Polisi tak boleh lengah untuk terus meningkatkan sistem deteksi dini. Terlebih belakangan ini polisi sangat agresif memburu teroris. Teroris melihat polisi adalah penghambat utama gerakan perjuangan mereka.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aksi teror di Medan, Sumatera Utara, dan Banten menunjukkan sel-sel teroris masih hidup kendati Detasemen Khusus 88 Antiteror terus menangkap terduga teroris. Aksi bom bunuh diri disinyalir sebagai tindakan balasan atas penangkapan yang dilakukan polisi terhadap pelaku teror belakangan ini.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, Rabu (13/11/2019), di Jakarta, mengatakan, teror bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Medan adalah teror bom pertama dalam periode kedua Presiden Joko Widodo dan sejak Jenderal (Pol) Idham Aziz menjadi Kepala Kepolisian Negara RI.
Menurut Neta, serangan teroris di Medan dan penusukan Wiranto di Pandeglang, Banten, menunjukkan bahwa sel-sel terorisme masih hidup di Indonesia. Padahal, Densus 88 Antiteror Polri terus menangkap teroris, tetapi para teroris tetap mencari celah melakukan serangan.
Serangan bom di Markas Polrestabes Medan bisa dinilai sebagai upaya teroris mempermalukan Kapolri yang baru dilantik.
”Idham adalah tokoh penting dalam Densus 88. Kasus bom Medan ini sekaligus menunjukkan Polri di bawah kepemimpinannya sangat lemah dalam sistem deteksi dini, baik deteksi dini dari jajaran Densus 88 maupun dari intelijen kepolisian dan Bareskrim,” kata Neta melalui keterangan tertulis.
Melihat pola serangan di Medan, Neta mengingatkan, polisi tak boleh lengah untuk terus meningkatkan sistem deteksi dini. Terlebih belakangan ini polisi sangat agresif memburu teroris. Teroris melihat polisi adalah penghambat utama dari gerakan perjuangan mereka.
Apabila lengah, pelaku teror akan terus bermanuver, termasuk mencari celah dengan modus-modus baru. Menurut Neta, apa yang dilakukan Rabbial dengan mengenakan atribut pengemudi ojek daring merupakan modus baru dalam sistem serangan teroris di Indonesia.
Pengamat teroris dari Universitas Indonesia, Ridwan Habib, mengatakan, aparat kepolisian masih menjadi target serangan teroris. Polisi dianggap sebagai musuh besar. Pelaku memanfaatkan keramaian di Polrestabes Medan untuk menyusup dan meledakkan bom.
”Dari jenis bom dan karakteristiknya, yang menjadi target jelas polisi,” ujar Ridwan.
Ridwan meyakini Rabbial adalah seorang yang pro-Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Kematian pemimpin kelompok teror NIIS Abu Bakar al-Baghdadi pada akhir Oktober 2019 diduga menjadi pemicu peristiwa bom bunuh diri di Medan.
”Saya kira ini bagian dari retaliasi kematian Baghdadi yang ditembak Amerika Serikat. Ini bagian dari upaya balas dendam itu,” kata Ridwan.
Insiden bom bunuh diri terjadi di halaman Markas Polrestabes Medan, Sumatera Utara, Rabu (13/11/2019) pukul 08.45. Situasi Polrestabes Medan saat itu tengah ramai karena banyak orang mengurus izin penerbitan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK).
Akibat ledakan tersebut, satu orang yang diduga pelaku bom bunuh diri, Rabbial Muslim Nasution (34), tewas, sedangkan enam orang mengalami luka-luka. Korban luka terdiri dari 4 polisi, 1 pekerja harian lepas, dan 1 warga. Empat kendaraan juga dilaporkan rusak akibat terkena ledakan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mengatakan, Rabbial berstatus mahasiswa dan cukup aktif di media sosial. Saat menjalankan aksinya, ia menyaru sebagai pengemudi ojek daring untuk mengecoh polisi.
Bom di pinggang
Dalam aksinya, Rabbial melilitkan bom di bagian pinggang sehingga berhasil lolos dari pemeriksaan polisi. Kondisi Polrestabes Medan yang ramai karena dipadati masyarakat yang bermaksud mengurus penerbitan SKCK dimanfaatkan Rabbial untuk menyusup.
”Dugaan sementara, pelaku melakukan aksi teror ini lone wolf (pelaku tunggal). Pengembangan nanti sangat ditentukan tim di lapangan. Dari hasil olah TKP masih didalami tim Detasemen Khusus (Densus) 88 bersama Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis) dan Laboratorium Forensik (Labfor) Polri,” ujar Dedi di Mabes Polri, Jakarta.
Setelah ledakan, tim Inafis dan Labfor Polri mengumpulkan semua serpihan partikel yang ditemukan di TKP. Partikel-partikel temuan itu diuji secara forensik untuk mengetahui jenis bom yang digunakan pelaku. Dari partikel juga bisa diketahui senyawa-senyawa kimia yang digunakan Rabbial untuk merakit bom.
Dedi menyebutkan, Rabbial sebenarnya akan meledakkan bom di tempat lain. Namun, bom lebih dulu meledak saat dia masih berada di halaman Polrestabes Medan. Dedi mengatakan, jarak antara pos penjagaan dan lokasi bom meledak terpaut 30 hingga 50 meter. Polisi hingga saat ini masih terus melakukan pendalaman.
Sebelum ledakan di Medan, aksi teror juga sempat terjadi di Kabupaten Pandeglang, Banten. Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menjadi korban penusukan oleh Syahrial Alamsyah alias Abu Rara dan istrinya, Fitri Andiriana. Mereka diduga anggota kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi pada NIIS.
Terduga teroris
Sebelum ledakan bom bunuh diri di Medan, Detasemen Khusus 88 Antiteror, Selasa (12/11/2019) pukul 06.10 WIB, menangkap satu orang terduga teroris bernama WJ alias Patri alias Dwi di Cikarang Utara, Bekasi, Jawa Barat. Dedi menyebut upaya penangkapan teroris itu sebagai langkah pencegahan.
Dwi diduga terlibat dalam Kelompok JAD. Keterlibatan Dwi di JAD kini masih dalam pengembangan polisi. Dedi menjelaskan, Dwi diduga pernah mengikuti pelatihan Timoro pada 1999. Dwi merupakan angkatan pertama.
”Dwi juga memiliki keahlian untuk merakit bom dan keahlian militer lainnya,” ucap Dedi di Mabes Polri, Jakarta.
Keahlian itu diperoleh Dwi karena dia pernah mengikuti perang di Suriah tahun 2012 bersama Ashari. Dwi juga menjalin hubungan dengan Free Syria Army (FSA). Adapun barang bukti yang berhasil diamankan aparat Densus 88 dari Dwi antara lain beberapa panah, alat-alat komunikasi, dan sejumlah buku.
Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan, antisipasi aparat keamanan dalam mencegah tindak terorisme sudah baik. Mengacu data Polri, aksi terorisme sepanjang 2018 meningkat menjadi 17 aksi dibandingkan 2017 yang mencapai 12 aksi terorisme.
”Kalau secara kuantitatif, jumlah teror 2017 dan 2018 itu jauh lebih tinggi daripada 2019. Artinya, tingkat antisipasinya sudah baik,” kata Mahfud.
Namun, kini terjadi perluasan subyek. Apabila dulu pelaku teror biasanya hanya laki-laki dewasa, sekarang ibu-ibu dan anak-anak juga terlibat dalam aksi teror. Itu terjadi saat teror penusukan yang menimpa Menko Polhukam Wiranto di Serang, Banten, Oktober 2019.
Upaya-upaya deradikalisasi, kata Mahfud, cukup sering dilaksanakan polisi. Program deradikalisasi dilaksanakan melalui penataran-penataran dan kunjungan ke pesantren. Menurut Mahfud, Majelis Ulama Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Agama juga harus terlibat dalam upaya deradikalisasi.