Militansi para sneakerhead dalam berburu sneaker bagai militansi orang yang sedang mencari jodoh. Pokoknya kejar terus sampai dapat!
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
Pecinta sneaker alias sneakerhead jumlahnya semakin "bejibun" di kota-kota besar di Indonesia. Tidak heran, begitu ada acara yang menjual aneka sneaker dengan harga miring, mereka akan tumplek blek di sana. Militansi para sneakerhead dalam berburu sneaker bagai militansi orang yang sedang mencari jodoh. Pokoknya kejar terus sampai dapat!
Militansi para sneakerhead Indonesia terlihat dalam ajang Urban Sneaker Society (USS) 2019 yang digelar 8-10 November 2019 di Kawasan SCBD, Jakarta. Ribuan sneakerhead yang kebanyakan anak muda seperti kalap ketika berburu aneka sneaker mulai yang harganya ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Tidak hanya sepatu, mereka juga berburu produk streetwear mulai kaos, jaket, celana, topi, ikat pinggang, hingga tali sepatu dan kotak penyimpan sepatu.
USS yang telah ada sejak empat tahun lalu dan memicu kembali demam sneaker di Indonesia yang mempertemukan produsen/penjual dan pecinta sneaker. Tahun ini, USS dikunjungi sekitar 50.000 orang dengan nilai transaksi melebihi Rp 20 miliar. Selain USS, ada ajang lain yakni Jakarta Sneaker Day yang telah ada sejak 2017. Sebelumnya, sneaker sempat populer di Indonesia sekitar 2004-2009 lalu meredup.
Gusty Pangestu, mahasiswa Universitas Maranatha Bandung, adalah satu dari puluhan ribu sneakerhead yang datang ke ajang USS, Sabtu (9/11/2019). Hari itu wajahnya semringah setelah mendapatkan sepatu merek Compass, sneaker lokal dari Bandung yang sedang digila-gilai banyak sneakerhead.
“Huh, akhirnya dapat lagi satu Compass,” ujar Gusty kepada tiga temannya, Rayana (mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia), serta Adit dan Verga (mahasiswa Telkom University) yang juga tengah berburu sneaker. Pantas jika ia merasa lega. Pasalnya, untuk mendapatkan sepasang sepatu Compass di ajang itu orang mesti antre panjang. Pemandangan serupa terjadi di beberapa gerai yang menjual sepatu dengan merek yang digemari. Maklum barang yang dijual di ajang seperti itu harganya miring dibanding harga pasar. Oleh karen itu, beberapa gerai membatasi pembeli hanya boleh membeli sepasang sneaker per hari.
Pembeli yang ingin membeli lebih dari satu mesti mengajak temannya untuk menjadi "joki" pembeli. Pilihan lain, mereka mesti antre setiap hari selama tiga hari untuk membeli tiga pasang sepatu. Nah, Gusty melakukan keduanya. Ia datang ke Jakarta dari Bandung bersama tujuh temannya. Selama di Jakarta, mereka tidur di apartemen yang disewa sepanjang akhir pekan. “Aku juga dapat sneaker Nike harga Rp 4 juta,"
Ezra Nathaniel (17), siswa Vickery Christian Academy Jakarta, tidak kalah militan. Sejak hari pertama pameran, ia telah mengincar beberapa merek tertentu edisi terbatas. Ia berjaga-jaga di lokasi USS sejak malam agar ketika USS buka esoknya, dia bisa dapat nomor antrean terdepan. Kalau tidak dapat juga, ya antre lagi.
Militansi juga ditunjukkan Henry Setiawan untuk mendapatkan sepatu Nike Air Jordan 1 “Fragment” seharga Rp 50 juta lewat mekanisme raffle atau undian yang digelar Harian Kompas bersama penyelenggara. Untuk mendapatkan sepatu itu, ia dibantu teman-temannya mengumpulkan lebih dari 50 koran Kompas edisi khusus untuk ditukarkan dengan kupon undian.
Perjuangannya ternyata berhasil. Ia bisa mendapatkan sepatu itu hanya dengan uang Rp 2,8 juta. "Mendapatkan sepatu ini seperti mimpi," ujarnya.
Pakai atau jual
Mengapa banyak anak muda rela rebutan sepatu berharga ratusan hingga jutaan rupiah? Ternyata tidak semua sepatu yang mereka beli dipakai sendiri atau dikoleksi. Ada juga yang mereka perlakukan sebagai barang investasi. Artinya jika ada yang suka dan berani beli dengan harga tinggi, mereka akan menjualnya kembali. Itulah yang dilakukan Johan (mahasiswa Universitas Pelita Harapan) dan Vincent serta Mike (mahasiswa Universitas Binus). “Tahun-tahun ini, orang baru mulai cari-cari barang seperti ini. Kalau dulu masih sepi,” kata Vincent.
Bagi para pecinta sneaker yang juga merangkap reseller, ajang seperti USS memang tidak bisa dilewatkan begitu saja. “Kalau acara kayak gini, sepatu murah. Kita bisa berburu sepatu untuk koleksi sendiri atau untuk nyari uang," kata Gusty.
Dia mencontohkan, sepatu Nike seharga Rp 4 juta yang dia beli di USS, sudah langsung ditawar Rp 4,5 juta oleh orang lain. "Jadi sekarang aku mulai melihat koleksi sneaker sebagai ladang bisnis. Berburu sneaker selalu dengan dua tujuan. Kalau suka dipakai sendiri, kalau orang lain juga banyak yang suka tinggal dijual lagi," tambah Gusty yang sekarang jualan sneaker, streetwear, dan luxury goods di kampung halamannya di Sukabumi maupun lewat Instagram.
Henry yang mendapat "rezeki dari langit" berupa sepatu Nike Air Jordan 1 “Fragment” hanya dengan uang Rp 2,8 juta, berencana akan menjualnya kembali. Alasannya sepatu langka yang di pasaran harganya 50 juta itu, ukuran tidak cocok dengan kakinya. Nah, bayangkan kira-kira berapa Henry akan menjual sepatu itu. Bakal menang banyak dia.
Bukan rahasia lagi, harga sneaker bisa meningkat berkali-kali lipat dari harga aslinya. Semakin langka sneaker, semakin mahal harganya, semakin dicari. Produksi terbatas, seperti Adidas seri Yeezy Boost atau Nike Air Jordan 1 adalah beberapa yang menjadi incaran hypebeast enthusiast, istilah untuk mereka yang mengejar kekinian dalam berpakaian.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada Derajad S Widhyharto berpendapat, fenomena sneaker adalah hasil bercampurnya aspek konsumsi dengan identitas. Konsumsi kini tak lagi individual dan fungsional, tetapi bercampur dengan upaya menggaet identitas sosial. “Ada pernyataan ‘saya belanja, maka saya ada\'," kata Derajad.
Jadi yang dikejar para sneaker mungkin bukan lagi sepatu, tetapi simbol status sosial. Tidak heran jika usaha dalam mengejar sepasang sneaker bisa begitu militan seperti orang mengejar jodoh. Bedanya pemburu jodoh, tidak akan menjual lagi jodoh yang sudah ia peroleh. (SKA/EKI/*)