selama ini dinilai sudah baik. Namun, masih perlu akselerasi, terutama dalam tindak lanjut di dalam negeri dan kerja sama multipihak yang lebih kuat.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran Indonesia dalam diplomasi lingkungan hidup di dunia selama ini dinilai sudah baik. Namun, masih perlu akselerasi, terutama dalam tindak lanjut di dalam negeri dan kerja sama multipihak yang lebih kuat.
Demikian benang merah yang bisa ditarik dari diskusi bertajuk ”Curah Gagasan: Diplomasi Lingkungan Hidup Indonesia” yang digelar Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Rabu (13/11/2019).
Penasihat Senior Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, diplomasi multilateral Indonesia sejak dulu sudah mendapat pengakuan di dunia. Ia mencontohkan isu sertifikasi lingkungan hidup pada sejumlah produk dan penanganan kebakaran hutan.
”Indonesia dikenal berhasil mengaitkan kependudukan, lingkungan hidup, dan pembangunan ekonomi,” ujar Sarwono.
Namun, patut diingat bahwa diplomasi dan hasil-hasil yang dicapainya dalam setiap konvensi hanyalah langkah awal yang harus ditindaklanjuti di dalam negeri. Inilah yang selama ini masih belum maksimal dilakukan.
Patut diingat, diplomasi dan hasil-hasil yang dicapainya dalam setiap konvensi hanyalah langkah awal yang harus ditindaklanjuti di dalam negeri. Inilah yang selama ini masih belum maksimal dilakukan.
Yusra Khan, Pejabat Senior untuk Isu Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri, menyampaikan, setiap konvensi internasional tentang lingkungan hidup membutuhkan banyak pengorbanan. Namun, hasil dari diplomasi yang telah dicapai itu sulit untuk ditindaklanjuti di dalam negeri.
Gono Semiadi dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan, Indonesia harus memiliki satu suara dalam setiap forum internasional lingkungan hidup. Ia menyebut contoh dalam isu masyarakat adat dan komunitas lokal, perdagangan satwa liar internasional, dan keanekaragaman hayati.
Hal tersebut memerlukan kesamaan pandangan antarkementerian, akademisi, juga organisasi masyarakat sipil.
Adapun Rizal Algamar dari lembaga The Nature Conservancy menyampaikan bahwa salah satu kelemahan Indonesia dalam diplomasi adalah persoalan data. Dalam setiap negosiasi, sering kali data yang kuat dan kredibel memainkan peran penting.
Sayangnya, data pemerintah masih berserakan di berbagai lembaga dan sering kali juga berbeda dengan data penelitian dari akademisi. Untuk itulah, kemitraan multipihak menjadi keniscayaan, minimal untuk menyinkronkan data yang ada.