Butuh Pendekatan Semesta untuk Tangkal Radikalisme
Upaya pemajuan kebebasan beragama/berkeyakinan dan toleransi di Indonesia masih jadi persoalan serius yang mesti ditangani secara komprehensif. Pemerintahan baru Joko Widodo-Ma’ruf Amin perlu mengambil tindakan konkret.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemajuan kebebasan beragama/berkeyakinan dan toleransi di Indonesia masih menjadi persoalan serius yang mesti ditangani secara komprehensif. Pemerintahan baru Joko Widodo-Ma’ruf Amin perlu mengambil tindakan konkret untuk merawat kemajemukan dan memperkuat negara Pancasila dengan pengarusutamaan pemerintahan inklusif.
Pembubaran upacara piodalan oleh sekelompok warga di Desa Mangir, Kecamatan Pajangan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (12/11/2019), dan bom bunuh diri Polrestabes Medan, Rabu (13/11/2019), merupakan contoh konkret bagaimana persoalan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) dan radikalisme masih menjadi pekerjaan rumah besar di negara ini.
Hasil riset SETARA Institute dalam 12 tahun terakhir mencatat setidaknya ada 2.400 peristiwa pelanggaran KBB dengan 3.177 tindakan di dalamnya. Artinya, dalam sebulan setidaknya terjadi 16,7 peristiwa dengan 22,1 tindakan pelanggaran atau 4,2 peristiwa dengan 5,5 tindakan setiap pekan.
Dari semua kasus tersebut, korban pelanggaran tertinggi adalah Ahmadiyah, aliran keagamaan, umat Kristen, individu, Syiah, warga, umat Islam, umat Katolik, Gafatar, dan pelajar/mahasiswa. Adapun gangguan terhadap rumah ibadah dalam 12 tahun terakhir sebanyak 389 kasus dengan rincian gereja (199), masjid (133), rumah ibadah kepercayaan (32), wihara (15), kelenteng (10), pura (8), dan sinagog (1).
Korban pelanggaran tertinggi adalah Ahmadiyah, aliran keagamaan, umat Kristen, individu, Syiah, warga, umat Islam, umat Katolik, Gafatar, dan pelajar/mahasiswa.
Diprediksi lama
Direktur Riset SETARA Institute Halili mengatakan, kasus pembubaran upacara mengenang wafatnya Ki Ageng Mangir yang dihadiri lintas agama di Bantul dan bom bunuh diri di Medan memberi pesan yang sama bahwa gerakan-gerakan radikalisme harus direspons dengan pendekatan semesta, bukan parsial.
”Kasus bom bunuh diri di Medan auktornya adalah seorang mahasiswa. Kami sudah mengingatkan jauh-jauh hari bahwa perguruan tinggi-perguruan tinggi kita telah terpapar radikalisme. Tahun 2016, SETARA Institute mengingatkan, generasi muda di sekolah-sekolah negeri sekitar 0,3 persen terpapar. Pada survei 2019 terlihat 8,1 persen mahasiswa kita tingkat keberagamaannya masih sangat formalis. Mereka siap jihad untuk memperjuangkan keyakinannya agar menjadi regulasi dan institusi formal,” papar Halili, Rabu (13/11/2019), saat dihubungi dari Jakarta.
Untuk merespons masalah-masalah itu, SETARA Institute merekomendasikan agar, pertama, pemerintah merancang, mengagendakan, dan melakukan optimalisasi institusi pendidikan untuk membangun pendidikan yang bineka, terbuka, dan toleran, serta berorientasi pada penguatan bangsa dan negara berbasis Pancasila dan UUD 1945. Kedua, pemerintah harus memosisikan aparatnya, khusus kepolisian dan pemerintah lokal (dari provinsi hingga desa/kelurahan) sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum, perlindungan seluruh warga, dan pembelaan dasar dan konstitusi negara.
Berikutnya, rekomendasi ketiga adalah negara harus menjamin penegakan hukum yang tegas dan adil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Keempat, mengoptimalisasi fungsi edukasi, sosialisasi, dan literasi mengenai toleransi dan kerukunan, serta pencegahan diskriminasi. Kelima, memperkuat dan mengintensifkan inisiatif dan pelaksanaan dialog yang setara antarkelompok agama/keyakinan.
”Di atas semua rekomendasi tersebut, SETARA Institute mendorong pemerintah untuk mengagendakan pengarusutamaan keberagaman dan kebinekaan dalam semua aspek tata kelola pemerintahan melalui pelembagaan pemerintahan inklusif. Presiden diharapkan dapat mengeluarkan regulasi presidensiil yang menginstruksikan agar seluruh kementerian dan lembaga mengimplementasikan kebinekaan yang menghimpun keanekaan latar belakang di berbagai aspek, termasuk kebinekaan agama. Kementerian dan lembaga negara kita selama ini masih terpasung oleh egosektoralisme,” ucapnya.
SETARA Institute mendorong pemerintah untuk mengagendakan pengarusutamaan keberagaman dan kebinekaan dalam semua aspek tata kelola pemerintahan melalui pelembagaan pemerintahan inklusif.
Bulan Juni 2019, Penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia juga mencatat adanya gerakan-gerakan Islam eksklusif transnasional telah mendominasi kampus-kampus negeri. Peneliti LPPM Unusia, Naeni Amanullah, mengatakan, tim peneliti menemukan sebagian gerakan Islam di kampus negeri berkiblat ke organisasi Islam di Timur Tengah yang merupakan gerakan Islam transnasional.
”Gerakan-gerakan Islam transnasional di sejumlah perguruan tinggi negeri tak sekadar berkiblat ke luar negeri, tetapi juga cenderung menutup diri dari keberagaman Indonesia dan justru hendak menyeragamkan Indonesia. Karena ketertutupan pada keberagaman itu, gerakan Islam transnasional disebut juga gerakan Islam eksklusif,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Wahid Foundation Mujtaba Hamdi mengungkapkan, tidak hanya di kampus, proses pengaderan gerakan Islam eksklusif transnasional bahkan dimulai sejak pendidikan anak usia dini hingga penyerapan tenaga kerja. Untuk menghadapi fenomena ini, dibutuhkan strategi bersama dengan cara memperkuat aktor-aktor moderat, yaitu organisasi-organisasi mahasiswa dan kelompok-kelompok lintas agama. Selain itu, Mujtaba juga mengusulkan adanya penguatan kebijakan promoderasi, melalui perubahan pola asistensi agama Islam dan menciptakan tata kelola yang inklusif dari ruang-ruang dakwah yang ada.