UU Pilkada Tidak Sejalan dengan Pencegahan Perkawinan Anak
Undang-Undang No 8/2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 1/2015 tentang Penetapan Perppu No 1/2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah dinilai tidak sejalan dengan upaya pencegahan perkawinan anak.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada) dinilai tidak sejalan dengan upaya pencegahan perkawinan anak dan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemilihan kepala daerah.
Pasal 1 Angka 6 dalam UU No 8/2015 khususnya yang memuat frasa ”atau sudah/pernah kawin” mempertahankan diskriminasi terhadap anak karena status perkawinan serta membuat ketidaksamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan.
Oleh karena itu, untuk memberikan kepastian hukum dan menghapus diskriminasi terhadap anak, Selasa (12/11/2019), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengajukan pengujian terhadap UU No 8/2015 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketentuan yang dimohonkan untuk dibatalkan oleh MK adalah frasa ”atau sudah/pernah kawin” dalam Pasal 1 Angka 6 UU No 8/2015. Bunyi pasal tersebut, ”Pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam pemilihan”.
Ketentuan yang dimohonkan untuk dibatalkan oleh MK adalah frasa ”atau sudah/pernah kawin” dalam Pasal 1 Angka 6 UU No 8/2015.
Permohonan didaftarkan oleh Titi Anggraini (Direktur Eksekutif Perludem) dan Dian Kartikasari (Sekretaris Jenderal KPI). ”Permohonan ini sejajar dengan upaya menghentikan perkawinan anak dan menghentikan diskriminasi terhadap anak berbasis status perkawinannya,” papar Dian.
Sebab, menurut dia, jika dirunut dengan frasa syarat sebagai pemilih 17 tahun ”atau sudah/pernah kawin” itu berarti mendiskriminasi anak berbasis status perkawinan. ”Itu bertentangan dengan konstitusi,” kata Dian.
Pasal tersebut dinilai mendorong perkawinan anak dan memberikan hak istimewa kepada anak-anak yang menikah. Padahal, perkawinan anak harus dihapuskan.
Menurut Titi, permohonan uji materi atas Pasal 6 Angka 1 UU Pilkada karena berdasarkan sejumlah pertimbangan, terutama saat menghadapi pilkada serentak gelombang ke-4 tahun 2020 yang akan berlangsung di 270 daerah. Tahapannya dimulai pada 23 September 2019 dan dalam waktu dekat akan dilakukan pengumpulan syarat dukungan calon perseorangan. Salah satu persyaratannya adalah memiliki kartu tanda penduduk (KTP) elektronik, yang parameternya usia 17 tahun dan atau sudah menikah.
Akurasi DPT
Alasan pertama permohonan uji materi atas UU Pilkada tersebut adalah memperbaiki kualitas pengelolaan tahapan pemilu dan pilkada di Indonesia. Ia mencontohkan saat perselisihan hasil pilpres 2004-2019 di MK, salah satu permasalahan yang banyak diangkat adalah soal validitas daftar pemilih tetap (DPT), keraguan soal akurasi DPT karena pemilih yang berusia di bawah 17 tahun yang masuk DPT, apakah DPT tersebut betul atau tidak valid.
”Ternyata itu juga dikontribusikan oleh tidak seragamnya persyaratan usia memilih. Di satu sisi, kita menggunakan standar yang sama, 17 tahun, tapi standar itu kemudian disimpangi dengan boleh memilih kalau belum 17 tahun. Akhirnya, praktik di lapangan menimbulkan kebingungan terutama ketika menemukan pemilih belum 17 tahun masuk dalam DPT,” tutur Titi yang didampingi peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil.
Di satu sisi, kita menggunakan standar yang sama, 17 tahun, tapi standar itu kemudian disimpangi dengan boleh memilih kalau belum 17 tahun.
Tak hanya itu, Pasal 1 Angka 6 UU Pilkada juga bertentangan dengan prinsip pemilu dan pilkada yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. ”Bagaimana kita mau mencapai keadilan kalau kemudian ada privilege. Seolah-olah yang akan didapat oleh anak kalau dia menikah adalah privilege hak pilih. Padahal, hak untuk usia kawin 19 tahun berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019,” kata Titi.
Permohonan uji materi tersebut juga untuk memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pilkada tahun 2020 sehingga tidak ada lagi ruang diskursus yang akhirnya membuat anak berada pada posisi sebagai obyek.
”Permohonan ini, selain untuk menghentikan perkawinan anak, juga untuk memperkuat kualitas pemilu kita dan meneguhkan putusan MK soal usia perkawinan yang sudah disetarakan menjadi 19 tahun. Jadi, ini sebenarnya sebuah kerja yang rentetannya saling berhubungan satu sama lain,” ujar Titi.
Oleh karena itu, Titi dan Dian berharap permohonan tersebut segera direspons oleh MK. ”Kami berharap ini akan sejajar dengan keputusan untuk mengakhiri perkawinan anak sehingga ini tidak ada lagi frasa ’atau sudah/pernah kawin’ dalam UU Pilkada,” kata Dian.