Rusunawa, Pilihan Utama bagi 14.000 Rumah Tangga di Jakarta
Ada 14.000 rumah tangga dari total 2,7 rumah tangga penghuni Jakarta yang yang saat ini masih menghuni tempat yang kurang layak.
Oleh
J Galuh Bimantara
·3 menit baca
Selain berupaya menambah tingkat kepemilikan rumah oleh warga di Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga memprioritaskan pemenuhan kebutuhan rumah layak bagi seluruh warga DKI. Berdasarkan perhitungan, ada 14.000 rumah tangga dari total 2,7 juta rumah tangga penghuni Jakarta yang yang saat ini masih menghuni tempat yang kurang layak.
”Pemprov DKI tidak mau ada penduduknya yang tinggal di tempat dengan kualitas tidak baik. Jika tinggal di rumah yang sehat, kondisi keluarga di sana bisa baik,” ucap Kepala Seksi Perencanaan Perumahan Rakyat Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Sapta Putra Satria, Selasa (12/11/2019), di sela diskusi ”Mewujudkan Hunian Terjangkau di Tengah Jakarta”. Diskusi ini diselenggarakan School of Business and Management Institut Teknologi Bandung Jakarta Campus dengan didukung Jakarta Property Institute (JPI).
Sapta merujuk data Badan Pusat Statistik tahun 2018 yang menyebutkan, dari 2,7 juta rumah tangga di Jakarta, sebanyak 99,49 persennya sudah tinggal di rumah layak baik di rumah milik maupun rumah sewa. Karena itu, DKI berupaya agar 0,51 persen lainnya atau sekitar 14.000 rumah tangga juga tinggal di rumah layak.
Permukiman vertikal dan dengan sistem sewa tak terhindarkan bagi 14.000-an rumah tangga yang rata-rata berpenghasilan rendah itu. Untuk memenuhinya, selain dengan pembangunan unit-unit rumah susun sederhana sewa (rusunawa) baru, Pemprov DKI juga mendorong keluarga yang tinggal di hunian tidak layak untuk mendaftar ke DPRKP agar bisa segera masuk ke unit rusunawa yang sudah ada.
Saat ini terdapat 27.000-an unit rusunawa yang dikelola Pemprov DKI yang tersebar di 157 bangunan dengan ketinggian beragam dan diurus oleh total 13 unit pengelola rusun (UPRS). Menurut Sapta, masih ada unit-unit kosong untuk mereka yang mau pindah dari tempat tinggal tidak layak.
Sementara itu, Kepala Subdirektorat Potensi dan Perencanaan Direktorat Konsolidasi Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Ruminah menuturkan, pihaknya mendorong konsep konsolidasi tanah vertikal (KTV) untuk penataan permukiman padat, terutama yang tergolong kumuh, di Jakarta. Praktiknya bisa beragam, tetapi yang jelas, perencanaan penataan permukiman wajib melibatkan warga yang bakal ditata.
Dengan cara demikian, warga merasa dimanusiakan. ”Isu terkait pengembangan kawasan di Jakarta itu penggusuran, itu yang sangat sensitif bagi masyarakat,” ujar Ruminah.
Tidak ada kegiatan pembelian lahan dari penerapan KTV karena warga tidak berpindah dari lahan yang selama ini mereka tempati. Bangunan untuk hunian kemudian dibuat vertikal serta ada fasilitas untuk kepentingan komersial yang bisa memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat. Jadi, selain hunian mereka lebih sehat, pendapatan mereka juga berpotensi meningkat dengan KTV.
Saat ini terdapat sekitar 1.000 hektar kawasan tergolong kumuh yang tersebar di 118 kelurahan dari total 267 kelurahan di DKI, atau mencakup 44 persen jumlah kelurahan.
Namun, dosen Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Joko Adianto, mengingatkan, hal yang sering terlupakan dari pembangunan modern adalah biaya sosial, termasuk saat memindahkan warga dari permukiman padat ke rusun. ”Ada yang biasanya bisa langsung potong ayam, begitu tinggal di lantai 12, tidak boleh lagi,” katanya mencontohkan.
Dosen Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Joko Adianto, mengingatkan, hal yang sering terlupakan dari pembangunan modern adalah biaya sosial, termasuk saat memindahkan warga dari permukiman padat ke rusun.
Pengabaian-pengabaian terhadap biaya sosial bakal terakumulasi menjadi ketidakpercayaan sehingga menjadi preseden yang membuat warga permukiman padat di area lain tidak mau dipindahkan juga meskipun pemprov berniat baik membuat mereka tinggal di lingkungan sehat.
Dari diskusi Joko dengan warga-warga di kampung Jakarta, tidak sedikit yang bersedia pindah ke hunian vertikal asal konsekuensi-konsekuensi yang menyertainya jelas, antara lain soal bagaimana pendapatan mereka selama tinggal di sana serta apakah unit rusun bisa diwariskan ke anak dan cucu atau tidak.