Pemerintah Bakal Kaji Ulang Peraturan untuk Rangkul Nelayan dan Pengusaha
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo akan mengkaji ulang sejumlah peraturan yang menimbulkan pro dan kontra di kalangan nelayan.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo akan mengkaji ulang sejumlah peraturan yang menimbulkan pro dan kontra di kalangan nelayan. Tujuannya untuk memperbaiki komunikasi dengan nelayan dan pengusaha agar nanti tidak ada pihak yang mengeluh terhambat peraturan saat menjalankan kegiatannya.
Sejumlah peraturan yang menjadi perhatian adalah larangan menangkap ikan menggunakan cantrang, larangan penangkapan benur atau benih lobser, dan hukuman menenggelamkan kapal asing yang mencuri ikan. Ketiga hal itu akan dikaji ulang mempertimbangkan masukan berbagai pihak.
”Cantrang termasuk tugas utama saya untuk segera diputuskan. Pada Desember, kami berharap sudah ada hasil yang bisa diambil,” kata Edhy saat meninjau Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) di Batam, Kepulauan Riau, Rabu (13/11/2019).
Menurut dia, terkait penggunaan cantrang untuk menangkap ikan akan ada beberapa kemungkinan, yaitu diperbolehkan, diperbolehkan dengan catatan khusus, atau tetap dilarang seperti semula. ”Itu kita lihat situasinya,” ujarnya.
Saat berkunjung ke Pangkalan PSDKP Batam, Edhy juga menanyakan kondisi 39 kapal yang ditahan di tempat itu. Sebanyak 29 kapal dinyatakan sudah inkrah. Kondisi sejumlah kapal itu dinyatakan masih cukup baik. Kapal-kapal itu direncanakan diserahkan kepada nelayan setempat sebagai bantuan.
”Harapan kami, tidak ada lagi penenggelaman kapal. Antarkan saja kapal itu ke tempat kami,” kata Bupati Kabupaten Lingga Alias Wello yang turut hadir bersama sejumlah kepala daerah Kepri dan Riau.
Menanggapi hal itu, Edhy mengatakan, kapal yang seharusnya ditenggelamkan hanyalah kapal pencuri ikan yang melarikan diri saat disergap. Adapun untuk kapal yang berhasil ditangkap dan perkaranya sudah selesai di pengadilan lebih baik diserahkan kepada nelayan untuk dimanfaatkan kembali.
”Kalau pencurinya setelah dikejar lalu menyerah, masak (kapalnya) tetap harus ditenggelamkan. Ambil dan sita kapalnya, selesaikan di pengadilan. Kalau akhirnya mereka mau bayar denda untuk negara, mengapa kita harus pusing,” ucap Edhy.
Semangat penenggelaman kapal adalah menjaga kedaulatan. Menurut Edhy, kebijakan itu baik, tetapi dinilai tidak cukup untuk memperbaiki pengelolaan laut. Yang diperlukan saat ini adalah membangun komunikasi dengan nelayan, memperbaiki birokrasi perizinan, dan meningkatkan budidaya perikanan.
Kalau pencurinya setelah dikejar lalu menyerah, masak (kapalnya) tetap harus ditenggelamkan. Ambil dan sita kapalnya, selesaikan di pengadilan. Kalau akhirnya mereka mau bayar denda untuk negara, mengapa kita harus pusing.
Budidaya benur
Selain soal penggunaan cantrang dan penenggelaman kapal, Edhy juga menyebutkan kemungkinan mengubah larangan menangkap benur. Pengembalian benur hasil sitaan dari penyelundup ke alam disebut tidak efektif karena diperkirakan hanya 1 persen yang akan bertahan hidup di laut.
”Dalam satu minggu saja, saya dapat berita ada dua kasus penyelundupan (benur) yang nilainya lebih dari Rp 38 miliar. Selama ini, berarti ada ekonomi yang berjalan diam-diam. Kalau ini terjadi terus, enggak ada pajak yang masuk untuk negara,” kata Edhy.
Menurut dia, jika di dalam negeri sudah ada yang bisa membudidayakan benur, akan segera disiapkan langkah untuk mengoptimalkannya. Namun, jika belum, ia mengatakan, sudah ada investor dari Vietnam yang bersedia hadir membuka budidaya benur di Indonesia.
Fakta di lapangan menunjukkan, budidaya lobster pun masih sebatas pembesaran benur. Adapun pemijahan lobster sulit dilakukan. Budidaya pembesaran lobster juga berbiaya tinggi (Kompas, 26 Juni 2019).