Pembahasan rancangan Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran Sementara dinilai masih menyisakan sejumlah potensi permasalahan. DKI didesak agar transparan dengan rencana anggaran sehingga publik bisa mengawasi.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM/HELENA F NABABAN
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sorotan terutama diarahkan terhadap anggaran untuk mengatasi masalah Jakarta yang dinilai tidak memadai dan, sebaliknya, anggaran yang tidak secara langsung menyentuh permasalahan warga DKI justru memiliki jumlah yang lebih tinggi. Keadaan itu diperparah dengan kondisi keuangan DKI Jakarta yang tengah mengalami defisit.
Setelah sekitar dua pekan berlangsung, pada Rabu (13/11/2019) pembahasan rancangan Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) sudah hampir selesai di tingkat komisi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum mengunggah rancangan anggaran tersebut ke apbd.jakarta.go.id dan menjanjikan mengunggahnya baru setelah disahkan bersama DPRD DKI Jakarta di tingkat Badan Anggaran.
Menurut rekapitulasi yang dilakukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dari rapat tingkat komisi, terdapat pembengkakan usulan belanja langsung dan penyertaan modal daerah sebesar Rp 4,9 triliun. Pembengkakan usulan anggaran belanja langsung terjadi di Komisi A, B dan E, sedangkan pembengkakan penyertaan modal daerah terjadi pada PT Jakpro sebesar sekitar Rp 2,2 triliun.
Penambahan usulan anggaran lainnya di antaranya pembayaran commitment fee untuk Formula E sebesar Rp 396 miliar di Dinas Olahraga dan Pemuda DKI Jakarta serta pre-event Formula E sebesar Rp 15 miliar di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.
Ketua Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta Idris Ahmad mengatakan, penambahan anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang lebih bersifat populer, tetapi tak langsung menyelesaikan masalah DKI Jakarta, itu terasa ironis karena sejumlah kegiatan yang bersentuhan langsung dengan kepentingan publik justru berkurang.
Penambahan anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang lebih bersifat populer, tetapi tak langsung menyelesaikan masalah DKI Jakarta, itu terasa ironis karena sejumlah kegiatan yang bersentuhan langsung dengan kepentingan publik justru berkurang.
Di antaranya adalah anggaran rehabilitasi gedung sekolah berkurang Rp 455,4 miliar dan pembangunan sarana olahraga, seperti gelanggang remaja, lapangan sepak bola, serta sarana atletik, berkurang Rp 320,5 miliar.
Pengurangan anggaran rehabilitasi sekolah itu disanggah Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Syaefuloh Hidayat menyatakan, tidak ada pemotongan anggaran rehab gedung sekolah untuk Formula E. Penyesuaian anggaran rehabilitasi gedung sekolah didasarkan hasil penelitian teknis dari Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta secara profesional.
”Pada Juni 2019, anggaran rehab sekolah diusulkan untuk 105 lokasi dengan usulan anggaran sebesar Rp 2,5 triliun. Setelah penelitian kembali Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta merekomendasikan sebanyak 86 lokasi yang perlu perbaikan Rp 2,1 triliun atau terkoreksi sekitar Rp 455 miliar,” tuturnya.
Pengurangan
Dari rapat di Komisi D terungkap pengurangan anggaran 2019 sebesar Rp 500 miliar untuk pembebasan lahan, di antaranya untuk normalisasi Kali Ciliwung yang dinilai penting untuk program mengatasi banjir dalam jangka panjang.
Anggaran pembebasan lahan untuk bantaran pada 2020 pun hanya diusulkan Rp 600 miliar yang jauh lebih kecil dari usulan anggaran revitalisasi trotoar sekitar Rp 1,2 triliun. Usulan anggaran untuk antisipasi banjir ini dinilai tak memadai untuk Jakarta yang perlu mewujudkan program mengatasi banjir untuk jangka panjang.
”Kami mempertanyakan prioritas program Gubernur DKI Jakarta ini, kenapa anggaran trotoar lebih besar dari antisipasi banjir,” kata Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Ida Mahmudah.
Kami mempertanyakan prioritas program Gubernur DKI Jakarta ini, kenapa anggaran trotoar lebih besar dari antisipasi banjir.
Ida Mahmudah menambahkan, belum semua program strategis daerah terakomodir dalam postur anggaran DKI Jakarta 2020. Sejumlah program strategis anggaran yang dialokasikan sangat kecil.
Ida menyebut di antaranya program prioritas soal banjir dan kemacetan. Ternyata untuk mengatasi banjir butuh membangun waduk, normalisasi, dan lainnya. Namun anggarannya masih sangat kecil. Untuk penanganan polusi udara dengan membangun trotoar, dananya turun dari Rp 1,2 triliun menjadi Rp 1 triliun.
Secara keseluruhan, lanjut Ida, dari enam dinas dan satu biro yang ada di bawah koordinasi Komisi D mengalami efisiensi. Dari total anggaran Rp 17,8 triliun efisiensi menjadi Rp 16,5 triliun. Efisiensi paling besar di Dinas Sumber Daya Air yaitu pipanisasi proyek SPAM Jatiluhur dari anggaran Rp 495 miliar menjadi Rp 168 miliar.
Dari pembahasan di komisi, lanjut Ida, nanti akan dikompilasi di Bappeda untuk dibahas di Banggar besar. "Di sana akan rapat kembali disetujui atau tidak. Di Banggar ada anggota masing-masing komisi. Di Banggar semua komponen akan dibuka tergantung dari kita gimana argumentasinya. Jangan orang udah rapat berhari-hari tiba-tiba diubah banggar. Saya punya kewajiban mempertahankan apa yang sudah ditetapkan di komisi," katanya.
Sementara itu, terdapat ancaman defisit anggaran DKI Jakarta sebesar Rp 6,5 triliun karena dana bagi hasil yang belum turun dari pemerintah pusat dan pendapatan pajak yang tak mencapai target.
Sementara di Komisi A, usulan anggaran untuk Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) sebesar Rp 19,8 miliar juga mengundang perdebatan sengit. Sebagian anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta mendorong agar anggaran itu dikosongkan dari anggaran daerah dan dipindahkan ke dana operasional gubernur. Alasan pengalihan ini karena kinerja TGUPP untuk masyarakat dinilai tak mempunyai mekanisme pengukuran sehingga kinerjanya untuk publik tak bisa diukur serta tim tersebut hanya berkoordinasi langsung dengan Gubernur DKI Jakarta.
Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Mujiyono mengatakan, Komisi A akan menyampaikan rekomendasi pengalihan honor TGUPP tersebut dalam rapat pembahasan rancangan KUA-PPAS 2020 yang dilakukan Badan Anggaran DPRD DKI setelah rapat komisi.
Berbagai isu seputar anggaran, mulai dari mata anggaran janggal, defisit, usulan yang terlalu besar untuk beberapa mata anggaran, hingga yang terlalu kecil untuk mata anggaran yang justru berkaitan langsung dengan kesejahteraan publik, telah memancing beragam reaksi di masyarakat.
Salah satunya unjuk rasa yang digelar sekelompok orang dari Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) di depan Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu. Mereka menuntut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berhenti memboroskan anggaran untuk program yang tak perlu dan mengalihkan anggaran sebagai bantuan sosial bagi rakyat miskin Jakarta.
”Dengan anggaran sekarang ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkesan tak serius berkomitmen menyejahterakan rakyat miskin Jakarta,” kata Ketua Umum SPRI Mario Sitompul.
Dengan anggaran sekarang ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkesan tak serius berkomitmen menyejahterakan rakyat miskin Jakarta.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan mengatakan, sejumlah fakta yang terungkap terkait anggaran itu menunjukkan belum berkualitasnya dokumen anggaran yang disusun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Perencanaan anggaran yang buruk ini membuka peluang untuk penyelewengan anggaran, seperti potensi korupsi. Apalagi, pembahasan rancangan KUA-PPAS yang sangat singkat memperbesar peluang lolosnya mata anggaran yang tak sesuai kebutuhan.
Berdasarkan penyisiran Fitra, terdapat mata anggaran ganjil di awal pembahasan, mulai dari gunting rumput senilai Rp 491 juta, buku folio Rp 78,8 miliar, tenis meja Rp 8,9 miliar, bolpoin Rp 579,9 miliar, penghapus cair Rp 24,1 miliar, dan lem Aica Aibon Rp 126,2 miliar yang kemudian direvisi dalam pembahasan.
Untuk mengatasinya, Misbah mendorong Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera membuka rancangan anggaran ke publik sehingga publik bisa turut mengawasi. Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 175 Tahun 2016, seharusnya rancangan KUA-PPAS itu sudah diunggah tanpa perlu menunggu kesepakatan dengan DPRD DKI Jakarta setelah rapat Badan Anggaran.