Kenaikan dana bantuan politik yang signifikan kepada partai politik diharapkan dapat mengurangi risiko perilaku koruptif dari pejabat dan kader parpol.
Oleh
Riana Afifah / Ingki Rinaldi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Pembenahan internal sebagai syarat kenaikan signifikan dana bantuan politik disambut positif sejumlah elite partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat. Keseriusan menjalankan komitmen itu diharapkan bisa meminimalkan potensi korupsi politik.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung sepakat mengenai perlunya pembenahan internal partai sebelum pemerintah menaikkan dana bantuan politik. Hal itu dinilai sebagai wujud implementasi demokrasi yang tidak sebatas prosedural, tetapi juga substansial.
”Apalagi bila pembiayaan partai politik menggunakan APBN yang cukup besar, maka prinsip transparansi, akuntabilitas, integritas, dan kemampuan pengelolaan keuangan harus melekat dalam pengelolaan partai,” kata Ahmad Doli, Selasa (12/11/2019), di Jakarta.
Dalam draf Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2020-2024, usulan kenaikan dana bantuan politik sudah dicantumkan. Kenaikan sampai Rp 6 triliun baru akan berlaku pada 2023. Apabila dibagi secara proporsional, sembilan partai di DPR mendapat Rp 48.000 per perolehan suara saat pemilu. Angka ini naik signifikan jika dibandingkan bantuan yang diterima saat ini, yaitu Rp 1.000 per suara (Kompas, 12/11).
Prinsip transparansi, akuntabilitas, integritas, dan kemampuan pengelolaan keuangan harus melekat dalam pengelolaan partai.
Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Nasdem, Saan Mustofa, menambahkan, penggunaan dana APBN dalam kegiatan operasional partai jelas harus dipertanggungjawabkan. Ia mengusulkan perlunya audit dari auditor independen yang bisa diketahui publik. Selain itu, harus ada mekanisme untuk memastikan penggunaan uang negara itu bisa menghilangkan politik transaksional untuk meraih dukungan politik.
Sementara, bagi Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo, pembenahan internal partai sebenarnya tak cukup hanya dijadikan syarat untuk menaikkan dana bantuan partai dari pemerintah. Pembenahan semestinya dilakukan secara menyeluruh melalui revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Idealnya, kata Arif, proporsi pendanaan partai memang didominasi uang negara. Alokasi dana pemerintah semestinya tak hanya untuk operasional dan pendidikan politik kader partai, tetapi juga untuk membiayai kegiatan lain, seperti konferensi cabang dan daerah.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menyapa para peserta Kongres II Partai Nasdem yang berlangsung di JI Expo Kemayoran, Jakarta, Minggu (10/11/2019).
Cegah korupsi
Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengatakan, sejak awal, pihaknya bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mendorong kenaikan dana bantuan politik. Kenaikan ini dibutuhkan untuk mengurangi risiko perilaku koruptif dari pejabat hingga kader parpol.
Namun, KPK merekomendasikan sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Syarat itu, antara lain, penegakan standar etik partai, pembenahan perekrutan dan kaderisasi partai, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana partai, serta pembenahan tata kelola partai.
Menurut Pahala, berdasarkan kunjungan KPK ke setiap parpol, belum semua parpol memiliki mahkamah atau dewan etik untuk menegakkan standar etik, perekrutan dan kaderisasi, juga belum tersistematika dan memiliki mekanisme yang jelas. Begitu pula dengan transparansi dan akuntabilitas dana partai yang masih sukar diwujudkan.
Belum semua parpol memiliki mahkamah atau dewan etik untuk menegakkan standar etik.
Selain masalah di atas, kualitas sumber daya manusia yang bertanggung jawab mengelola keuangan partai politik mesti segera diperbaiki. Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor mengatakan, perlu ada pelatihan pengelolaan keuangan partai yang baik dari pemerintah. Pelatihan itu idealnya diikuti perubahan pola pikir tentang pengelolaan dana sesuai standar-standar keuangan modern. Menurut Firman, saat ini banyak pengelola partai belum memahami cara pengelolaan keuangan yang ideal. ”Tidak semua (pengurus tingkat) ranting mempunyai kemampuan yang sama. Ini jadi masalah,” kata Firman.
Disinggung mengenai besaran Rp 6 triliun yang dianggarkan pada 2023, ia menilai jumlahnya relatif wajar. ”Saya kira masih bisa make sense (masuk akal). Hanya saja sosialisasi (harus dilakukan) agar tidak kemudian membuat orang (menjadi) antipati,” ujarnya.
KOMPAS/HENDRA AGUS SETYAWAN
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto memberikan sambutan saat menghadiri perayaan hari ulang tahun partai Golkar ke-55 di Jakarta, Rabu (6/11/2019).
Adapun praktik pengucuran dana publik untuk parpol juga dilakukan di beberapa negara. Dikutip dari buku Pendanaan Partai Politik dan Kampanye Pemilu: Buku Pedoman Keuangan Politik dengan editor Elin Falguera, Samuel Jones, dan Magnus Ohman (2016), variasi model pendanaan parpol beragam.
Misalnya, Mesir dan Nigeria sebelumnya memberikan dana bantuan publik ke partai, tetapi kemudian bantuan berhenti di tahun 2011 dan 2010. Sementara, di Jepang, dana publik menempati hampir setengah porsi total pendapatan parpol.
Dalam buku tersebut juga disebutkan, terdapat tren meningkatkan jumlah dana publik bagi partai di Asia. Indonesia, Jepang, Maladewa, Mongolia, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, dan Timor Leste memberikan dana publik secara rutin. Sementara, Sri Lanka dan Bhutan hanya memberikan dana publik saat kampanye.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengingatkan pentingnya memperbaiki sistem pelaporan keuangan parpol agar lebih transparan.