Menelaah Pasar Alternatif Minyak Sawit
Memiliki perkebunan kelapa sawit terluas di dunia dan produsen utama minyak sawit, Indonesia selalu diterpa problematika. Semua tantangan mestinya membuat nilai tambah ekonomi dan bisnis semakin besar.
Industri minyak sawit Indonesia selalu diterpa problematika. Namun, sebagai pemilik perkebunan kelapa sawit terluas di dunia dan produsen utama minyak sawit, semua tantangan mestinya membuat semakin besar nilai tambah ekonomi dan bisnis yang diperoleh.
Beragam masalah dalam perdagangan minyak sawit mesti dihadapi Indonesia. Tahun 2018, India menaikkan bea masuk minyak sawit mentah (CPO) dari Indonesia, dari 30 persen menjadi 45 persen. Adapun bea masuk produk turunannya naik dari 40 persen menjadi 54 persen. Kebijakan ini dinilai termasuk upaya India melindungi produksi minyak nabatinya dan mengatasi defisit perdagangan.
Sementara produk Malaysia diperlakukan berbeda. India menurunkan bea masuk produk minyak sawit olahan asal Malaysia dari 54 persen menjadi 45 persen mulai 2019. Penurunan ini sesuai perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif kedua negara (Malaysia-India Comprehensive Economic Cooperation).
Kenaikan bea masuk bagi minyak sawit mentah asal Indonesia ini menyebabkan ekspor CPO dan produk turunan CPO dari Indonesia ke India pada 2018 menurun sekitar 12 persen ketimbang 2017. Tahun 2018 ekspor CPO dan produk turunan CPO Indonesia mencapai 6,71 juta ton, turun dibandingkan 2017 yang sebesar 7,63 juta ton.
Lobi-lobi pun berulang kali dilakukan pemerintah agar Indonesia tidak diperlakukan secara diskriminatif. Hingga akhirnya, dalam pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri India Narendra Modi di sela- sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-35 ASEAN di Bangkok, awal November ini, keinginan RI dikabulkan.
Per Desember 2019, tarif impor untuk CPO dan refined bleached deodorized palm oil (RBDPO) diturunkan menjadi 37,5 persen dan 45 persen, dari sebelumnya 45 persen dan 50 persen. Tarif berlaku sama untuk RI dan Malaysia.
Sebagai imbalan atas kebijakan itu, India mengharapkan Indonesia membeli gula dan beras dalam bentuk raw dari India. Pemerintah Indonesia pun menyanggupi mengimpor secara bertahap dan bisa ditingkatkan sesuai kebutuhan.
Pasar India menjadi kunci dalam perdagangan CPO dan produk turunannya asal Indonesia. Setidaknya, sejak 2006, data Badan Pusat Statistik menunjukkan, India menjadi tujuan ekspor utama produk CPO dan turunannya. Pada tahun itu, ekspor CPO ke India mencapai 1,8 juta ton dari total 5,2 juta ton.
Pada 2018, dari total volume ekspor CPO Indonesia yang mencapai 32,02 juta ton, 21 persen atau 6,71 juta ton dikuasai India. Disusul kemudian pasar Uni Eropa (4,78 juta ton), China (4,4 juta ton), Pakistan (2,18 juta ton), dan negara-negara di Benua Afrika, dengan volume ekspor mencapai 2,58 juta ton.
Indonesia dan Malaysia merupakan dua produsen CPO dunia. Perkebunan kelapa sawit Indonesia yang saat ini sekitar 20 juta hektar menempatkan Indonesia sebagai produsen utama kelapa sawit di dunia. Sementara luas perkebunan kelapa sawit Malaysia hanya sekitar 6 juta hektar.
Dari sisi produksi, untuk tahun 2019 ini, situs Indexmundi memperkirakan produksi minyak sawit Indonesia mencapai 43 juta ton, menguasai 57 persen pangsa pasar sawit dunia. Di posisi kedua, Malaysia menguasai 28 persen dan disusul Thailand di posisi ketiga dengan penguasaan sekitar 4 persen pangsa pasar dunia.
Malaysia jelas kompetitor utama bagi Indonesia dalam industri sawit. Meski dalam indikator luasan dan produksi minyak sawit Malaysia kalah dibandingkan Indonesia, Malaysia unggul dalam hal produktivitas dan inovasi. Beberapa penelitian menyebutkan produksi dan mutu minyak sawit Malaysia lebih baik daripada Indonesia.
Indonesia mempunyai agenda pekerjaan rumah yang tidak ringan untuk meningkatkan produktivitas sawit. Sampai saat ini terjadi kesenjangan yang tinggi antara produktivitas eksisting (11 ton per hektar) dengan potensinya yang berkisar 25 ton per hektar.
Pasar Eropa
Setelah berhasil menyelesaikan masalah perdagangan dengan India, masih ada persoalan lainnya yang harus dihadapi. Indonesia kini tengah berjuang mengatasi isu pembatasan minyak kelapa sawit di negara-negara Uni Eropa karena industri minyak sawit Indonesia dianggap belum memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Minyak sawit kita mesti berhadapan dengan kebijakan proteksi pertanian di negara-negara maju. Selain itu, ada anggapan bahwa bahan bakar minyak nabati yang berasal dari minyak sawit Indonesia belum memenuhi standar energi terbarukan. Pengelolaan perkebunan sawit kita yang masif telah menyebabkan deforestasi, terganggunya keragaman hayati, dan penyebab melonjaknya emisi gas rumah kaca. Kondisi inilah yang, antara lain, menjadi penyebab pembatasan masuknya minyak sawit RI ke negara-negara UE.
Pada Mei 2019, UE mengeluarkan regulasi yang menerapkan kriteria baru tentang penggunaan minyak sawit dalam biofuel yang diberlakukan pada 10 Juni 2019. Regulasi tersebut memiliki sistem sertifikasi dan pembatasan jenis biofuel dari minyak sawit, sebagai bagian dari energi terbarukan di UE.
Selain itu, UE juga menetapkan batasan penggunaan kelapa sawit untuk periode 2021-2023 di level yang sama dengan 2019, yang kemudian akan diikuti dengan pengurangan bertahap pada 2030. Selain itu, RI juga dihadapkan pada tantangan adanya label bebas minyak sawit (palm oil free) di pasar internasional.
Untuk mengatasi hambatan dan penolakan terhadap kelapa sawit Indonesia, pemerintah sebenarnya berupaya merampungkan penyusunan standar kelestarian minyak sawit Indonesia yang disebut Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan secara resmi diluncurkan pada Maret 2011. Kebijakan ISPO ini strategi guna meningkatkan daya saing global produk minyak sawit kita, di samping juga demi pemenuhan komitmen mengurangi gas rumah kaca. Dengan kebijakan ini, perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia wajib mengimplementasikan ISPO.
Namun, sayangnya, ISPO yang wajib di Indonesia ternyata belum sepenuhnya diakui pasar Eropa. Masih banyak hal yang harus diperbaiki terkait kualitas dan integritas sertifikasi ISPO. Persyaratan sistem sertifikasi ISPO merupakan yang paling lemah dari tujuh sistem sertifikasi yang ada. Sertifiksi terbaik adalah memenuhi standar Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Memperluas pasar
Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam perdagangan minyak sawit masih akan cukup berat, ditambah lagi kecenderungan turunnya harga sawit di pasar internasional. Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan, yaitu melakukan promosi ekspor untuk memperluas pasar dan mengembangkan industri di dalam negeri yang menghasilkan produk turunan dari minyak sawit yang bernilai tambah lebih (hilirisasi).
Promosi ekspor dilakukan untuk memperluas pasar, mencari pasar alternatif dari yang sudah ada sekarang. Negara tujuan ekspor CPO Indonesia yang utama saat ini adalah India yang menguasai pangsa 23,6 persen dari total ekspor. Disusul China (12,4 persen), Belanda (4,9 persen), dan Spanyol (4,7 persen). Jika dilihat per benua, negara-negara Asia menjadi tujuan utama ekspor Indonesia yang menyerap sampai 64,3 persen. Disusul Eropa dengan 18,2 persen dan Afrika sebanyak 11,8 persen.
Hal yang tak kalah penting untuk menyerap produksi minyak sawit mentah adalah mengolahnya menjadi produk turunan yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan pasar domestik, terutama untuk menggantikan (subsitusi) produk impor berbasis minyak bumi (fosil) dengan produk biofuel berbasis minyak sawit.
Ada tiga jenis industri hilir minyak sawit yang bisa dikembangkan, yaitu produk olefood, oleokimia, dan biofuel. Produk oleofood atau olepangan, di antaranya minyak goreng sawit, margarin, vitamin A, vitamin E, shortening, es krim, krimer, dan cocoa butter/specialty-fat. Adapun produk oleokimia, seperti detergen, sabun, sampo, biopelumas, dan bioplastik.
Di tengah harga minyak sawit internasional yang cenderung rendah, mau tidak mau, pasar domestik harus dipersiapkan untuk menyerap produksi minyak sawit yang berlimpah. Untuk itu, pengembangan industri hilir kelapa sawit menjadi suatu keniscayaan. (LITBANG KOMPAS)