Jalan tol akan ditertibkan dari kendaraan muatan atau ukuran berlebih. Penertiban dilakukan bertahap dan diperluas ke jalan non-tol. Banyak asosiasi logistik meminta toleransi waktu agar bisnis tidak terganggu.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jalan tol akan dibebaskan dari kendaraan dengan muatan atau ukuran berlebih. Penertiban kendaraan semacam ini dilakukan bertahap, bahkan diperluas ke jalan non-tol.
Kesepakatan itu tertuang dalam nota kesepahaman antara Korlantas Polri, Kementerian Perhubungan, Badan Pengatur Jalan Tol, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Asosiasi Tol Indonesia yang ditandatangani pada Selasa (12/11/2019) di Jakarta. Kesepakatan tersebut mengenai ”Pelaksanaan Pelayanan Bersama, Pengamanan, dan Penegakan Hukum pada Jalan Tol di Seluruh Indonesia”.
Menurut Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi, kendaraan dengan muatan dan ukuran berlebih sudah jadi masalah sejak 1980-an sehingga terkesan dibiarkan. Pihaknya sudah menyiapkan cetak biru penanganan yang menjadi panduan Kemenhub menuju bebas kendaraan bermuatan atau berdimensi berlebih pada 2021.
”Sejak 2017 kita lakukan akreditasi dan penilaian untuk dinas perhubungan di kabupaten/kota. Ada beberapa provinsi yang sudah menormalisasi kendaraan truk meski belum masif, misalnya di Riau, Semarang, dan Pekanbaru,” kata Budi.
Selain itu, lanjut Budi, pengelolaan jembatan timbang juga telah melibatkan swasta, yakni dari PT Surveyor Indonesia. Dari sekitar 500 karoseri, sekitar 50 persennya telah diminta Kemenhub untuk tidak lagi membangun kendaraan yang tidak sesuai dengan peraturan atau mengubah dimensi kendaraan dari yang diizinkan.
Menurut Budi, penghilangan kendaraan bermuatan atau berukuran berlebih dapat dihilangkan secara bertahap dengan pendekatan persuasif dan edukatif. Cetak biru juga akan lebih banyak dimulai dari daerah, bukan dari pusat.
”Banyak asosiasi logistik yang minta diberi toleransi waktu, misalnya satu tahun, agar proses bisnis perusahaan tidak terganggu. Karena ada kemungkinan kenaikan harga, lalu kelangkaan barang yang menyebabkan inflasi,” ujar Budi.
Dirjen Bina Marga Kementerian PUPR Sugiyartanto mengatakan, kendaraan bermuatan atau berukuran berlebih merugikan negara hingga Rp 43 triliun. Sebab, kerusakan yang ditimbulkan beban berlebih dari sebuah kendaraan sebesar empat kali lipatnya. Saat ini ada 47.000 kilometer jalan nasional dan sekitar 1.700 km jalan tol yang beroperasi.
Sugiyartanto berharap penindakan terhadap kendaraan bermuatan atau berukuran berlebih yang diawali di jalan tol dapat dilakukan di jalan nasional non-tol. Pelaku usaha dapat menggunakan kendaraan sesuai beban yang diangkut, misalnya kendaraan multisumbu atau ganda.
Kepala BPJT Danang Parikesit menuturkan, kerusakan jalan terjadi karena dilewati kendaraan bermuatan atau berukuran berlebih menimbulkan kerugian sekitar Rp 1 triliun per tahun. Sementara pendapatan seluruh ruas tol di Indonesia Rp 12 triliun dalam setahun. Mengutip kajian Jasa Marga, sekitar 12,4 persen kendaraan di tol adalah truk yang 50 persennya termasuk bermuatan atau berukuran berlebih.
Kepala Korlantas Polri Inspektur Jenderal Refdi Andri menyampaikan, melalui nota kesepahaman itu, pengamanan di jalan tol akan diimbangi dengan pengaman di jalan non-tol.
Refdi berharap nota kesepahaman tersebut segera diikuti dengan perjanjian kerja sama antara pihak-pihak terkait. Dengan demikian, rencana aksi dapat segera disusun.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Tol Indonesia Kris Ade Sudiyono berharap operator jalan tol tidak hanya dijadikan obyek dalam program tersebut. Pihaknya berharap misi memberikan layanan yang aman, nyaman, dan lancar bagi pengguna jalan tol dapat tercapai melalui nota kesepahaman tersebut. (NAD)