Petani Kelapa Butuh Akses Langsung Teknologi Kemasan
Teknik dan teknologi pengemasan dapat memberikan nilai tambah bagi petani kelapa, khususnya yang terlibat dalam rantai produksi santan.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknik dan teknologi pengemasan dapat memberikan nilai tambah bagi petani kelapa, khususnya yang terlibat dalam rantai produksi santan. Meskipun demikian, potensi ini membutuhkan sokongan modal dan sistem organisasi tani agar dapat terealisasi.
Menurut Penanggung Jawab Circular Economy-PSCO Sustainability PT Tetra Pak Indonesia Reza Andreanto, perusahaan atau pelaku industri kemasan berpotensi bekerja sama dalam hal pemanfaatan teknologi pengemasan dengan kelompok tani secara langsung, salah satunya dalam rantai produksi santan. ”Namun, petani-petani (kelapa) itu harus mampu memproduksi (santan) dengan volume yang memenuhi skala keekonomian dan modal awal,” katanya saat ditemui setelah konferensi pers ”Melindungi Kebaikan Santan Kelapa Indonesia” yang diadakan di Jakarta, Kamis (14/11/2019).
Saat ini, pelaku industri kemasan cenderung tidak bekerja sama dengan kelompok petani kelapa secara langsung. Industri kemasan bekerja sama dengan pelaku industri pengolah santan. Pelaku industri pengolah santan inilah yang bermitra dengan petani kelapa.
Misalnya, PT Kara Santan Pratama. Direktur PT Kara Santan Pratama Martin Jimi mengatakan, korporasinya bermitra dengan sejumlah petani kelapa di wilayah Sumatera. Sebanyak 90 persen dari bahan baku yang diolah PT Kara Santan Pratama berasal dari petani.
Kementerian Pertanian mengestimasikan, luas lahan kebun kelapa di Indonesia pada 2017 mencapai 3,54 juta hektar. Total produksinya diperkirakan mencapai 2,87 juta ton yang melibatkan 17.232 petani.
Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB), Azis Boing Sitanggang, mengatakan, kerja sama yang sudah berlangsung tersebut merupakan model bisnis yang paling efektif untuk diterapkan. ”Petani membutuhkan modal untuk mengakses secara langsung teknologi kemasan yang tergolong tingkat tinggi. Oleh karena itu, kelompok tani mesti bermitra dengan industri pengolah agar dapat menikmati hasil nilai tambah dari teknologi kemasan,” katanya.
Sebagai gambaran, teknologi kemasan untuk produk santan menggunakan proses temperatur ultratinggi (UHT). Secara terpisah, kemasan disterilkan dan santan mengalami proses UHT dengan suhu sekitar 140 derajat celsius selama 8-15 detik. Santan yang sudah diproses UHT dimasukkan dalam kemasan di ruang steril (sterilized chamber).
Dengan proses UHT, santan kemasan tidak membutuhkan bahan pengawet. Azis menuturkan, hal ini berlaku untuk mayoritas produk pangan komersial. Suhu setinggi 140 derajat celsius dapat mematikan mikroba dan mikroorganisme patogen.
Teknik dan teknologi UHT tersebut membuat santan dapat awet dalam kemasan tertutup dengan skala bulanan. Jika dibandingkan, Azis mengatakan, santan segar yang langsung dikonsumsi setelah diparut dan diperas hanya tahan dalam skala waktu harian karena tidak ada teknik yang mematikan mikroba dan mikroorganisme patogen.
Petani membutuhkan modal untuk mengakses secara langsung teknologi kemasan yang tergolong tingkat tinggi. Oleh karena itu, kelompok tani mesti bermitra dengan industri pengolah agar dapat menikmati hasil nilai tambah dari teknologi kemasan.
Nutrisi pada santan kemasan dan santan segar juga tidak berbeda. Meskipun mengalami proses dengan suhu ultratinggi, kandungan gizinya tidak rusak lantaran pemanasannya hanya dalam hitungan detik.
Meskipun demikian, Azis mengimbau, santan mesti dikonsumsi habis maksimal seminggu begitu kemasannya dibuka. Hal itu disebabkan, santan kemasan yang dibuka berinteraksi dengan udara bebas yang mengandung mikroba dan mikroorganisme.
Di sisi hilir, berdasarkan data yang dihimpun perusahaan, Marketing Manager Tetra Pak Indonesia Panji Cakrasantana mengatakan, konsumen cenderung memilih santan kemasan karena kepraktisannya dan jaminan kebersihan produk. Volume santan kemasan pun beragam sesuai dengan kebutuhan pasar.
Secara spesifik, pendiri Natural Cooking Club, Fatmah Bahalwan, mengatakan, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kuliner yang bergabung di kelompoknya memilih membeli santan kemasan. ”Santan kemasan membuat pelaku UMKM kuliner seperti kami dapat menyetoknya sebagai bahan baku, tidak perlu bolak-balik ke pasar membeli santan,” katanya.
Dampaknya, santan kemasan membuat waktu pelaku UMKM kuliner lebih efisien, baik dari segi proses pembelian bahan baku maupun memasaknya. Fatmah memperkirakan, santan kemasan membuat proses produksi makanan-minuman lebih hemat waktu hingga 75 persen.