Partai Nasdem Mendambakan Tuah Konvensi Calon Presiden
Partai Nasdem berharap tuah elektoral dari pelaksanaan konvensi calon presiden 2022. Petinggi partai ini berhasrat mengulangi kejayaan Partai Golkar saat mengadakan konvensi dan memenangi Pemilu 2004.
Partai Nasdem menatap Pemilihan Presiden 2024 dengan menyiapkan konvensi calon presiden. Sejauh ini belum banyak parpol yang menyelenggarakan konvensi dalam kontestasi politik Indonesia, dan Nasdem mendamba mendapatkan tuah dari proses itu.
Belum lama Pemilihan Umum 2019 berakhir, Partai Nasdem sudah mulai memanaskan mesin partai. Kongres II Nasdem pada 8-11 November 2019 di Jakarta merumuskan lima resolusi partai selama lima tahun ke depan. Menggelar konvensi calon presiden (capres) pada 2022 adalah salah satu agenda yang disiapkan.
Konvensi direncanakan bersifat terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat. Sementara mekanisme serta teknisnya masih akan dirumuskan kemudian. ”Salah satu fungsi partai politik adalah rekrutmen kepemimpinan. Ini adalah bentuk atau sikap Nasdem. Kami membuka seluas-luasnya siapa pun yang terbaik, tidak terbatas dari internal Nasdem,” kata Ketua Bidang Media dan Komunikasi Publik Nasdem Charles Meikyansyah saat memberikan keterangan pers setelah penutupan kongres.
Baca juga : Pidato di Kongres Nasdem, Presiden: Koalisi Pemerintahan Solid
Bila ditelaah, Nasdem bukan partai pertama yang melaksanakan konvensi di Indonesia. Sebelumnya ada Partai Golkar dan Partai Demokrat yang menggelar mekanisme serupa. Golkar menjadi partai pertama di Indonesia yang mengadakan konvensi saat menjelang Pemilu 2004. Konvensi diikuti puluhan tokoh, seperti Nurcholish Madjid, Akbar Tandjung, Wiranto, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Surya Paloh, dan Sultan Hamengku Buwono X. Saat itu, Wiranto keluar sebagai pemenang konvensi.
Meski Wiranto gagal memenangi Pilpres 2004, konvensi yang digelar Golkar berhasil menggerakkan mesin politik dan meningkatkan citra politik partai itu di masyarakat. Proses konvensi yang panjang diyakini turut membantu memenangkan Golkar pada Pemilu Legislatif 2004.
”Konvensi Partai Golkar telah mendongkrak popularitas dan elektabilitas partai ini. Hal ini dibuktikan Partai Golkar sebagai pemenang utama Pemilu 2004 dengan dukungan 24.480.757 suara atau 129 dari 550 kursi di DPR,” kata Ketua Umum Partai Golkar periode 1998-2004 Akbar Tandjung (Kompas, 19 Januari 2017).
Baca juga : Membaca Tarik Ulur Sikap Nasdem
Langkah serupa diterapkan Partai Demokrat dalam menghadapi Pilpres 2014. Konvensi Demokrat memunculkan Dahlan Iskan sebagai pemenang. Dahlan merupakan figur dari luar Partai Demokrat. Saat itu banyak pihak menuding konvensi hanyalah akal-akalan Demokrat untuk menarik simpati masyarakat lantaran sejumlah kader Demokrat tersangkut kasus korupsi.
Dahlan Iskan yang memenangi konvensi harus gigit jari karena tidak jadi diusung Demokrat. Perolehan 10,19 persen suara mengganjal niat Demokrat mengusung Dahlan. Sebab, untuk mengusung capres sendiri setidaknya parpol harus memiliki 20 persen suara nasional atau 25 persen kursi di DPR.
Atas dasar persyaratan ambang batas minimal pencalonan presiden itu, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono kemudian berpikir untuk menggalang koalisi dengan Partai Golkar. Namun, pilihan berkoalisi juga tak serta merta mulus. Partai Golkar memperoleh sekitar 14 persen suara di Pileg 2014. Maka dari itu, Partai Demokrat yang dapat suara lebih kecil sulit mengusung Dahlan Iskan sebagai pemenang konvensi menjadi capres. Apalagi, Partai Golkar masih berkomitmen mengusung Aburizal sebagai capres (Kompas, 17 Mei 2014).
Baca juga : Nasdem Saring Capres melalui Konvensi
Lokomotif suara
Bila benar terselenggara, Nasdem akan menjadi partai ketiga yang melaksanakan konvensi. Namun, rencana Nasdem itu dipandang tak lepas dari kepentingan untuk mendapatkan lokomotif suara di Pemilu 2024. Selama ini, Nasdem tidak memiliki tokoh dari internal partai. Sejak berdiri, Nasdem ”meminjam” tokoh-tokoh partai lain untuk mendongkrak elektabilitas.
”Selama ini Nasdem tidak punya tokoh sendiri. Mereka menggunakan tokoh-tokoh lokal atau daerah. Cara itu kelihatannya bisa meningkatkan perolehan suara, tetapi kenyataannya belum maksimal,” ujar Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qudori.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh pun tampaknya menyadari krisis tokoh di internal partainya. Oleh sebab itu, ia tak segan menyebut Nasdem mesti tahu diri dan memberikan kesempatan kepada tokoh dari luar partai.
”Nasdem sejak sekarang harus mengatakan, dia harus tahu diri. Ketika kader yang dimiliki dengan seluruh daya upaya dan dikader, tapi kapasitasnya belum sesuai aspirasi dan harapan masyarakat, harus beri kesempatan kepada siapa pun tokoh dari luar partai,” kata Surya saat kongres.
Baca juga : Partai Nasdem Susun Strategi Pemenangan Pemilu 2024
Konvensi bisa menjadi instrumen untuk mendobrak oligarki politik di Indonesia. Peneliti Senior di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris berpendapat, calon-calon presiden memang selayaknya muncul secara bottom up dan dipilih melalui proses seleksi yang baku. Upaya tersebut sekaligus bisa membuat bursa pemimpin nasional tak hanya didominasi para ketua umum parpol.
Dalam proses konvensi, semua kader terlibat dalam proses pemilihan. Penentuan calon presiden yang bakal diusung tak lagi menjadi ranah absolut para elite parpol. Karena itu, rasa kepemilikan kader terhadap calon yang diusung semakin kuat karena seluruh unsur partai merasa ambil bagian.
”Mungkin akan ada friksi di internal karena mereka punya jagoan sendiri-sendiri. Tapi, friksi itu sudah selesai sejak awal,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Friksi internal partai diyakini tak akan berlangsung lama. Ketika menghasilkan calon yang akan diusung, para kader partai telah melalui proses yang lebih matang. Pada akhirnya, mereka justru akan terkonsolidasi.
Dengan demikian, konvensi secara langsung akan memberikan dampak pada penguatan kelembagaan partai. Citra partai pun ikut terkerek karena publik memandang demokratisasi di internal partai berjalan. Hanya saja, menurut Titi, mekanisme konvensi akan lebih kompatibel apabila ambang pencalonan presiden dihilangkan. Sistem pemilu di Indonesia saat ini memberlakukan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen.
Pemberlakuan ambang batas itu berpeluang membuat calon presiden yang dihasilkan dari konvensi tak bisa maju menjadi capres bila partai yang mengusungnya tak memenuhi kriteria ambang batas. ”Jadi memang harus ada penyesuaian-penyesuaian instrumen hukum pemilu sehingga terobosan-terobosan partai yang ingin memberlakukan mekanisme penjaringan internal itu juga berkorelasi dengan proses pemilunya,” ujar Titi.
Duplikasi strategi
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, menyebut, Nasdem seperti hendak menduplikasi strategi yang dilakukan Golkar saat Pemilihan Legislatif 2004. Konvensi terbukti bisa mendongkrak elektabilitas Golkar sehingga dinobatkan sebagai pemenang pemilu. Hal itulah yang ingin coba diulangi Nasdem yang pada Pemilu 2024 menargetkan bisa keluar sebagai pemenang.
”Nasdem berniat menduplikasi strategi Golkar agar popularitas dan pamor partai terjaga, agar kader-kader di daerah bangkit dengan konvensi itu. Inilah yang sebenarnya sedang dijaga Surya Paloh. Untuk membangkitkan popularitas, yang paling penting adalah membangun kebanggaan,” katanya.
Baca juga : Nasdem Krisis Tokoh
Ajang konvensi juga identik dengan terjadinya politik uang. Praktik itulah yang diharapkan bisa diantisipasi Nasdem nanti. Ketua DPP Nasdem Taufik Basari mengatakan, Nasdem saat ini sedang menyusun dan menyempurnakan mekanisme konvensi. Pengalaman-pengalaman partai di Indonesia yang pernah menyelenggarakan konvensi dipelajari sehingga bisa diidentifikasi kelemahan dan kelebihan masing-masing. Selain itu, Nasdem juga meneliti proses konvensi capres di Amerika Serikat.
”Kami tidak mau konvensi hanya menjadi gimmick. Maka, kami akan susun mekanisme secara matang. Kami akan manfaatkan waktu yang panjang ini untuk mempersiapkan diri menuju arah konvensi,” kata Taufik, Selasa (12/11/2019).
Ia menampik Nasdem tak serius mempersiapkan konvensi. Nasdem, kata Taufik, berkomitmen untuk mengusung pemenang konvensi menjadi capres. Kendala ambang batas yang mungkin bisa menjadi batu sandungan menjadi salah satu pertimbangan dalam perumusan mekanisme konvensi. ”Kami juga akan menunggu bagaimana undang-undang pilpres nantinya, apakah ada perubahan terkait ambang batas pencalonan presiden atau tidak,” ujarnya.
Kini, seiring rencana Nasdem menggelar konvensi, tabir kepemimpinan oligarki parpol di Indonesia perlahan mulai diruntuhkan. Putra-putri terbaik bangsa mendapatkan hak yang sama untuk menjadi pemimpin nasional. Namun, satu hal yang tetap perlu diingat: di Nasdem, Surya Paloh masih menjadi aktor utama partai.